Home / Romansa / Istri Dadakan sang Pewaris / BAB 6 | Surat Wasiat

Share

BAB 6 | Surat Wasiat

Author: Yulia Ang
last update Last Updated: 2024-06-07 11:42:34

Anna meremas-remas ibu jarinya di atas pangkuan. Kecemasannya makin terasa nyata. Kavi sempat tergerak ingin menenangkan Anna—tangannya bahkan nyaris terulur untuk menyentuh punggung tangan gadis itu. Tapi gerakan itu terhenti, ketika Devan lebih dulu membuka percakapan.

“Hai, aku Devan,” sapa pria yang duduk di sebelah Anna. Suaranya tenang, hangat, seperti sedang menyambut tamu kehormatan di tengah rapat keluarga.

Anna sempat terkejut, tapi segera membalas ramah, “Anna.” Ia menyambut uluran tangan Devan sambil melempar senyum kecil. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan cemas yang sedari tadi dirasakannya.

Melihat Anna sudah sedikit lebih tenang, Kavi menoleh ke arah Harris dan memberi anggukan kecil. Sebuah isyarat untuk memulai sesi utama.

Harris, pengacara keluarga, segera mengambil berkas dari dalam tas kerjanya yang rapi. Ia berdeham ringan, lalu membuka lembaran pertama.

“Karena seluruh pihak yang berkepentingan telah hadir, saya akan langsung membacakan surat wasiat peninggalan almarhum Tuan Erianto Waradana.”

Suasana seketika hening. Hanya suara lembut kertas dan nada formal Harris yang terdengar menggema di antara langit-langit tinggi ruangan.

“Dengan nama Tuhan Yang Maha Esa, saya, Erianto Waradana, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani pada saat penulisan ini, menyatakan kehendak saya yang terakhir dan sah.”

Suara Harris menggema ringan di ruangan yang hening.

“Saya menyadari bahwa hidup saya tidak kekal. Maka saya menulis surat wasiat ini sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih saya pada keluarga.”

Anna menunduk dalam, mendengarkan penuh hormat. Di sisi lain, Kavi hanya menatap lurus ke depan, rahangnya sedikit mengeras.

“Saya menunjuk Harris B. Yudhantara, pengacara pribadi saya, sebagai pelaksana wasiat ini dan pemegang otoritas atas pelaksanaan seluruh instruksi yang saya cantumkan di dalamnya.”

Harris berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih berat.

 “Terkait kepemilikan saham di Waradana Group, termasuk perusahaan induk PT Semesta Gahana Tbk, yang saya miliki, beserta anak-anak perusahaannya—yaitu: PT SG Energi Nusantara Tbk, PT SG Properti Sentosa Tbk, PT SG Capital Investama Tbk, PT SG Foods Internasional Tbk, dan PT SG Media Kreatif Tbkmaka pembagiannya akan dijelaskan dalam poin-poin berikut ini...Haris memberikan jeda.

“Poin pertama: Seluruh keturunan keluarga Waradana akan menerima 20% saham Waradana Group. Saham ini akan dibagi rata kepada generasi kedua dan ketiga, yaitu anak-anak saya—Fiki Waradana dan Salma Waradana—serta dua cucu saya, Bagas Kavi Waradana dan Devan Jovian Waradana.

Sejenak suasana hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar samar. Kemudian Harris melanjutkan.

“Poin kedua: Apabila cucu saya yang selama ini dinyatakan hilang muncul kembali dan dapat membuktikan garis keturunannya secara sah, baik melalui dokumen resmi maupun hasil verifikasi genetik, maka ia berhak memperoleh bagian yang setara dari 20% saham yang telah disebutkan sebelumnya.

Tatapan Fiki, Selvia, dan Salma terlihat berubah. Tak suka. Tapi mereka tetap diam, menyimpan ekspresi itu rapat-rapat.

Harris melirik sekilas ke arah Kavi, lalu kembali pada berkas di tangannya.

“Poin ketiga: Untuk cucuku, Bagas Kavi Waradana, aku menitipkan satu tugas penting.”

Seluruh ruangan tegang. Beberapa pasang mata mulai melirik Kavi. Semua menunggu lanjutan kalimat itu—termasuk Anna, yang tanpa sadar menahan napas. Kavi hanya menatap lurus, nyaris tanpa ekspresi.

Apabila Bagas Kavi Waradana bersedia menikahi Brianna Izara, maka 50% saham Waradana Group akan diberikan kepadanya. Dengan ketentuan bahwa, dalam kurun waktu dua tahun sejak pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai seorang anak sebagai penerus generasi keempat Waradana. Saham tersebut akan dibagi dua, atas nama Brianna Izara dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Anna menoleh kaget ke arah Kavi. Mereka saling tatap sejenak, nyaris tidak percaya akan bunyi wasiat itu. Selama ini, mereka hanya tahu tentang perjodohan, bukan tentang anak...

Tatapan dari Fiki, Selvia, dan Salma seperti menusuk—mengamati Anna dengan dingin. Namun Anna tetap berusaha menegakkan tubuh, menjaga sikap tenangnya, meski dadanya bergemuruh.

“Poin ke empat: Sisa saham sebesar 30% akan dilepas ke publik. Sebanyak 20% akan ditawarkan melalui lelang terbuka di pasar saham, sementara 10% sisanya akan disumbangkan kepada badan amal yang menjadi mitra tetap Waradana Group.”

Harris terdiam sesaat, lalu membaca bagian terakhir.

“Catatan tambahan: Apabila salah satu pihak yang disebut dalam Poin Ketiga menolak untuk menikah, maka hak atas 50% saham tersebut dianggap gugur. Seluruh saham itu akan dialihkan dan turut dilelang ke publik, tanpa pengecualian.

Harris menatap seluruh yang hadir sebelum menutup dengan kalimat penutup resmi.

“Demikian surat wasiat ini dibuat oleh Tuan Erianto Waradana dalam keadaan sadar, tanpa paksaan dari pihak mana pun. Harap seluruh isinya dijalankan sebagaimana mestinya.”

Harris menunduk ringan. Hening kembali menguasai ruangan.

Suasana di dalam ruangan menegang. Beberapa wajah jelas menunjukkan ketidaksenangan. Ada yang saling berpandangan dengan penuh tanda tanya, ada pula yang terang-terangan menampakkan ketidaksetujuan.

Harris, sang pengacara, membuka suara, memberi kesempatan bagi siapa pun yang ingin menyampaikan pendapat.

“Apakah ada yang ingin menanggapi isi surat wasiat yang baru saja saya bacakan?” tanyanya tenang, namun cukup untuk memecah keheningan.

Selvia—ibu dari Devan—angkat bicara lebih dulu. Suaranya terdengar ragu, namun tak bisa menyembunyikan nada protes yang terselip di dalamnya.

“Kalau boleh tahu, kenapa ayah mertua menunjuk Kavi untuk menikahi Brianna? Kenapa bukan Devan? Devan juga cucu beliau, dan dia sudah siap menikah.”

Belum sempat Harris menjawab, Salma—anak bungsu Erianto—menimpali dengan nada menyindir.

“Yakin kau mau Devan menikahi perempuan asing, yang bahkan kita tak tahu asal-usulnya? Tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” ucapnya sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Anna.

Ucapan itu membuat Anna tercekat. Rasa tak nyaman menggelayut di dadanya, namun ia memilih diam. Ia tahu, membalas hanya akan memperkeruh keadaan. Tapi tak disangka, Devan malah membuka suara. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Sebenarnya, aku tidak keberatan juga seandainya Kakek memilihku untuk menikahi Anna.”

Anna menoleh cepat, menatap Devan dengan ekspresi bingung dan tak percaya. Sementara Kavi, walau wajahnya tetap tenang, tak bisa menyembunyikan sorot mata tajam yang melirik sepupunya.

Selvia mendengus pelan. “Aneh saja tiba-tiba sebagian besar saham Waradana Group dipercayakan kepada Kavi dan—maaf—perempuan yang bahkan belum lama dikenal keluarga ini.”

Fiki, ayah Devan, ikut menimpali. Suaranya datar namun mengandung hinaan halus.

“Semoga saja dia bukan anak dari salah satu simpanan Ayah.”

Kalimat itu langsung membekukan udara. Tatapan semua orang berpindah ke Fiki, lalu ke Anna.

Kavi tidak tinggal diam. Ia bersandar sedikit ke depan, suaranya rendah tapi tegas.

“Tolong jaga ucapan, Om. Tidak pantas seorang anak laki-laki bicara buruk tentang ayahnya sendiri.”

Fiki menyeringai kecil, lalu menatap Kavi dengan sorot mengejek.

“Oh ya? Kau lupa memangnya? Kau pikir kau tidak pernah bicara kasar pada papamu sendiri? Aku masih ingat jelas, bagaimana kau teriak-teriak di depan papamu—bahkan bilang kau membencinya dan berharap dia pergi jauh dari hidupmu.”

Rahang Kavi mengatup. Matanya menatap tajam ke arah Fiki. Sesaat, udara dalam ruangan seakan membeku. Aura permusuhan menyebar halus namun menusuk.

Anna merasa napasnya berat. Ia duduk diam, menyadari bahwa dirinya telah terseret dalam pusaran konflik keluarga besar ini—rumit, dingin, dan penuh luka yang belum sembuh.

Harris segera bicara, mencoba mencairkan ketegangan yang menggantung di udara.

“Tuan Erianto tidak menyebutkan alasan khusus mengapa memilih Kavi untuk menikahi Brianna. Beliau hanya menyampaikan keinginannya agar keduanya bersatu. Namun, keputusan sepenuhnya tetap beliau serahkan pada Kavi dan Brianna—apakah mereka menerima perjodohan ini atau tidak.”

Penjelasan itu jelas tak memuaskan pihak yang sejak awal sudah keberatan. Wajah Fiki, Selvia, dan Salma tampak makin kaku.

Salma menatap Anna tajam, lalu tersenyum miring.

“Ya, sudah. Selamat datang di keluarga Waradana. Hati-hati dalam bersikap, Nona. Jangan sampai kau menambah daftar panjang aib keluarga ini... salah satunya seperti ibu mertuamu.”

“Tante Salma!” tegur Kavi dengan suara yang sarat emosi.

Salma hanya mengangkat bahu. “Aku cuma mengingatkan, Kav. Toh, cepat atau lambat dia juga akan tahu. Semua orang yang masuk ke keluarga ini pasti tahu masalah kita. Tak ada yang bisa disembunyikan.”

Kavi mengembuskan napas panjang. Suaranya terdengar berat, tapi tegas saat ia akhirnya berbicara.

“Brianna Izara... tidak akan menjadi istriku.”

DEG!

Anna menahan napas. Begitu pula Devan, yang memandang Kavi dengan ekspresi tercengang. Wajah seluruh ruangan membeku.

“Apa maksudmu?!” Fiki hampir berdiri dari duduknya. “Kau akan membiarkan tiga per empat saham perusahaan jatuh ke tangan publik?! Apa kau kehilangan akal, Kavi?! Itu artinya kau menyerahkan Waradana Group ke tangan orang luar!”

Salma menyusul, nada suaranya lebih dingin. “Ayah memang tidak adil pada kami, tapi membiarkan saham sebesar itu dilelang—itu kebodohan yang tak bisa ditoleransi.”

Anna menggenggam kedua tangannya di atas pangkuan. Napasnya bergetar. Ia merasa tidak seharusnya ikut lebih jauh dalam konflik keluarga sebesar ini.

Akhirnya, ia memberanikan diri membuka suara.

“Maaf, sepertinya saya sudah tidak ada urusan lagi di sini. Kalau tidak keberatan, saya pamit.”

Semua menoleh padanya. Harris mengangguk sopan.

“Anda boleh pergi, Nona. Tuan Muda sudah menyatakan keputusannya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir.”

Anna mengangguk pelan. Namun sebelum ia benar-benar beranjak, suara Kavi terdengar lagi—sedikit lebih pelan, tapi cukup jelas.

“Khairan akan mengantarmu pulang.”

Lalu Kavi menoleh dan memanggil tegas, “Rendy!”

Pintu terbuka. Rendy muncul dengan cepat. “Ya, Bos?”

“Antar Anna ke depan.”

“Baik.”

Anna berjalan mendekati Rendy, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Langkahnya terdengar ringan namun tergesa, seperti ingin segera menjauh dari atmosfer penuh tekanan itu.

Tak lama kemudian, Devan juga ikut bangkit dan keluar ruangan tanpa berkata-kata. Kavi bersiap untuk berdiri, namun langkahnya terhenti oleh suara Salma. “Kau mau ke mana, Kavi? Duduk kalau kau masih menghormati aku sebagai tantemu.”

Fiki menimpali, tak kalah tajam. “Obrolan ini belum selesai. Masa depan Waradana Group ada di tanganmu.”

Kavi terdiam. Ia menahan napas dalam-dalam, lalu akhirnya duduk kembali. Ia tahu, berdebat dengan Salma dan Fiki bukan perkara mudah. Tapi pikirannya kini bukan pada mereka—melainkan tertinggal di ambang pintu tempat Anna melangkah pergi. Tatapannya menerawang, menyimpan resah yang tak ia tunjukkan dengan kata. []

Yulia Ang

Hai, semua. Terima kasih ya buat kalian yang ngikutin kisah Anna dan Kavi. Semoga kisahnya bisa menghibur dan menjadi teman di saat suntuk~

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 25 | Nikah Kontrak

    Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 24 | Sisi Gelap sang Pewaris

    Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 23 | Dendam Membara

    Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 22 | Konferensi Pers

    Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 21 | She Fell First, He Fell Harder

    Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status