Home / Romansa / Istri Dadakan sang Pewaris / BAB 2 | Beban Hidup

Share

BAB 2 | Beban Hidup

Author: Yulia Ang
last update Last Updated: 2024-05-25 10:09:32

Anna langsung duduk di cubicle-nya begitu sampai di kantor. Tanpa menoleh, tanpa menyapa siapa pun. Sudah seminggu sejak malam di Teras Rumah yang menyakitkan itu. Sejak saat itu, Anna memilih menjaga jarak. Ia tak lagi menyapa rekan-rekan divisinya kecuali urusan pekerjaan. Termasuk Celine—sahabat yang dulu ia percaya, tapi kini membuatnya merasa tak lebih dari seorang pecundang.

Tak ada permintaan maaf apalagi penyesalan. Seolah kejadian malam itu tidaklah penting.

Mungkin aku memang tak pernah benar-benar dianggap ada, pikir Anna.

Mulai sekarang, ia memilih jalur sendiri. Kerja, lalu pulang.

Suara kursi digeser, bisik-bisik dari cubicle sebelah, dan tatapan yang menyorot diam-diam sudah biasa ia rasakan. Tapi Anna tak mau ambil pusing. Atau mungkin lebih tepatnya... tak peduli. Sampai sebuah suara memecah konsentrasinya.

“Anna! Ke ruangan saya sekarang!” Suara Cakra, atasannya, terdengar tajam dari ujung ruangan. Semua mata otomatis menoleh. Tanpa ekspresi, Anna berdiri dan melangkah. Di belakangnya suara gumaman mulai terdengar. Tapi ia tetap melangkah tanpa menoleh.

Anna duduk tenang di hadapan Cakra. Entah kenapa perutnya terasa mengeras oleh firasat yang tak enak. Ruangan itu senyap, hanya terdengar bunyi jam dinding dan dengung pendingin ruangan.

Tanpa banyak basa-basi, Cakra menyodorkan sebuah amplop coklat panjang ke atas meja. Matanya datar.

“Apa ini, Pak?”

“Surat pemecatanmu,” jawab Cakra singkat.

DEG!

Anna nyaris tak percaya dengan yang ia dengar. Tangannya langsung menyambar amplop itu dengan panik, berharap ini hanya candaan aneh atasannya. Tapi begitu isi surat dibaca, napasnya tercekat. Tulisan di sana jelas: pemutusan hubungan kerja, efektif hari ini.

“Tapi... kenapa, Pak? Saya salah apa?” suaranya mulai meninggi, penuh kebingungan dan keterkejutan.

“Pak Steven membatalkan tender besar dengan perusahaan kita.”

Anna membeku. Nama itu...

“Dan kaulah penyebabnya.” Nada Cakra mulai panas. “Karena tindakan sok suci dan moral-moralanmu yang tidak penting, kontrak puluhan miliar lenyap begitu saja.”

“Saya minta maaf, Pak. Tapi ini tidak adil! Saya tidak bermaksud—”

“Permintaan maafmu tidak ada artinya, Anna!” bentak Cakra, menghentak meja dengan telapak tangannya. “Hanya karena satu tindakan bodohmu, seluruh kerja keras tim ini hancur!”

Anna mematung, dadanya sesak.

“Apa susahnya sih... sedikit saja menyenangkan hati klien?!” Cakra mendesis. “Bukan malah jual mahal, sok jaga citra... merasa paling bersih sendiri!”

Kata-kata itu membuat Anna mendongak. Matanya mulai berapi-api.

“Menyenangkan hati klien?” Suara Anna bergetar. Matanya memerah, tapi bukan karena takut, melainkan bentuk perlawanan.

“Laki-laki bejat itu bukan cuma minta ditemani makan malam. Dia mencoba meraba pahaku!” Anna menatap tajam ke arah Cakra. Napasnya memburu, tangan kirinya meremas surat pemecatan hingga kusut.

“Apa pantas, Pak... Seorang pria beristri tiba-tiba menyentuhku dengan cara menjijikkan? Merangkulku seperti barang miliknya, membelai pahaku... dengan tatapan penuh nafsu?”

Cakra hanya mendengus. Senyum sinis tersungging di wajahnya. “Pak Steven bilang dia hanya ingin mengobrol lebih dekat agar komunikasi kita lancar. Reaksimu saja yang berlebihan.” Ia bersandar santai di kursinya. “Toh kau juga tidak sampai tidur dengannya. Harusnya kau tahu, bagaimana dunia kerja ini berjalan.”

Anna membelalak. Kata-kata itu seperti tamparan kedua setelah insiden malam itu.

“Jadi menurut Bapak, perempuan harus diam dan tunduk, meskipun dilecehkan?” Suaranya kini tenang, tapi lebih dingin dari sebelumnya.

Cakra tak menanggapi. “Silakan ambil pesangonmu dan kemasi barang-barangmu. Kantor ini bukan tempatmu lagi.” Ia menekan tombol interkom. “HRD, buka lowongan untuk posisi Anna. Proses seleksi internal, ya.” Tak sekalipun ia menatap Anna saat bicara.

Anna berdiri. Tubuhnya gemetar menahan emosi yang hampir meledak. Tapi ia tidak ingin menangis di hadapan orang seperti Cakra. Ia menatap Cakra terakhir kali.

“Anda akan mengingat hari ini, Pak. Bukan karena saya pergi. Tapi karena Anda pernah membiarkan perempuan diperlakukan seperti sampah... demi angka di atas kertas.”

Anna lalu melangkah pergi dengan langkah mantap. Ia meninggalkan lingkungan kerja yang toxic dengan harga diri yang tidak pernah bisa dibeli oleh siapa pun.

*

Anna membuka pintu kamar kosnya dengan satu tangan, sementara tangan lain memeluk kardus berisi sisa-sisa empat tahun pengabdian. Ruangan mungil itu menyambutnya dengan keheningan dan bau pengap.

Tapi baru saja ia masuk, suara familiar menyusul dari belakang.

“Tumben kau sudah pulang?”

Anna menoleh pelan. Orion berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis di wajahnya. Sejenak Anna hanya diam. Tarikan napasnya panjang dan berat.

“Mau apa kau ke sini?” tanyanya lelah, tanpa intonasi.

Orion masuk. Matanya melirik kardus, tapi ia tak bertanya. “Aku butuh bantuan.”

Anna memejamkan mata sejenak. “Uang?”

“Iya,” jawab Orion dengan wajah tak berdosa. “Aku punya utang ke temanku. Dan dia ingin kejelasan soal utang itu. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkanmu, tapi...”

“Berapa?” Anna langsung memotong pembicaraan Orion, supaya Orion bisa segera pergi dari kosnya. Karena jujur, Anna lelah dan butuh waktu sendiri. Ia tidak ingin diganggu siapa pun, apalagi Orion. Adik yang selama ini dianggapnya sebagai beban hidup.

“Seratus empat puluh...” Orion menggaruk kepalanya. “Juta.”

Sunyi. Anna yang tadinya hendak mengeluarkan uang dari dompetnya langsung mendongak, wajahnya datar. “Kau barusan bilang... seratus empat puluh juta?”

“Iya, Kak—”

BRAK!

Anna melempar tas ke arah Orion. Sang adik pun reflek menghindar.

“KAU MAU MATI, HAH?!” suaranya meledak, menggema di kamar sempit itu. “Kau pikir aku ini ATM berjalan atau apa?!”

Orion mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Sabar, Kak! Akan kujelaskan semuanya. Ingat, aku adikmu!”

“Aku tidak butuh adik menyusahkan sepertimu! Dari dulu kau cuma jadi bebanku!”

Anna melempari Orion dengan apa saja yang bisa dijangkaunya. Mulai pigura, buku-buku setebal batu bata, hingga pajangan meja. Ia tak peduli walau semuanya hancur berantakan. Anna benar-benar mengamuk dan kehilangan akal. Tangannya gemetar, matanya liar mencari benda berikutnya untuk dilempar. Napasnya memburu seperti baru selesai lari maraton.

Keranjang baju kotor jadi sasaran berikutnya. Anna melemparnya ke Orion sampai isinya berhamburan, menutupi lantai dan sofa.

“Kau bisa dipenjara kalau aku sampai terbunuh!” seru Orion, mencoba menenangkan Anna dengan cara yang justru makin menyulut amarahnya.

“Aku tidak peduli! Lebih baik aku dipenjara daripada harus terus menghadapi adik kurang ajar sepertimu!” Anna meraih sapu dan langsung mengejar Orion yang pontang-panting di dalam kamar kos sempit itu. Kamar itu kini benar-benar kacau—seperti kapal yang karam disapu badai.

Orion kabur keluar kamar. Anna tak mau kalah.

“Jangan kabur kau, Orion!” Ia meraih sepatu kets paling tebal di rak sepatu dan melemparkannya sekencang mungkin ke arah adik yang lari tunggang langgang menuju belokan.

Sayangnya...

BLETAK!

Alih-alih mengenai Orion, sepatu itu salah sasaran dan mendarat sempurna di pelipis seorang pria yang muncul dari arah berlawanan. Kavi.

Waktu seolah membeku. Anna terpaku.

Rendy yang berdiri di belakang Kavi langsung sigap melangkah ke depan, mengecek keadaan sang bos. “Bos! Kepalamu berdarah!” serunya panik, memeriksa luka Kavi.

Kavi memicingkan mata ke arah Anna, wajahnya datar tapi sorot matanya tajam menusuk. Anna menelan ludah, sadar dirinya dalam masalah besar.

Orion mengintip dari balik dinding sambil melambaikan tangan pada Anna, kemudian langsung kabur secepat kilat.

Anna mengumpulkan keberanian mendekati Kavi. “Ya ampun, saya minta maaf... saya tidak sengaja. Saya punya plester luka di kamar, kalau Anda tidak keberatan,” ujarnya ragu sambil menunjuk ke arah kamarnya. Tubuhnya seperti ingin menghilang dari tempat itu secepat mungkin.

Kavi—pria yang seminggu lalu muncul di Teras Rumah, kini berdiri dengan pelipis berdarah akibat sepatu milik Anna. Tanpa berkata apa-apa Kavi berjalan menuju kamar kos Anna. Rendy menyusul di belakangnya dengan ekspresi tegang.

Anna menghela napas panjang. Bingung, malu, dan masih sedikit marah. Tapi ia tahu, harus menyelesaikan kekacauan ini dulu sebelum kembali ‘mengurus’ Orion.

“Awas kau, Orion! Lain kali aku akan benar-benar membunuhmu!” gerutunya sambil menyusul dua pria itu ke dalam kamar. []

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 25 | Nikah Kontrak

    Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 24 | Sisi Gelap sang Pewaris

    Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 23 | Dendam Membara

    Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 22 | Konferensi Pers

    Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 21 | She Fell First, He Fell Harder

    Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status