***
Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”
Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”
Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”
Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya dingin tapi penuh tekanan. “Lawan kita tidak akan diam,” katanya, suara rendah. “Kau mau sanggar Ketuk Tilumu hancur gara-gara skandal yang mereka putar lebih jauh?” Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal, membuat Sekar harus mendongak.
Sekar mematung, kata-kata Ethan seperti pukulan. Ia membayangkan anak-anak didiknya di sanggar—tawa mereka saat menari Jaipong, mimpi mereka yang ia bangun dengan keringat bertahun-tahun sebagai influencer dan guru tari. “Dia ancam sanggarku,” batinnya, kemarahan bercampur ketakutan. Ia menelan ludah, matanya penuh api. “Jadi, Tuan Ethan, apa maumu?” tanyanya, suara tegang.
Ethan memandang Sekar, senyum kecilnya tak terbaca—entah ejekan atau sesuatu lain. “Nikah kontrak,” katanya, suara tenang namun penuh tekanan. “Enam bulan. Kita tampil sebagai suami istri di depan publik, hadiri acara bersama, tinggal serumah. Cukup untuk meredam skandal dan menyelamatkan reputasi kita—terutama sanggarmu.” Ia memencet bel di meja, bunyi samar terdengar. Bima masuk, memegang map kertas, wajahnya tegang. “Bima, berikan proposal kontrak itu,” perintah Ethan, suaranya dingin.
Sekar mengambil map dari Bima, tangan gemetar membuka dokumen. Matanya menyapu setiap baris dengan hati-hati—ia tak akan mengulang kesalahan menandatangani tanpa membaca. Kontrak itu ketat: tampil sebagai istri Ethan di depan publik, menghadiri acara, tinggal serumah, pura-pura juga tampil di depan keluarga besar Ethan yang ada di Indonesia, dan larangan menjalin hubungan dengan pria lain. Sekar menghela napas, jantungnya berdegup kencang. “Enam bulan?!” serunya, suara terkejut. “Kenapa lama? Nggak bisa sebulan saja?!”
Ethan tertawa pelan, suaranya dalam, menjengkelkan. “Sebulan?” ulangnya, nada penuh ejekan. “Kau pikir skandal sebesar ini selesai begitu cepat, Nona Penari?” Ia menyilangkan tangan, matanya menyelidik.
Sekar mengepal tangan, kemarahan membuncah. “Jangan panggil aku begitu!” bentaknya, melangkah maju hingga hampir menabrak Ethan. “Boleh aku tambah syarat?” tanyanya, suara tegas.
Ethan mengangkat alis, ekspresinya tak terbaca, tapi ada kilau rasa ingin tahu di matanya. “Syarat?” katanya, suara rendah. “Menarik. Apa yang kau mau, Nona Sekar?” Ia mengangguk ke Bima, yang buru-buru menyerahkan bolpoin dan kertas kosong.
Sekar menulis dengan cepat, tangannya mantap meski hatinya kacau. Ia menuliskan tiga syarat: tidak ada kontak fisik, tidak tinggal satu kamar, dan dua hari seminggu ia boleh tinggal di rumahnya dekat sanggar. “Baca,” katanya, menyerahkan kertas ke Ethan, suara dingin.
Ethan menyapu syarat-syarat itu, alis terangkat. “Tidak ada skinship?” ulangnya, suara penuh ejekan, senyum licik melebar. “Kau takut jatuh cinta padaku, Nona Penari?” Ia melangkah mendekat, aura misteriusnya membuat Sekar menegang.
Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jatuh cinta?!” serunya, suara penuh dendam. “Jangan mimpi! Aku cuma nggak mau disentuh pria yang nuduh aku penggoda! Aku lakukan ini untuk sanggarku, bukan untukmu!” Ia menunjuk Ethan, tangan gemetar tapi penuh tekad.
Ethan mengangguk, menyerahkan kertas ke Bima. “Catat syaratnya,” perintahnya, suara santai tapi matanya penuh tantangan. “Ubah kontraknya. Kita deal.” Ia kembali menatap Sekar, senyum kecilnya tak terbaca.
Sekar menarik napas, tangan masih gemetar. “Enam bulan,” katanya, suara tegas. “Cuma itu. Setelah itu, kita selesai. Dan kau janji sanggarku aman.”
Ethan melangkah mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. “Janji,” katanya, suara rendah, mata hijau berkilat dengan rencana tak terucap. “Tapi mainkan peranmu baik-baik… istriku pura-puraku.”
Sekar memelototi Ethan, menolak mundur. “Jangan panggil aku begitu!” serunya, suara penuh api. “Dan ingat syaratku—jangan coba sentuh aku!” Ia menandatangani kontrak yang telah diubah, matanya menatap Ethan dengan penuh dendam. “Ini untuk Ketuk Tilu, dan aku tidak berniat untuk menggoda para pria dengan tarian jaipongku! Aku hidup karena ini dan aku tidak akan siapapun termasuk anda, Tuan Ethan untuk menghancurkan bagian hidupku!”
Ethan menandatangani kontrak, mengulurkan tangan. Sekar mengabaikannya, ia melangkah keluar ruang baca, dressnya melambai. “Enam bulan, Tuan Ethan. Kau akan menyesal pilih aku,” katanya, suara dingin, lalu menghilang ke luar vila.
***
Keesokan paginya, Sekar duduk di kursi kayu berukir di taman belakang vila Ethan, mengenakan kebaya putih sederhana dengan selendang sutra, rambut disanggul rapi. Wajahnya tegang, tangan mencengkeram selendang, matanya menghindari Ethan, yang duduk di sebelahnya dalam kemeja batik putih dan peci hitam. Mata hijau Ethan dingin, rahangnya tegang, tapi ekspresinya tetap misterius.
Hakim dari KUA, seorang pria paruh baya, duduk sebagai wali nikah Sekar, yang tumbuh di panti asuhan tanpa keluarga. Bima berdiri di sudut, memegang tablet. Hakim memulai prosesi ijab qabul, suaranya tenang. Sekar menelan ludah, jantungan kencang. “Ini cuma kontrak,” batinnya, mencoba menenangkan diri. “Buat anak-anakku, buat Ketuk Tilu.”
Prosesi selesai, dan Bima mengarahkan mereka ke taman untuk sesi foto. “Untuk media, Teh,” katanya, suara sopan. “Kita butuh bukti pernikahan ini sah.”
Sekar mengerutkan kening. “Foto?” tanyanya, suara curiga. “Ini pura-pura! Kenapa harus merepotkan?”
Ethan meliriknya, senyum tipis muncul. “Kau lupa kontrak, Nona Penari?” katanya, suara rendah, penuh teka-teki. “Kita harus meyakinkan publik. Atau sanggarmu hancur besok.”
Sekar memelototi Ethan, tapi diam, mengikuti Bima ke taman penuh melati dan pohon teh. Rian, fotografer profesional, menyiapkan kamera di bawah lengkungan bunga. “Tuan Ethan, Teh Sekar, berdiri di sini!” katanya, suara ceria. “Dekat sedikit, dong. Kalian pengantin baru!”
Sekar berdiri sejengkal dari Ethan, wajahnya kaku. Ethan tegak, tangan di saku, ekspresinya dingin. Rian mengerutkan kening. “Ehm… lebih dekat? Layaknya suami istri?” tanyanya, ragu.
Sekar memelototi Rian. “Dekat apaan?!” bentaknya, suara penuh dendam. “Ini cukup dekat!”
Ethan tertawa pelan, suara sinis. “Kau takut dekat denganku?” katanya, alis terangkat menantang. “Atau syaratmu—no skinship—cuma berlaku di luar kamera?”
Sekar memerah, tangan mengepal. “Jangan sok tahu!” serunya, melangkah mendekat tapi tetap menjaga jarak. “Ayo, foto cepat! Aku nggak mau lama-lama!”
Rian mengangkat kamera. “Tersenyum, ya!” katanya, suara memohon. Ia menjepret, tapi wajah Sekar kaku, Ethan hanya menyunggingkan senyum dingin. “Astaga, kalian pengantin atau robot?!” keluh Rian. “Coba pose romantis! Pegang tangan, pelukan, apa gitu!”
Sekar membelalak. “Pelukan?!” serunya, suara terkejut. “Nggak mungkin! Aku nggak mau sentuh dia!” Tapi ia tahu, foto ini penting untuk menyelamatkan sanggar. Ia menarik napas, matanya penuh api. “Satu pose saja,” katanya, suara serak. “Dan jangan coba-coba macam-macam!”
Ethan tiba-tiba menarik Sekar ke dalam dekapannya. Sekar tersentak, matanya membelalak, tubuhnya kaku. “Apa-apaan ini?!” serunya, mendorong dada Ethan. “Lepas, sekarang!”
Ethan menunduk, wajahnya dekat, mata hijau menyelidik. “Ingat kontrak, Nona Penari,” bisiknya, suara rendah. “Di depan publik, kita suami istri.” Cahaya matahari memantul di matanya, membuat Sekar tersentak—wajahnya mendadak merona, jantungan kencang, bukan hanya karena marah. “Kenapa aku…” batinnya, panik.
Ethan tersenyum tipis, menyadari wajah merah Sekar. “Ternyata kau bisa memerah,” katanya, suara penuh ejekan. Sekar, dengan refleks, menginjak kaki Ethan keras. “Argh!” Ethan meringis, melepaskan Sekar, memegang kaki yang sakit. “Kau gila, ya?!” bentaknya, tapi ada tawa kecil di matanya.
Sekar melangkah mundur, wajah masih merah. “Mengagumimu?! Jangan mimpi!” serunya, suara penuh dendam. “Itu hukuman karena kau kurang ajar!”
Rian tertawa keras. “Haha, pose tadi bagus!” katanya, puas. “Ekspresi kalian alami banget! Cukup, deh!” Ia mengangkat kamera, tersenyum lebar.
Sekar memelototi Ethan, lalu berbalik. “Aku pulang!” katanya, suara dingin, melangkah ke pintu taman. “Jangan harap aku ulang ini!”
Ethan memandang punggung Sekar, senyum licik melebar. “Kau bikin ini seru, Nona Penari,” gumamnya, jari mengetuk meja. “Enam bulan akan jauh lebih menarik.”
Bima mendekat, memegang tablet. “Tuan, foto akan diunggah malam ini,” katanya. “Media akan percaya pernikahan ini sah.”
Ethan mengangguk, mata masih tertuju pada Sekar yang menghilang. “Bagus,” katanya, suara penuh rencana. “Pastikan sanggar Ketuk Tilu aman. Dan… atur makan malam besok dengan ibuku. Aku dan Sekar akan datang.”
Bima membelalak. “Nyonya besar?” tanyanya, suara hati-hati. “Baik, Tuan. Besok malam saya atur semuanya.”
Ethan tersenyum tipis, matanya berkilat. “Kejutan kecil untuk, Nona Penari,” gumamnya.
***
***Ethan berdiri di sisi lain ballroom, diapit oleh ibunya, Raden Ayu Ratu Ayuningtyas Wiratama, dan beberapa sepupu dari keluarga besar Wiratama. Tuksedonya hitam sempurna, tapi rahangnya tegang. Ratu, dengan gaun sutra merah dan perhiasan berlian, menatap anak sulungnya dengan alis terangkat, wajahnya penuh kekecewaan.“Ethan, kamu baru kembali ke tanah air, dan Mami kecewa karena kamu telah menikah,” suara Ratu terdengar tenang tapi tajam. “Kenapa kamu tidak memberitahu keluarga Wiratama? Kamu tidak memikirkan Mami? Ibu kandungmu?”Ethan menoleh perlahan. “Menikah yang penting sah, kan?” katanya datar, menyandarkan punggung ke dinding. “Dan untuk masalah istri, biarkan aku yang menentukan. Papi juga tidak mempermasalahkannya.”Ratu menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir dengan bunyi kecil di meja kaca.“Ethan, kita ini berada di keluarga ningrat. Keluarga Wiratama tak pernah salah memilih menantu.” Ia menatap tajam ke arah anak sulungnya. “Dan wanita yang kamu pilih? Seor
***Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam
***Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya d
***Sekar duduk di tepi ranjang di kamar sederhananya, rambut panjang hitamnya terurai, kaus longgar dan celana pendek terasa nyaman namun tak mampu menenangkan jantungan yang berdegup kencang. Ponsel di tangannya bergetar tanpa henti, layar penuh notifikasi media sosial yang berdatangan bagai badai. Matanya menyipit, jari-jari ragu saat membuka aplikasi. Ratusan ribu komentar membanjiri akunnya, sebagian besar pedas dan penuh fitnah. “Penari murahan, cuma kejar duit bule!” “Sanggar Ketuk Tilu cuma kedok!” “Haram, nikah sembunyi!” “Jangab-jangan dia sudah hamidun di luar nikah! Menyeramkan!” “Ternyata wajah cantiknya dia manfaatkan untuk uang!”Sekar membelalak, napas tersengal. “Fitnah apa ini?!” gumamnya, tangan gemetar memegang ponsel.Ia membuka berita terpopuler. Jantungnya hampir berhenti. Foto dirinya dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pria blasteran bermata hijau, tersebar luas. Gambar itu menangkap momen memalukan di tangga festival budaya Sunda kemarin—Ethan memegang pingga
***Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” u
***Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!