Home / Romansa / Istri Dadakan sang Pewaris / BAB 1 | Teras Rumah

Share

Istri Dadakan sang Pewaris
Istri Dadakan sang Pewaris
Author: Yulia Ang

BAB 1 | Teras Rumah

Author: Yulia Ang
last update Last Updated: 2024-05-25 10:08:14

Anna jatuh cinta pada suasana restoran ini bahkan sebelum hidangan pertama tersaji. Ia duduk di salah satu kursi, menunggu kedatangan teman-teman divisinya. Pandangan Anna tertuju pada ukiran kayu artistik yang tergantung manis di dinding.

Teras Rumah.

Nama restoran itu terpahat di sana.

Restoran ini memang berada di teras sebuah rumah sederhana. Tidak besar, tidak megah, tapi justru kesederhanaannya memikat hati. Menghadirkan kehangatan dan rasa kekeluargaan yang jarang ditemukan di tempat makan lain.

Di sini hanya ada satu meja makan panjang yang dikelilingi delapan kursi kayu. Tak seperti restoran pada umumnya, tempat ini lebih menyerupai ruang makan di rumah. Terkesan hangat dan penuh cerita.

“Mengesankan sekali,” suara Erianto terdengar. “Kau sampai hafal tingkat kematangan steak yang disukai teman-temanmu. Kalian berenam pasti sangat dekat, ya?”

Suara itu membuyarkan lamunan Anna. Ia menoleh, lalu tersenyum sopan.

“Mereka teman sekantor, Kek. Kami hampir setiap hari bersama. Jadi... ya, lama-lama hafal sendiri.”

Erianto mengangguk pelan dari balik kaca partisi yang memisahkan dapur dengan area makan. Dapur itu mengusung konsep open kitchen, dibiarkan terlihat seperti panggung kecil, tempat ia menunjukkan kepiawaiannya sebagai chef.

Di usia senjanya yang sudah melewati kepala delapan, Erianto masih tampak gagah. Tubuhnya tegap, gerakannya ringan. Ia berpakaian rapi, dengan gaya elegan yang tak mencolok. Meski pakaian dan arlojinya bukan keluaran merek ternama, tapi semua itu memancarkan kesan old money—berkelas tanpa usaha keras.

Dengan cekatan Erianto memanggang enam potong steak sekaligus di atas grill pan besar yang dimodifikasinya sendiri. Aroma daging yang dipanggang perlahan menguar.

Anna tersenyum sumringah mencium aroma steak yang menggoda. Desisan daging yang sedang dipanggang membuat perutnya makin lapar.

“Hmm… harum sekali,” ucapnya sambil memejamkan mata, menikmati aromanya.

“Semoga cocok dengan seleramu, dan teman-temanmu,” jawab Erianto tanpa menoleh, tetap fokus memanggang.

Anna hanya senyum lalu mendekat ke kaca partisi, memperhatikan Erianto mulai plating steak dengan tingkat kematangan medium rare.

“Kek, boleh saya ambil foto? Mau saya upload ke media sosial,” ujarnya penuh antusias.

“Tentu, silakan.”

Anna mengambil beberapa gambar. Pertama secara candid, menangkap momen Erianto yang serius memasak. Lalu selfie dengan Erianto yang berada di belakang kaca sambil tersenyum mengacungkan jempolnya.

“Terima kasih,” ucap Anna ceria. Ia langsung membuka ponsel dan mengunggahnya ke akun media sosial pribadinya dengan caption:

Special Private Dinner by Kakek Erianto yang super ramah 😍🍽

#TerasRumah #HiddenGem #SteakNight

Aroma lezat memenuhi udara saat seluruh hidangan makan malam siap disajikan. Anna bangkit dari kursinya, menawarkan bantuan pada Erianto yang tengah sibuk menata makanan.

“Sekalian saja hidangkan menu utama dan dessert-nya juga, Kek. Jadi nanti Kakek tidak perlu kerepotan keluar masuk dapur,” ujarnya sambil meletakkan mangkuk-mangkuk cream soup ke meja. Sup lembut berisi potongan ayam, jagung manis, wortel, dan jamur, tersaji dalam porsi kecil yang tampak menggoda.

Erianto terkekeh pelan, senyumnya tak lepas dari wajah.

“Tidak begitu, Nona. Melayani tamu yang datang ke sini memang tugas saya. Mana mungkin saya merasa kerepotan?” Ia menatap Anna dengan tulus. “Nanti tetap saya sajikan satu per satu agar esensi fine dining-nya tetap terasa. Meski cuma makan malam di teras rumah saya, saya ingin semua yang datang membawa pulang kenangan menyenangkan.”

Anna terdiam sejenak, terenyuh oleh ketulusan pria tua itu. Ia mengangguk. “Baiklah, saya ikut kata Kakek saja.”

Anna lalu kembali duduk.

Jarum jam terus berdetak, melewati angka-angka dengan lambat. Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak waktu janjian makan malam Anna bersama teman-teman divisinya, tapi tak satu pun dari mereka muncul.

Perasaan Anna mulai gelisah. Tatapannya tak lepas dari jalan gang yang sepi di depan restoran. Ia mencoba berpikir positif. Mungkin mereka terjebak macet. Apalagi ini weekend. Tapi waktu terus bergulir. Satu jam... lalu dua jam.

Kegelisahan itu kini tampak jelas di wajah Anna. Berkali-kali Anna melirik jam tangan, berharap ada keajaiban. Appetizer di meja sudah dingin. Sedingin hati Anna saat ini.

Kenapa mereka belum datang juga? Apa yang terjadi? Apa mereka lupa?

Erianto diam-diam mengamati. Ia seolah bisa merasakan keresahan Anna, namun memilih tak bertanya.

Anna nyaris menekan ikon panggilan untuk menelepon Celine, ketika sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.

Unggahan baru dari Celine.

Dengan jantung berdegup tak karuan, Anna membuka unggahan itu. Sebuah foto—Celine duduk santai di sebuah restoran seafood, tertawa bersama empat rekan satu divisi mereka. Di atas meja hidangan laut tersaji melimpah. Di latarnya, layar karaoke bersinar, menampilkan lirik lagu yang mereka nyanyikan bersama.

Anna terpaku. Matanya membelalak pelan, seperti menolak percaya.

Mereka membuat acara sendiri. Tanpa dirinya. Padahal janji makan malam bersama sudah disepakati sejak awal minggu. Di tempat ini. Di Teras Rumah.

Tangan Anna sedikit gemetar saat akhirnya ia menekan tombol panggil. Suaranya terdengar tenang, tapi nadanya nyaris beku.

“Kalian di mana? Aku sudah menunggu di Teras Rumah sejak dua jam yang lalu.”

Ada jeda di ujung sana. Lalu suara Celine terdengar ragu, seperti menimbang-nimbang.

“Kami... berubah pikiran. Tiba-tiba kepikiran ingin makan seafood. Ya sudah... kami langsung ke sini. Maaf, Anna. Harusnya tadi seseorang memberi tahumu.” Keheningan menggantung di antara mereka. Tapi hati Anna sudah terlanjur dingin.

Anna menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menutup panggilan tanpa berkata apa pun. Bahunya merosot perlahan. Di matanya, kekecewaan tampak jelas meski ia berusaha menahannya.

Mungkin aku terlalu berharap. Tapi... apa sesulit itu mengirim satu pesan saja?

Ia masih ingat jelas bagaimana teman-temannya begitu antusias membicarakan Teras Rumah yang sedang viral. Bahkan harus menunggu lebih dari sebulan untuk bisa dapat reservasi. Ketika akhirnya Anna berhasil mendapatkannya, dan ingin mentraktir mereka—respon semuanya penuh semangat.

Celine, sahabat terdekatnya di kantor, bahkan sempat bilang, “Kamu benar-benar pahlawan divisi ini, Anna! Teras Rumah itu hidden gem!”

Tapi kini semua antusiasme itu terasa palsu. Kenyataan pahit harus ia telan sendiri.

Mata Anna mulai berkaca-kaca. Ia menatap deretan hidangan pembuka yang tersaji rapi di atas meja. Aroma hangat sup ayam-jagung yang tadi mengundang selera, kini hanya menambah sesak di dadanya. Ia mulai menyendok sup perlahan. Diam. Menelan rasa pedih bersama setiap sendok yang masuk ke mulutnya.

Erianto memerhatikannya dari dapur. Wajah tuanya menyiratkan kekhawatiran.

“Harusnya saya buka restorannya di tepi jalan raya,” katanya sambil tersenyum lembut, berusaha mencairkan suasana. “Bukan di gang sempit begini, yang membuat mobil susah masuk. Mungkin teman-temanmu jadi kesulitan mencari tempatnya.”

Anna tak menjawab. Ia hanya menatap mangkuk sup di hadapannya, lalu menghela napas perlahan.

Bukan itu masalahnya, Kek. Mereka memang tidak berniat datang.

Anna menunduk, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

“Saya mau makan steak-nya sekarang, Kek,” ucapnya pelan. “Lainnya... tolong dibungkus saja.” Ia menahan napas setelah bicara, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar air mata.

Erianto tak banyak bertanya. Dengan tenang, ia meletakkan sepiring steak di hadapan Anna, lengkap dengan saus dan pendampingnya. Tak lupa, sepotong puding karamel sebagai hidangan penutup.

“Kau keberatan kalau kakek temani?” tanyanya lembut.

Anna menggeleng. “Silakan, Kek.”

Erianto duduk di dekat Anna, diam, dengan tatapan penuh pengertian.

Perlahan Anna mulai memotong steaknya. Ia memasukkan potongan pertama ke mulut. Lezat. Dagingnya empuk, bumbunya meresap. Persis seperti yang ia bayangkan. Tapi justru karena terlalu sempurna, rasa itu menusuknya.

Perasaan Anna campur aduk. Kecewa, marah, kesal—semuanya bercampur menjadi satu. Dan di balik itu semua, terselip juga rasa bersalah pada Erianto. Ia tahu, kakek itu sudah dengan tulus memasak steak istimewa, namun kini semua berakhir sia-sia.

“Maafkan aku, Kek. Teman-temanku batal datang. Padahal kakek sudah repot-repot memasak steak seenak ini,” ucap Anna dengan suara bergetar.

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh satu per satu. Ia mencoba mengunyah sambil menunduk, tapi sesak itu tak bisa lagi ditahan. Isakan kecil lolos di sela suapan. Erianto hanya menatapnya lembut dan penuh pengertian.

“Jangan makan sambil menangis,” katanya pelan. “Itu cuma akan membuat dadamu makin sesak. Letakkan saja. Menangislah sampai lega.”

Anna berhenti makan. Ia meletakkan garpunya perlahan, lalu menangis sejadi-jadinya. Erianto tak berkata-kata. Ia hanya duduk di situ, menemani, dan sesekali menepuk punggung tangan Anna. Anna akhirnya mencurahkan segenap perasaannya di hadapan Erianto, selayaknya bercerita pada kakeknya sendiri.

Dari arah belakang, dua sosok pria muncul—Kavi dan Rendy. Mereka melangkah dalam diam. Kavi tampil mencolok dalam balutan setelan jas hitam Armani, kemeja hitam arang, dan sepatu kulit yang mengkilap saat terkena cahaya lampu jalan. Rambutnya ditata rapi, dengan kilau halus seperti sutra mahal. Aura kuasa dan dingin memancar kuat.

Sebelum sempat melangkah lebih jauh, Erianto menoleh. Tatapannya berubah tegas. Tangan tuanya terangkat, memberi isyarat, diam.

Kavi terpaku.

“Apa barusan... kakek mengusirku?” bisiknya tak percaya.

Rendy—sang asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Kavi mendekat, membisikkan sesuatu. “Ikuti saja, Bos. Kalau Tuan Besar sudah begitu, kita tidak bisa melawan.”

Dengan rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya, Kavi pun memilih mundur. Tapi sebelum pergi, pandangannya sempat menangkap sosok perempuan muda yang menangis di dekat kakeknya.

“Cari tahu siapa dia. Apa hubungannya dengan kakek,” ucap Kavi dingin.

“Oke, Bos,” jawab Rendy mengiyakan.

Keduanya lalu berjalan menjauh, langkah mereka mantap menuju sedan hitam mewah yang terparkir di ujung gang—mobil yang seolah mencerminkan pemiliknya. Tenang, mahal, dan tak tersentuh. Sementara di belakang sana, Erianto masih fokus menenangkan Anna, seolah dunia luar tak penting lagi baginya. []

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 19 | Pertemuan Keluarga

    “Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 18 | Salah Ruangan

    Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 17 | Semesta Gahana

    Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 16 | Kebebasan Orion

    Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 15 | Salah Kamar

    Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 14 | Runtuhnya Gunung Es

    Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 13 | Kesatria Berkuda Putih

    Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 12 | Di Ambang Runtuhnya Harga Diri

    Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status