Share

BAB 2 | Beban Hidup

Penulis: Yulia Ang
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-25 10:09:32

Anna langsung duduk di cubicle-nya begitu sampai di kantor. Tanpa menoleh, tanpa menyapa siapa pun. Sudah seminggu sejak malam di Teras Rumah yang menyakitkan itu. Sejak saat itu, Anna memilih menjaga jarak. Ia tak lagi menyapa rekan-rekan divisinya kecuali urusan pekerjaan. Termasuk Celine—sahabat yang dulu ia percaya, tapi kini membuatnya merasa tak lebih dari seorang pecundang.

Tak ada permintaan maaf apalagi penyesalan. Seolah kejadian malam itu tidaklah penting.

Mungkin aku memang tak pernah benar-benar dianggap ada, pikir Anna.

Mulai sekarang, ia memilih jalur sendiri. Kerja, lalu pulang.

Suara kursi digeser, bisik-bisik dari cubicle sebelah, dan tatapan yang menyorot diam-diam sudah biasa ia rasakan. Tapi Anna tak mau ambil pusing. Atau mungkin lebih tepatnya... tak peduli. Sampai sebuah suara memecah konsentrasinya.

“Anna! Ke ruangan saya sekarang!” Suara Cakra, atasannya, terdengar tajam dari ujung ruangan. Semua mata otomatis menoleh. Tanpa ekspresi, Anna berdiri dan melangkah. Di belakangnya suara gumaman mulai terdengar. Tapi ia tetap melangkah tanpa menoleh.

Anna duduk tenang di hadapan Cakra. Entah kenapa perutnya terasa mengeras oleh firasat yang tak enak. Ruangan itu senyap, hanya terdengar bunyi jam dinding dan dengung pendingin ruangan.

Tanpa banyak basa-basi, Cakra menyodorkan sebuah amplop coklat panjang ke atas meja. Matanya datar.

“Apa ini, Pak?”

“Surat pemecatanmu,” jawab Cakra singkat.

DEG!

Anna nyaris tak percaya dengan yang ia dengar. Tangannya langsung menyambar amplop itu dengan panik, berharap ini hanya candaan aneh atasannya. Tapi begitu isi surat dibaca, napasnya tercekat. Tulisan di sana jelas: pemutusan hubungan kerja, efektif hari ini.

“Tapi... kenapa, Pak? Saya salah apa?” suaranya mulai meninggi, penuh kebingungan dan keterkejutan.

“Pak Steven membatalkan tender besar dengan perusahaan kita.”

Anna membeku. Nama itu...

“Dan kaulah penyebabnya.” Nada Cakra mulai panas. “Karena tindakan sok suci dan moral-moralanmu yang tidak penting, kontrak puluhan miliar lenyap begitu saja.”

“Saya minta maaf, Pak. Tapi ini tidak adil! Saya tidak bermaksud—”

“Permintaan maafmu tidak ada artinya, Anna!” bentak Cakra, menghentak meja dengan telapak tangannya. “Hanya karena satu tindakan bodohmu, seluruh kerja keras tim ini hancur!”

Anna mematung, dadanya sesak.

“Apa susahnya sih... sedikit saja menyenangkan hati klien?!” Cakra mendesis. “Bukan malah jual mahal, sok jaga citra... merasa paling bersih sendiri!”

Kata-kata itu membuat Anna mendongak. Matanya mulai berapi-api.

“Menyenangkan hati klien?” Suara Anna bergetar. Matanya memerah, tapi bukan karena takut, melainkan bentuk perlawanan.

“Laki-laki bejat itu bukan cuma minta ditemani makan malam. Dia mencoba meraba pahaku!” Anna menatap tajam ke arah Cakra. Napasnya memburu, tangan kirinya meremas surat pemecatan hingga kusut.

“Apa pantas, Pak... Seorang pria beristri tiba-tiba menyentuhku dengan cara menjijikkan? Merangkulku seperti barang miliknya, membelai pahaku... dengan tatapan penuh nafsu?”

Cakra hanya mendengus. Senyum sinis tersungging di wajahnya. “Pak Steven bilang dia hanya ingin mengobrol lebih dekat agar komunikasi kita lancar. Reaksimu saja yang berlebihan.” Ia bersandar santai di kursinya. “Toh kau juga tidak sampai tidur dengannya. Harusnya kau tahu, bagaimana dunia kerja ini berjalan.”

Anna membelalak. Kata-kata itu seperti tamparan kedua setelah insiden malam itu.

“Jadi menurut Bapak, perempuan harus diam dan tunduk, meskipun dilecehkan?” Suaranya kini tenang, tapi lebih dingin dari sebelumnya.

Cakra tak menanggapi. “Silakan ambil pesangonmu dan kemasi barang-barangmu. Kantor ini bukan tempatmu lagi.” Ia menekan tombol interkom. “HRD, buka lowongan untuk posisi Anna. Proses seleksi internal, ya.” Tak sekalipun ia menatap Anna saat bicara.

Anna berdiri. Tubuhnya gemetar menahan emosi yang hampir meledak. Tapi ia tidak ingin menangis di hadapan orang seperti Cakra. Ia menatap Cakra terakhir kali.

“Anda akan mengingat hari ini, Pak. Bukan karena saya pergi. Tapi karena Anda pernah membiarkan perempuan diperlakukan seperti sampah... demi angka di atas kertas.”

Anna lalu melangkah pergi dengan langkah mantap. Ia meninggalkan lingkungan kerja yang toxic dengan harga diri yang tidak pernah bisa dibeli oleh siapa pun.

*

Anna membuka pintu kamar kosnya dengan satu tangan, sementara tangan lain memeluk kardus berisi sisa-sisa empat tahun pengabdian. Ruangan mungil itu menyambutnya dengan keheningan dan bau pengap.

Tapi baru saja ia masuk, suara familiar menyusul dari belakang.

“Tumben kau sudah pulang?”

Anna menoleh pelan. Orion berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis di wajahnya. Sejenak Anna hanya diam. Tarikan napasnya panjang dan berat.

“Mau apa kau ke sini?” tanyanya lelah, tanpa intonasi.

Orion masuk. Matanya melirik kardus, tapi ia tak bertanya. “Aku butuh bantuan.”

Anna memejamkan mata sejenak. “Uang?”

“Iya,” jawab Orion dengan wajah tak berdosa. “Aku punya utang ke temanku. Dan dia ingin kejelasan soal utang itu. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkanmu, tapi...”

“Berapa?” Anna langsung memotong pembicaraan Orion, supaya Orion bisa segera pergi dari kosnya. Karena jujur, Anna lelah dan butuh waktu sendiri. Ia tidak ingin diganggu siapa pun, apalagi Orion. Adik yang selama ini dianggapnya sebagai beban hidup.

“Seratus empat puluh...” Orion menggaruk kepalanya. “Juta.”

Sunyi. Anna yang tadinya hendak mengeluarkan uang dari dompetnya langsung mendongak, wajahnya datar. “Kau barusan bilang... seratus empat puluh juta?”

“Iya, Kak—”

BRAK!

Anna melempar tas ke arah Orion. Sang adik pun reflek menghindar.

“KAU MAU MATI, HAH?!” suaranya meledak, menggema di kamar sempit itu. “Kau pikir aku ini ATM berjalan atau apa?!”

Orion mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Sabar, Kak! Akan kujelaskan semuanya. Ingat, aku adikmu!”

“Aku tidak butuh adik menyusahkan sepertimu! Dari dulu kau cuma jadi bebanku!”

Anna melempari Orion dengan apa saja yang bisa dijangkaunya. Mulai pigura, buku-buku setebal batu bata, hingga pajangan meja. Ia tak peduli walau semuanya hancur berantakan. Anna benar-benar mengamuk dan kehilangan akal. Tangannya gemetar, matanya liar mencari benda berikutnya untuk dilempar. Napasnya memburu seperti baru selesai lari maraton.

Keranjang baju kotor jadi sasaran berikutnya. Anna melemparnya ke Orion sampai isinya berhamburan, menutupi lantai dan sofa.

“Kau bisa dipenjara kalau aku sampai terbunuh!” seru Orion, mencoba menenangkan Anna dengan cara yang justru makin menyulut amarahnya.

“Aku tidak peduli! Lebih baik aku dipenjara daripada harus terus menghadapi adik kurang ajar sepertimu!” Anna meraih sapu dan langsung mengejar Orion yang pontang-panting di dalam kamar kos sempit itu. Kamar itu kini benar-benar kacau—seperti kapal yang karam disapu badai.

Orion kabur keluar kamar. Anna tak mau kalah.

“Jangan kabur kau, Orion!” Ia meraih sepatu kets paling tebal di rak sepatu dan melemparkannya sekencang mungkin ke arah adik yang lari tunggang langgang menuju belokan.

Sayangnya...

BLETAK!

Alih-alih mengenai Orion, sepatu itu salah sasaran dan mendarat sempurna di pelipis seorang pria yang muncul dari arah berlawanan. Kavi.

Waktu seolah membeku. Anna terpaku.

Rendy yang berdiri di belakang Kavi langsung sigap melangkah ke depan, mengecek keadaan sang bos. “Bos! Kepalamu berdarah!” serunya panik, memeriksa luka Kavi.

Kavi memicingkan mata ke arah Anna, wajahnya datar tapi sorot matanya tajam menusuk. Anna menelan ludah, sadar dirinya dalam masalah besar.

Orion mengintip dari balik dinding sambil melambaikan tangan pada Anna, kemudian langsung kabur secepat kilat.

Anna mengumpulkan keberanian mendekati Kavi. “Ya ampun, saya minta maaf... saya tidak sengaja. Saya punya plester luka di kamar, kalau Anda tidak keberatan,” ujarnya ragu sambil menunjuk ke arah kamarnya. Tubuhnya seperti ingin menghilang dari tempat itu secepat mungkin.

Kavi—pria yang seminggu lalu muncul di Teras Rumah, kini berdiri dengan pelipis berdarah akibat sepatu milik Anna. Tanpa berkata apa-apa Kavi berjalan menuju kamar kos Anna. Rendy menyusul di belakangnya dengan ekspresi tegang.

Anna menghela napas panjang. Bingung, malu, dan masih sedikit marah. Tapi ia tahu, harus menyelesaikan kekacauan ini dulu sebelum kembali ‘mengurus’ Orion.

“Awas kau, Orion! Lain kali aku akan benar-benar membunuhmu!” gerutunya sambil menyusul dua pria itu ke dalam kamar. []

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 3 | Calon Suami

    Mulut Rendy menganga melihat kondisi kamar kos Anna yang berantakan luar biasa. Barang berserakan di mana-mana seperti baru saja terjadi kerusuhan mini. Di dekat ambang pintu, Kavi berdiri diam. Pandangannya menyapu seluruh ruangan tanpa ekspresi. Rendy terpaksa menyingkirkan buku-buku dan baju kotor yang berserakan di lantai agar Kavi bisa lewat.Anna yang baru masuk belakangan, langsung membekap mulutnya. “Oh shit,” desisnya malu, lalu dengan kikuk menendangi barang-barang yang berserakan di sekitar sofa.“Kau yakin tidak ingin ke dokter saja, Bos? Tempat ini... kurang steril,” komentar Rendy bergidik, sambil memandangi sekeliling kamar kos yang kacau balau.“Kos ini biasanya bersih, kok. Cuma... ya, ini tadi... agak berantakan,” elak Anna, mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa.“Agak?” sindir Kavi singkat.“Maksud saya—sangat berantakan. Adik saya penyebabnya. Maaf kalau kalian jadi tidak nyaman.” Anna buru-buru menambahkan, lalu menunjuk ke sofa. “Silakan duduk.”Kavi m

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-25
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 4 | Luka Hati

    Orion duduk diam di samping Anna dalam taksi. Tidak ada percakapan, hanya ada sunyi yang mengisi ruang. Tatapan Anna lurus menembus jendela, seolah dunia di luar sana lebih layak dipedulikan daripada adik kandungnya sendiri.Orion ingin bertanya, tapi ia urungkan. Ia sadar, setelah drama besar beberapa hari lalu, ia tidak punya hak untuk banyak bicara. Apalagi, ia baru menemui Anna tiga hari sejak diminta datang. Saat menjemputnya tadi, Anna hanya mengatakan satu hal, “Ikut aku.” Dan Orion menuruti, meski pikirannya penuh tanda tanya.Taksi berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta, megah dan modern. Orion melirik gedung itu, bingung, lalu buru-buru menyusul Anna yang sudah turun lebih dulu.“Kenapa kita ke rumah sakit? Kau sakit?” tanyanya, heran sekaligus cemas.Anna menggeleng singkat. “Kau harus medical check up. Aku ingin tahu kondisi kesehatanmu secara menyeluruh.”Orion termenung. Ia menatap Anna lama, seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ucapan Anna terdengar sepert

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-25
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 5 | Dunia Asing

    Anna berulang kali meremas ujung bajunya dengan gugup. Perasaannya campur aduk. Bagaimana tidak, tiba-tiba seorang pria bernama Khairan datang ke kosnya, mengaku sebagai sopir pribadi Kavi. Ia membawa kabar duka sekaligus menjemput Anna.Erianto—kakek penjual steak itu meninggal dunia.Hati Anna langsung terasa kosong. Meski mereka hanya bertemu sekali, makan malam bersama Erianto di Teras Rumah menyisakan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dalam hidupnya, baru kali itu Anna merasa benar-benar didengar. Dan ironisnya, itu justru dilakukan oleh orang asing—seorang pria tua yang belakangan Anna ketahui adalah kakek Kavi.Anna masih ingat betul momen malam itu. Bagaimana Erianto dengan sabar mendengarkannya menangis, tanpa menghakimi.“Aku merencanakan makan malam ini dari jauh-jauh hari, Kek. Mereka semua senang, tidak sabar ingin ke sini saat tahu aku berhasil reservasi di Teras Rumah. Tapi tiba-tiba mereka membatalkan dan membuat acara sendiri... tanpa memberitahuku,” ucap Anna lirih,

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-25
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 6 | Surat Wasiat

    Anna meremas-remas ibu jarinya di atas pangkuan. Kecemasannya makin terasa nyata. Kavi sempat tergerak ingin menenangkan Anna—tangannya bahkan nyaris terulur untuk menyentuh punggung tangan gadis itu. Tapi gerakan itu terhenti, ketika Devan lebih dulu membuka percakapan.“Hai, aku Devan,” sapa pria yang duduk di sebelah Anna. Suaranya tenang, hangat, seperti sedang menyambut tamu kehormatan di tengah rapat keluarga.Anna sempat terkejut, tapi segera membalas ramah, “Anna.” Ia menyambut uluran tangan Devan sambil melempar senyum kecil. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan cemas yang sedari tadi dirasakannya.Melihat Anna sudah sedikit lebih tenang, Kavi menoleh ke arah Harris dan memberi anggukan kecil. Sebuah isyarat untuk memulai sesi utama.Harris, pengacara keluarga, segera mengambil berkas dari dalam tas kerjanya yang rapi. Ia berdeham ringan, lalu membuka lembaran pertama.“Karena seluruh pihak yang berkepentingan telah hadir, saya akan langsung membacakan surat wasiat

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-07
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 7 | Pemakaman

    Rendy tetap setia menemani Anna sampai ke mobil. Tatapannya diam-diam memindai wajah Anna, memastikan perempuan itu baik-baik saja setelah meninggalkan ketegangan di balik pintu kediaman Erianto Waradana.“Pasti lega rasanya bisa keluar dari sarang ‘naga’,” celetuk Rendy ringan, mencoba mencairkan suasana.Anna tak bisa menahan senyum tipis. “Aku tidak pernah merasa setegang ini seumur hidupku.”Rendy terkekeh kecil. “Baguslah. Berarti kau lolos uji nyali hari ini. Nanti-nanti kau pasti akan lebih santai menghadapi para ‘naga’ itu.”Anna kembali tersenyum, kali ini sedikit lebih lepas. “Tidak ada alasan juga buatku untuk menemui mereka lagi,” ucapnya sambil melirik ke arah mobil.Khairan sudah membukakan pintu, tapi sebelum Anna sempat melangkah masuk, sebuah tangan menahan pintu dari sisi lain. Anna refleks menoleh dan terkejut melihat Devan berdiri di sana. Tatapan matanya tajam, namun senyum di bibirnya tetap tenang.“Aku yang akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya tenang, seakan itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-10
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 8 | Deep Talk

    Kavi mengemudi dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil terasa senyap, hanya suara mesin dan angin dari luar jendela yang terdengar samar. Di kursi penumpang, Anna duduk tegak, canggung. Sejak mereka meninggalkan Plumeria Memorial Park, Kavi belum mengucapkan sepatah kata pun. Diamnya bukan diam biasa. Ada ketegangan yang terasa dari raut wajahnya—dan dari caranya memegang kemudi dengan mantap.Aura Kavi yang sejak awal terasa mengintimidasi, sekarang malah lebih menusuk diam-diam. Anna merasakannya—sampai ke kulit. Anehnya, ia tetap menurut ketika Kavi tiba-tiba datang, menariknya dari Devan, dan membawanya pergi tanpa banyak penjelasan. Entah kenapa, Anna merasa... tidak bisa menolak.Kavi, sebaliknya, tampak tenang. Dingin bahkan. Mengemudi tanpa ekspresi, seolah mobil ini hanya kendaraan, bukan ruang penuh ketegangan dua arah.“Kenapa kau pulang bersama Devan?” suara Kavi akhirnya terdengar. Tenang, namun jelas-jelas menyimpan nada tajam. “Tadi aku bilang, biar Khairan yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-16
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 9 | Beban Bernama Sayang

    Anna berlari menyeberangi jembatan penyeberangan dengan napas memburu. Pikirannya kacau. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tak peduli. Satu jam lalu, ia menerima telepon dari kantor polisi di Ibu Kota. Seorang polisi mengabarkan bahwa adiknya, Orion, ditangkap atas dugaan penipuan. Anna langsung tahu—ini pasti soal utang itu. Masalah yang selama ini terus membayanginya.Ia segera mencari taksi dan memohon agar sopirnya melaju secepat mungkin ke kantor polisi. Tapi sialnya, jalur utama menuju ke sana macet parah akibat kebakaran di kawasan padat. Tak ingin membuang waktu, Anna turun di tengah jalan dan memilih berlari. Menyusuri trotoar, menembus kerumunan, melintasi beberapa blok demi tiba secepat mungkin.Begitu sampai di kantor polisi, Anna langsung menghampiri petugas dan diberi tahu lokasi Orion ditahan. Langkahnya tergesa, napasnya masih tak beraturan saat ia membuka pintu ruang interogasi.DEG!Orion duduk di sana, kepala tertunduk, tangan diborgol, mengenakan baju tahanan

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-17
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 10 | Tentang Kebaikan

    Anna berdiri di depan pintu kamar kosnya, berhadapan dengan Dahlia—pemilik kos yang dari tadi bicara dengan nada tinggi dan ketus. Suara mereka cukup keras hingga beberapa penghuni kamar lain mulai mengintip dari balik pintu. Ada yang berbisik, ada pula yang menatap dengan iba, namun tak satu pun yang cukup peduli untuk ikut campur.“Batas maksimal aku memberi kelonggaran itu cuma dua bulan. Setelah itu mau tidak mau kau harus pergi dari kos ini. Kalau kau masih ingin tinggal di sini, bayar sewa yang tertib!” ujar Dahlia dengan suara tajam.“Saya mohon, Bu Dahlia... beri saya waktu seminggu saja. Saya sedang mencari kerja. Saya janji akan bayar semuanya. Mohon pengertiannya...” Anna membungkuk sedikit, berusaha menahan suaranya agar tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.“Pengertian?!” Dahlia menyeringai sinis. “Kau pikir aku punya kos ini untuk amal?! Listrik, air, semuanya harus dibayar! Bukan pakai janji!”“Pokoknya besok kau harus keluar atau bayar uang sewa kosmu yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-20

Bab terbaru

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 19 | Pertemuan Keluarga

    “Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 18 | Salah Ruangan

    Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 17 | Semesta Gahana

    Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 16 | Kebebasan Orion

    Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 15 | Salah Kamar

    Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 14 | Runtuhnya Gunung Es

    Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 13 | Kesatria Berkuda Putih

    Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 12 | Di Ambang Runtuhnya Harga Diri

    Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status