Share

4. Nona Penari

Penulis: ISMI
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-10 13:28:18

***

Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”

Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”

Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”

Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya dingin tapi penuh tekanan. “Lawan kita tidak akan diam,” katanya, suara rendah. “Kau mau sanggar Ketuk Tilumu hancur gara-gara skandal yang mereka putar lebih jauh?” Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal, membuat Sekar harus mendongak.

Sekar mematung, kata-kata Ethan seperti pukulan. Ia membayangkan anak-anak didiknya di sanggar—tawa mereka saat menari Jaipong, mimpi mereka yang ia bangun dengan keringat bertahun-tahun sebagai influencer dan guru tari. “Dia ancam sanggarku,” batinnya, kemarahan bercampur ketakutan. Ia menelan ludah, matanya penuh api. “Jadi, Tuan Ethan, apa maumu?” tanyanya, suara tegang.

Ethan memandang Sekar, senyum kecilnya tak terbaca—entah ejekan atau sesuatu lain. “Nikah kontrak,” katanya, suara tenang namun penuh tekanan. “Enam bulan. Kita tampil sebagai suami istri di depan publik, hadiri acara bersama, tinggal serumah. Cukup untuk meredam skandal dan menyelamatkan reputasi kita—terutama sanggarmu.” Ia memencet bel di meja, bunyi samar terdengar. Bima masuk, memegang map kertas, wajahnya tegang. “Bima, berikan proposal kontrak itu,” perintah Ethan, suaranya dingin.

Sekar mengambil map dari Bima, tangan gemetar membuka dokumen. Matanya menyapu setiap baris dengan hati-hati—ia tak akan mengulang kesalahan menandatangani tanpa membaca. Kontrak itu ketat: tampil sebagai istri Ethan di depan publik, menghadiri acara, tinggal serumah, pura-pura juga tampil di depan keluarga besar Ethan yang ada di Indonesia, dan larangan menjalin hubungan dengan pria lain. Sekar menghela napas, jantungnya berdegup kencang. “Enam bulan?!” serunya, suara terkejut. “Kenapa lama? Nggak bisa sebulan saja?!”

Ethan tertawa pelan, suaranya dalam, menjengkelkan. “Sebulan?” ulangnya, nada penuh ejekan. “Kau pikir skandal sebesar ini selesai begitu cepat, Nona Penari?” Ia menyilangkan tangan, matanya menyelidik.

Sekar mengepal tangan, kemarahan membuncah. “Jangan panggil aku begitu!” bentaknya, melangkah maju hingga hampir menabrak Ethan. “Boleh aku tambah syarat?” tanyanya, suara tegas.

Ethan mengangkat alis, ekspresinya tak terbaca, tapi ada kilau rasa ingin tahu di matanya. “Syarat?” katanya, suara rendah. “Menarik. Apa yang kau mau, Nona Sekar?” Ia mengangguk ke Bima, yang buru-buru menyerahkan bolpoin dan kertas kosong.

Sekar menulis dengan cepat, tangannya mantap meski hatinya kacau. Ia menuliskan tiga syarat: tidak ada kontak fisik, tidak tinggal satu kamar, dan dua hari seminggu ia boleh tinggal di rumahnya dekat sanggar. “Baca,” katanya, menyerahkan kertas ke Ethan, suara dingin.

Ethan menyapu syarat-syarat itu, alis terangkat. “Tidak ada skinship?” ulangnya, suara penuh ejekan, senyum licik melebar. “Kau takut jatuh cinta padaku, Nona Penari?” Ia melangkah mendekat, aura misteriusnya membuat Sekar menegang.

Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jatuh cinta?!” serunya, suara penuh dendam. “Jangan mimpi! Aku cuma nggak mau disentuh pria yang nuduh aku penggoda!  Aku lakukan ini untuk sanggarku, bukan untukmu!” Ia menunjuk Ethan, tangan gemetar tapi penuh tekad.

Ethan mengangguk, menyerahkan kertas ke Bima. “Catat syaratnya,” perintahnya, suara santai tapi matanya penuh tantangan. “Ubah kontraknya. Kita deal.” Ia kembali menatap Sekar, senyum kecilnya tak terbaca.

Sekar menarik napas, tangan masih gemetar. “Enam bulan,” katanya, suara tegas. “Cuma itu. Setelah itu, kita selesai. Dan kau janji sanggarku aman.”

Ethan melangkah mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. “Janji,” katanya, suara rendah, mata hijau berkilat dengan rencana tak terucap. “Tapi mainkan peranmu baik-baik… istriku pura-puraku.”

Sekar memelototi Ethan, menolak mundur. “Jangan panggil aku begitu!” serunya, suara penuh api. “Dan ingat syaratku—jangan coba sentuh aku!” Ia menandatangani kontrak yang telah diubah, matanya menatap Ethan dengan penuh dendam. “Ini untuk Ketuk Tilu, dan aku tidak berniat untuk menggoda para pria dengan tarian jaipongku! Aku hidup karena ini dan aku tidak akan siapapun termasuk anda, Tuan Ethan untuk menghancurkan bagian hidupku!”

Ethan menandatangani kontrak, mengulurkan tangan. Sekar mengabaikannya, ia melangkah keluar ruang baca, dressnya melambai. “Enam bulan, Tuan Ethan. Kau akan menyesal pilih aku,” katanya, suara dingin, lalu menghilang ke luar vila.

***

Keesokan paginya, Sekar duduk di kursi kayu berukir di taman belakang vila Ethan, mengenakan kebaya putih sederhana dengan selendang sutra, rambut disanggul rapi. Wajahnya tegang, tangan mencengkeram selendang, matanya menghindari Ethan, yang duduk di sebelahnya dalam kemeja batik putih dan peci hitam. Mata hijau Ethan dingin, rahangnya tegang, tapi ekspresinya tetap misterius.

Hakim dari KUA, seorang pria paruh baya, duduk sebagai wali nikah Sekar, yang tumbuh di panti asuhan tanpa keluarga. Bima berdiri di sudut, memegang tablet. Hakim memulai prosesi ijab qabul, suaranya tenang. Sekar menelan ludah, jantungan kencang. “Ini cuma kontrak,” batinnya, mencoba menenangkan diri. “Buat anak-anakku, buat Ketuk Tilu.”

Prosesi selesai, dan Bima mengarahkan mereka ke taman untuk sesi foto. “Untuk media, Teh,” katanya, suara sopan. “Kita butuh bukti pernikahan ini sah.”

Sekar mengerutkan kening. “Foto?” tanyanya, suara curiga. “Ini pura-pura! Kenapa harus merepotkan?”

Ethan meliriknya, senyum tipis muncul. “Kau lupa kontrak, Nona Penari?” katanya, suara rendah, penuh teka-teki. “Kita harus meyakinkan publik. Atau sanggarmu hancur besok.”

Sekar memelototi Ethan, tapi diam, mengikuti Bima ke taman penuh melati dan pohon teh. Rian, fotografer profesional, menyiapkan kamera di bawah lengkungan bunga. “Tuan Ethan, Teh Sekar, berdiri di sini!” katanya, suara ceria. “Dekat sedikit, dong. Kalian pengantin baru!”

Sekar berdiri sejengkal dari Ethan, wajahnya kaku. Ethan tegak, tangan di saku, ekspresinya dingin. Rian mengerutkan kening. “Ehm… lebih dekat? Layaknya suami istri?” tanyanya, ragu.

Sekar memelototi Rian. “Dekat apaan?!” bentaknya, suara penuh dendam. “Ini cukup dekat!”

Ethan tertawa pelan, suara sinis. “Kau takut dekat denganku?” katanya, alis terangkat menantang. “Atau syaratmu—no skinship—cuma berlaku di luar kamera?”

Sekar memerah, tangan mengepal. “Jangan sok tahu!” serunya, melangkah mendekat tapi tetap menjaga jarak. “Ayo, foto cepat! Aku nggak mau lama-lama!”

Rian mengangkat kamera. “Tersenyum, ya!” katanya, suara memohon. Ia menjepret, tapi wajah Sekar kaku, Ethan hanya menyunggingkan senyum dingin. “Astaga, kalian pengantin atau robot?!” keluh Rian. “Coba pose romantis! Pegang tangan, pelukan, apa gitu!”

Sekar membelalak. “Pelukan?!” serunya, suara terkejut. “Nggak mungkin! Aku nggak mau sentuh dia!” Tapi ia tahu, foto ini penting untuk menyelamatkan sanggar. Ia menarik napas, matanya penuh api. “Satu pose saja,” katanya, suara serak. “Dan jangan coba-coba macam-macam!”

Ethan tiba-tiba menarik Sekar ke dalam dekapannya. Sekar tersentak, matanya membelalak, tubuhnya kaku. “Apa-apaan ini?!” serunya, mendorong dada Ethan. “Lepas, sekarang!”

Ethan menunduk, wajahnya dekat, mata hijau menyelidik. “Ingat kontrak, Nona Penari,” bisiknya, suara rendah. “Di depan publik, kita suami istri.” Cahaya matahari memantul di matanya, membuat Sekar tersentak—wajahnya mendadak merona, jantungan kencang, bukan hanya karena marah. “Kenapa aku…” batinnya, panik.

Ethan tersenyum tipis, menyadari wajah merah Sekar. “Ternyata kau bisa memerah,” katanya, suara penuh ejekan. Sekar, dengan refleks, menginjak kaki Ethan keras. “Argh!” Ethan meringis, melepaskan Sekar, memegang kaki yang sakit. “Kau gila, ya?!” bentaknya, tapi ada tawa kecil di matanya.

Sekar melangkah mundur, wajah masih merah. “Mengagumimu?! Jangan mimpi!” serunya, suara penuh dendam. “Itu hukuman karena kau kurang ajar!”

Rian tertawa keras. “Haha, pose tadi bagus!” katanya, puas. “Ekspresi kalian alami banget! Cukup, deh!” Ia mengangkat kamera, tersenyum lebar.

Sekar memelototi Ethan, lalu berbalik. “Aku pulang!” katanya, suara dingin, melangkah ke pintu taman. “Jangan harap aku ulang ini!”

Ethan memandang punggung Sekar, senyum licik melebar. “Kau bikin ini seru, Nona Penari,” gumamnya, jari mengetuk meja. “Enam bulan akan jauh lebih menarik.”

Bima mendekat, memegang tablet. “Tuan, foto akan diunggah malam ini,” katanya. “Media akan percaya pernikahan ini sah.”

Ethan mengangguk, mata masih tertuju pada Sekar yang menghilang. “Bagus,” katanya, suara penuh rencana. “Pastikan sanggar Ketuk Tilu aman. Dan… atur makan malam besok dengan ibuku. Aku dan Sekar akan datang.”

Bima membelalak. “Nyonya besar?” tanyanya, suara hati-hati. “Baik, Tuan. Besok malam saya atur semuanya.”

Ethan tersenyum tipis, matanya berkilat. “Kejutan kecil untuk, Nona Penari,” gumamnya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Dadakan Sang Presdir   121. Wanita yang Sedang Cemburu

    ***Ethan mendekat, mengambil ponsel dari tangannya. Ia menunduk menatap layar yang kini gelap.“Nomor asing?” tanyanya.Sekar menoleh cepat. Pandangan matanya menusuk, penuh amarah yang jarang sekali Ethan lihat. Ia menggenggam ujung selimut erat-erat, lalu bangkit berdiri dengan kasar.“Aku mau tidur sendirian!” suaranya bergetar, dingin sekaligus getir.Ethan terkejut. “Sayang?” Ia meraih lengan Sekar, namun wanita itu menepisnya.Alis Ethan berkerut, bingung. “Tadi siapa yang menghubungimu? Apakah ada yang salah?”Sekar menggertakkan giginya, menahan emosi yang hampir meluap. Bayangan suara wanita di seberang telepon tadi masih terngiang jelas di telinganya. Eva! Tidak mungkin salah. Itu suara yang terlalu ia kenali.“Pikir sendiri!” bentak Sekar, suaranya meninggi. Ia mendorong tubuh Ethan hingga pria itu tersentak mundur.Lalu, tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah keluar kamar dan brak! membanting pintu keras-keras.Keheningan menyelimuti kamar. Ethan berdiri mematung, menata

  • Istri Dadakan Sang Presdir   120. Sedang Menata Hati

    ***Restoran mewah itu tampak tenang. Lampu kristal berkilau memantulkan cahaya lembut ke meja bundar yang telah ditata elegan. Henry duduk tegap, gerak-geriknya berwibawa, seperti seorang bangsawan yang tak pernah kehilangan pesonanya.Di seberangnya, Sekar, menantu kesayangannya yang ia memang undang untuk makan malam bersama.Henry memotong steak dengan rapi, lalu menoleh.“Apakah Eva menyulitkanmu?” tanyanya tenang, suaranya dalam namun lembut.Sekar terdiam. Ujung jarinya meremas halus serbet di pangkuannya. Ia menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan keresahan.Henry menatap lekat, seakan tahu kalau jawaban itu bukan sepenuhnya benar. Ia mengangguk, lalu berkata lirih, “Tadi Papi mendengar dari Ethan. Katanya kamu dan Eva bertemu di kantor kedubes Jepang. Kalau dia menyulitkanmu… beritahu Papi.”Sekar terdiam lagi. Dadanya terasa sesak. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalari hati, rasa yang sudah lama ia rindukan—rasa dilindungi. Ada Ethan yang selalu ada, namun kini ada Henry

  • Istri Dadakan Sang Presdir   119. Sebuah Hukuman

    ***“Ethan, pria ini! Apakah dia memang tidak pernah lelah?” Sekar merutuk dalam hati sambil menatap bayangan dirinya di depan cermin. Rambutnya masih berantakan, wajahnya sedikit pucat, dan lehernya… ia buru-buru menutupinya dengan syal tipis.“Bahkan dia masih belum puas… tubuhku ini benar-benar…” keluhnya lirih, kedua pipinya merona.Teringat kembali ucapan Ethan semalam, atau lebih tepatnya, beberapa jam lalu.Aku sudah terlalu lama menahan diri, Sekar. Kau harus menebusnya. Anggap saja ini hukuman.“Hukuman?” Sekar mengerutkan kening, masih kesal. “Harusnya aku yang menghukumnya. Dia pergi begitu saja dulu dan tidak memberi kabar apapun, lalu sekarang seenaknya menjatuhkan hukuman?”Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang bercampur dengan malu. Jemarinya merapikan syal yang menutup lehernya. Bekas kemerahan yang ditinggalkan Ethan jelas membuatnya panik. Bagaimana jika ada orang yang melihat?“Ya ampun, Sekar…” gumamnya. “Hari ini ada acara penting. Aku tidak bole

  • Istri Dadakan Sang Presdir   118. Sudah Melihat Satu Sama Lainnya

    ***Malam itu, bukan hanya mempelai yang menjadi pusat perhatian. Media dari berbagai negara berdesakan, mikrofon terangkat, kilatan kamera saling berlomba mengabadikan setiap momen penting.Namun berita besar justru datang dari penampilan seorang pria yang selama ini disebut-sebut menghilang dari dunia publik.Henry Van de Meer.Henry dengan lantangnya mengatakan Sekar Adalah menantu kesayangannya dan ia hanya menyetujui Sekar selama hidupnya dan hal itu sontak membuat media menyimpulkan bahwa Sekar Adalah menantu yang diterima dan mematahkan rumor yang selama ini selalu dibahas tentang Eva yang seharusnya menjadi istri dari Ethan.Begitu pesta usai dan tamu mulai berkurang, Eva melangkah cepat keluar dari ballroom. Udara malam menyambutnya, dingin menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk mendinginkan bara di hatinya.Di sisi kanan, mobil hitam mewah sudah menunggu. Eva membuka pintu, duduk di kursi belakang, dan menarik napas panjang. Jemarinya segera meraih ponsel dari dalam clutch. D

  • Istri Dadakan Sang Presdir   117. Menantu Satu-satunya

    ***Musik gamelan bergema lembut di aula megah hotel internasional malam itu. Lampu kristal bergemerlap di langit-langit, menciptakan kilau yang memantul di lantai marmer putih. Para tamu undangan dari berbagai negara sibuk bercengkerama.Di sisi panggung utama, Presiden dan keluarganya sedang menyambut tamu kehormatan. Ethan berdiri gagah di antara diplomat dan pebisnis besar, berbincang penuh wibawa. Senyumnya ramah, suaranya tenang, tapi sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang sangat dinantikannya. “Ah, Ethan. Kau memang selalu mengagumkan di setiap kesempatan. Tapi…” Rayhan menoleh ke kanan dan kiri, matanya mencari. “Dimana papimu? Dia berjanji padaku akan datang malam ini.”Suasana seketika hening. Beberapa tamu ikut menoleh, penasaran. Nama Henry Van de Meer memang selalu membawa rasa ingin tahu, sebab pria itu jarang sekali muncul di acara publik, apalagi di Indonesia.Ethan hendak membuka mulut, tapi tiba-tiba sebuah suara berat dan karismatik t

  • Istri Dadakan Sang Presdir   116, Hanya Aku yang Pantas

    ***Lampu-lampu kristal di ballroom rumah pribadi presiden berkilau memantulkan cahaya emas. Musik klasik dari orkestra memenuhi udara, bercampur dengan suara gelas beradu dan tawa para tamu yang berdatangan dari berbagai negara. Malam itu adalah pesta pernikahan akbar, tak hanya dihadiri para pejabat dalam negeri, tetapi juga tamu kehormatan dari luar negeri.Ethan berdiri gagah di sisi depan, mengenakan setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang membuat bahunya terlihat semakin bidang. Senyum ramahnya terukir ketika Presiden itu menghampirinya, diikuti beberapa menteri dan pejabat tinggi negara lain.“Selamat malam, Ethan,” sapa Presiden dengan suara hangat, menepuk bahunya ringan. “Senang sekali kau bisa hadir. Kau selalu menjadi tamu kehormatan di negeri ini. Dan saya bersyukur akhirnya anda kembali ke tanah air ini, saya selalu menanti kepulangan seorang pebisnis cerdas seperti anda.”“Terima kasih, Pak Rayhan,” Ethan membungkuk sedikit dengan sopan. “Saya merasa terhormat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status