Anna meremas-remas ibu jarinya di atas pangkuan. Kecemasannya makin terasa nyata. Kavi sempat tergerak ingin menenangkan Anna—tangannya bahkan nyaris terulur untuk menyentuh punggung tangan gadis itu. Tapi gerakan itu terhenti, ketika Devan lebih dulu membuka percakapan.
“Hai, aku Devan,” sapa pria yang duduk di sebelah Anna. Suaranya tenang, hangat, seperti sedang menyambut tamu kehormatan di tengah rapat keluarga.
Anna sempat terkejut, tapi segera membalas ramah, “Anna.” Ia menyambut uluran tangan Devan sambil melempar senyum kecil. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan cemas yang sedari tadi dirasakannya.
Melihat Anna sudah sedikit lebih tenang, Kavi menoleh ke arah Harris dan memberi anggukan kecil. Sebuah isyarat untuk memulai sesi utama.
Harris, pengacara keluarga, segera mengambil berkas dari dalam tas kerjanya yang rapi. Ia berdeham ringan, lalu membuka lembaran pertama.
“Karena seluruh pihak yang berkepentingan telah hadir, saya akan langsung membacakan surat wasiat peninggalan almarhum Tuan Erianto Waradana.”
Suasana seketika hening. Hanya suara lembut kertas dan nada formal Harris yang terdengar menggema di antara langit-langit tinggi ruangan.
“Dengan nama Tuhan Yang Maha Esa, saya, Erianto Waradana, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani pada saat penulisan ini, menyatakan kehendak saya yang terakhir dan sah.”
Suara Harris menggema ringan di ruangan yang hening.
“Saya menyadari bahwa hidup saya tidak kekal. Maka saya menulis surat wasiat ini sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih saya pada keluarga.”
Anna menunduk dalam, mendengarkan penuh hormat. Di sisi lain, Kavi hanya menatap lurus ke depan, rahangnya sedikit mengeras.
“Saya menunjuk Harris B. Yudhantara, pengacara pribadi saya, sebagai pelaksana wasiat ini dan pemegang otoritas atas pelaksanaan seluruh instruksi yang saya cantumkan di dalamnya.”
Harris berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih berat.
“Terkait kepemilikan saham di Waradana Group, termasuk perusahaan induk PT Semesta Gahana Tbk, yang saya miliki, beserta anak-anak perusahaannya—yaitu: PT SG Energi Nusantara Tbk, PT SG Properti Sentosa Tbk, PT SG Capital Investama Tbk, PT SG Foods Internasional Tbk, dan PT SG Media Kreatif Tbk—maka pembagiannya akan dijelaskan dalam poin-poin berikut ini...” Haris memberikan jeda.
“Poin pertama: Seluruh keturunan keluarga Waradana akan menerima 20% saham Waradana Group. Saham ini akan dibagi rata kepada generasi kedua dan ketiga, yaitu anak-anak saya—Fiki Waradana dan Salma Waradana—serta dua cucu saya, Bagas Kavi Waradana dan Devan Jovian Waradana.”
Sejenak suasana hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar samar. Kemudian Harris melanjutkan.
“Poin kedua: Apabila cucu saya yang selama ini dinyatakan hilang muncul kembali dan dapat membuktikan garis keturunannya secara sah, baik melalui dokumen resmi maupun hasil verifikasi genetik, maka ia berhak memperoleh bagian yang setara dari 20% saham yang telah disebutkan sebelumnya.”
Tatapan Fiki, Selvia, dan Salma terlihat berubah. Tak suka. Tapi mereka tetap diam, menyimpan ekspresi itu rapat-rapat.
Harris melirik sekilas ke arah Kavi, lalu kembali pada berkas di tangannya.
“Poin ketiga: Untuk cucuku, Bagas Kavi Waradana, aku menitipkan satu tugas penting.”
Seluruh ruangan tegang. Beberapa pasang mata mulai melirik Kavi. Semua menunggu lanjutan kalimat itu—termasuk Anna, yang tanpa sadar menahan napas. Kavi hanya menatap lurus, nyaris tanpa ekspresi.
“Apabila Bagas Kavi Waradana bersedia menikahi Brianna Izara, maka 50% saham Waradana Group akan diberikan kepadanya. Dengan ketentuan bahwa, dalam kurun waktu dua tahun sejak pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai seorang anak sebagai penerus generasi keempat Waradana. Saham tersebut akan dibagi dua, atas nama Brianna Izara dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut.”
Anna menoleh kaget ke arah Kavi. Mereka saling tatap sejenak, nyaris tidak percaya akan bunyi wasiat itu. Selama ini, mereka hanya tahu tentang perjodohan, bukan tentang anak...
Tatapan dari Fiki, Selvia, dan Salma seperti menusuk—mengamati Anna dengan dingin. Namun Anna tetap berusaha menegakkan tubuh, menjaga sikap tenangnya, meski dadanya bergemuruh.
“Poin ke empat: Sisa saham sebesar 30% akan dilepas ke publik. Sebanyak 20% akan ditawarkan melalui lelang terbuka di pasar saham, sementara 10% sisanya akan disumbangkan kepada badan amal yang menjadi mitra tetap Waradana Group.”
Harris terdiam sesaat, lalu membaca bagian terakhir.
“Catatan tambahan: Apabila salah satu pihak yang disebut dalam Poin Ketiga menolak untuk menikah, maka hak atas 50% saham tersebut dianggap gugur. Seluruh saham itu akan dialihkan dan turut dilelang ke publik, tanpa pengecualian.”
Harris menatap seluruh yang hadir sebelum menutup dengan kalimat penutup resmi.
“Demikian surat wasiat ini dibuat oleh Tuan Erianto Waradana dalam keadaan sadar, tanpa paksaan dari pihak mana pun. Harap seluruh isinya dijalankan sebagaimana mestinya.”
Harris menunduk ringan. Hening kembali menguasai ruangan.
Suasana di dalam ruangan menegang. Beberapa wajah jelas menunjukkan ketidaksenangan. Ada yang saling berpandangan dengan penuh tanda tanya, ada pula yang terang-terangan menampakkan ketidaksetujuan.
Harris, sang pengacara, membuka suara, memberi kesempatan bagi siapa pun yang ingin menyampaikan pendapat.
“Apakah ada yang ingin menanggapi isi surat wasiat yang baru saja saya bacakan?” tanyanya tenang, namun cukup untuk memecah keheningan.
Selvia—ibu dari Devan—angkat bicara lebih dulu. Suaranya terdengar ragu, namun tak bisa menyembunyikan nada protes yang terselip di dalamnya.
“Kalau boleh tahu, kenapa ayah mertua menunjuk Kavi untuk menikahi Brianna? Kenapa bukan Devan? Devan juga cucu beliau, dan dia sudah siap menikah.”
Belum sempat Harris menjawab, Salma—anak bungsu Erianto—menimpali dengan nada menyindir.
“Yakin kau mau Devan menikahi perempuan asing, yang bahkan kita tak tahu asal-usulnya? Tidak jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” ucapnya sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Anna.
Ucapan itu membuat Anna tercekat. Rasa tak nyaman menggelayut di dadanya, namun ia memilih diam. Ia tahu, membalas hanya akan memperkeruh keadaan. Tapi tak disangka, Devan malah membuka suara. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Sebenarnya, aku tidak keberatan juga seandainya Kakek memilihku untuk menikahi Anna.”
Anna menoleh cepat, menatap Devan dengan ekspresi bingung dan tak percaya. Sementara Kavi, walau wajahnya tetap tenang, tak bisa menyembunyikan sorot mata tajam yang melirik sepupunya.
Selvia mendengus pelan. “Aneh saja tiba-tiba sebagian besar saham Waradana Group dipercayakan kepada Kavi dan—maaf—perempuan yang bahkan belum lama dikenal keluarga ini.”
Fiki, ayah Devan, ikut menimpali. Suaranya datar namun mengandung hinaan halus.
“Semoga saja dia bukan anak dari salah satu simpanan Ayah.”
Kalimat itu langsung membekukan udara. Tatapan semua orang berpindah ke Fiki, lalu ke Anna.
Kavi tidak tinggal diam. Ia bersandar sedikit ke depan, suaranya rendah tapi tegas.
“Tolong jaga ucapan, Om. Tidak pantas seorang anak laki-laki bicara buruk tentang ayahnya sendiri.”
Fiki menyeringai kecil, lalu menatap Kavi dengan sorot mengejek.
“Oh ya? Kau lupa memangnya? Kau pikir kau tidak pernah bicara kasar pada papamu sendiri? Aku masih ingat jelas, bagaimana kau teriak-teriak di depan papamu—bahkan bilang kau membencinya dan berharap dia pergi jauh dari hidupmu.”
Rahang Kavi mengatup. Matanya menatap tajam ke arah Fiki. Sesaat, udara dalam ruangan seakan membeku. Aura permusuhan menyebar halus namun menusuk.
Anna merasa napasnya berat. Ia duduk diam, menyadari bahwa dirinya telah terseret dalam pusaran konflik keluarga besar ini—rumit, dingin, dan penuh luka yang belum sembuh.
Harris segera bicara, mencoba mencairkan ketegangan yang menggantung di udara.
“Tuan Erianto tidak menyebutkan alasan khusus mengapa memilih Kavi untuk menikahi Brianna. Beliau hanya menyampaikan keinginannya agar keduanya bersatu. Namun, keputusan sepenuhnya tetap beliau serahkan pada Kavi dan Brianna—apakah mereka menerima perjodohan ini atau tidak.”
Penjelasan itu jelas tak memuaskan pihak yang sejak awal sudah keberatan. Wajah Fiki, Selvia, dan Salma tampak makin kaku.
Salma menatap Anna tajam, lalu tersenyum miring.
“Ya, sudah. Selamat datang di keluarga Waradana. Hati-hati dalam bersikap, Nona. Jangan sampai kau menambah daftar panjang aib keluarga ini... salah satunya seperti ibu mertuamu.”
“Tante Salma!” tegur Kavi dengan suara yang sarat emosi.
Salma hanya mengangkat bahu. “Aku cuma mengingatkan, Kav. Toh, cepat atau lambat dia juga akan tahu. Semua orang yang masuk ke keluarga ini pasti tahu masalah kita. Tak ada yang bisa disembunyikan.”
Kavi mengembuskan napas panjang. Suaranya terdengar berat, tapi tegas saat ia akhirnya berbicara.
“Brianna Izara... tidak akan menjadi istriku.”
DEG!
Anna menahan napas. Begitu pula Devan, yang memandang Kavi dengan ekspresi tercengang. Wajah seluruh ruangan membeku.
“Apa maksudmu?!” Fiki hampir berdiri dari duduknya. “Kau akan membiarkan tiga per empat saham perusahaan jatuh ke tangan publik?! Apa kau kehilangan akal, Kavi?! Itu artinya kau menyerahkan Waradana Group ke tangan orang luar!”
Salma menyusul, nada suaranya lebih dingin. “Ayah memang tidak adil pada kami, tapi membiarkan saham sebesar itu dilelang—itu kebodohan yang tak bisa ditoleransi.”
Anna menggenggam kedua tangannya di atas pangkuan. Napasnya bergetar. Ia merasa tidak seharusnya ikut lebih jauh dalam konflik keluarga sebesar ini.
Akhirnya, ia memberanikan diri membuka suara.
“Maaf, sepertinya saya sudah tidak ada urusan lagi di sini. Kalau tidak keberatan, saya pamit.”
Semua menoleh padanya. Harris mengangguk sopan.
“Anda boleh pergi, Nona. Tuan Muda sudah menyatakan keputusannya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir.”
Anna mengangguk pelan. Namun sebelum ia benar-benar beranjak, suara Kavi terdengar lagi—sedikit lebih pelan, tapi cukup jelas.
“Khairan akan mengantarmu pulang.”
Lalu Kavi menoleh dan memanggil tegas, “Rendy!”
Pintu terbuka. Rendy muncul dengan cepat. “Ya, Bos?”
“Antar Anna ke depan.”
“Baik.”
Anna berjalan mendekati Rendy, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Langkahnya terdengar ringan namun tergesa, seperti ingin segera menjauh dari atmosfer penuh tekanan itu.
Tak lama kemudian, Devan juga ikut bangkit dan keluar ruangan tanpa berkata-kata. Kavi bersiap untuk berdiri, namun langkahnya terhenti oleh suara Salma. “Kau mau ke mana, Kavi? Duduk kalau kau masih menghormati aku sebagai tantemu.”
Fiki menimpali, tak kalah tajam. “Obrolan ini belum selesai. Masa depan Waradana Group ada di tanganmu.”
Kavi terdiam. Ia menahan napas dalam-dalam, lalu akhirnya duduk kembali. Ia tahu, berdebat dengan Salma dan Fiki bukan perkara mudah. Tapi pikirannya kini bukan pada mereka—melainkan tertinggal di ambang pintu tempat Anna melangkah pergi. Tatapannya menerawang, menyimpan resah yang tak ia tunjukkan dengan kata. []
Hai, semua. Terima kasih ya buat kalian yang ngikutin kisah Anna dan Kavi. Semoga kisahnya bisa menghibur dan menjadi teman di saat suntuk~
Rendy tetap setia menemani Anna sampai ke mobil. Tatapannya diam-diam memindai wajah Anna, memastikan perempuan itu baik-baik saja setelah meninggalkan ketegangan di balik pintu kediaman Erianto Waradana.“Pasti lega rasanya bisa keluar dari sarang ‘naga’,” celetuk Rendy ringan, mencoba mencairkan suasana.Anna tak bisa menahan senyum tipis. “Aku tidak pernah merasa setegang ini seumur hidupku.”Rendy terkekeh kecil. “Baguslah. Berarti kau lolos uji nyali hari ini. Nanti-nanti kau pasti akan lebih santai menghadapi para ‘naga’ itu.”Anna kembali tersenyum, kali ini sedikit lebih lepas. “Tidak ada alasan juga buatku untuk menemui mereka lagi,” ucapnya sambil melirik ke arah mobil.Khairan sudah membukakan pintu, tapi sebelum Anna sempat melangkah masuk, sebuah tangan menahan pintu dari sisi lain. Anna refleks menoleh dan terkejut melihat Devan berdiri di sana. Tatapan matanya tajam, namun senyum di bibirnya tetap tenang.“Aku yang akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya tenang, seakan itu
Kavi mengemudi dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil terasa senyap, hanya suara mesin dan angin dari luar jendela yang terdengar samar. Di kursi penumpang, Anna duduk tegak, canggung. Sejak mereka meninggalkan Plumeria Memorial Park, Kavi belum mengucapkan sepatah kata pun. Diamnya bukan diam biasa. Ada ketegangan yang terasa dari raut wajahnya—dan dari caranya memegang kemudi dengan mantap.Aura Kavi yang sejak awal terasa mengintimidasi, sekarang malah lebih menusuk diam-diam. Anna merasakannya—sampai ke kulit. Anehnya, ia tetap menurut ketika Kavi tiba-tiba datang, menariknya dari Devan, dan membawanya pergi tanpa banyak penjelasan. Entah kenapa, Anna merasa... tidak bisa menolak.Kavi, sebaliknya, tampak tenang. Dingin bahkan. Mengemudi tanpa ekspresi, seolah mobil ini hanya kendaraan, bukan ruang penuh ketegangan dua arah.“Kenapa kau pulang bersama Devan?” suara Kavi akhirnya terdengar. Tenang, namun jelas-jelas menyimpan nada tajam. “Tadi aku bilang, biar Khairan yang
Anna berlari menyeberangi jembatan penyeberangan dengan napas memburu. Pikirannya kacau. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tak peduli. Satu jam lalu, ia menerima telepon dari kantor polisi di Ibu Kota. Seorang polisi mengabarkan bahwa adiknya, Orion, ditangkap atas dugaan penipuan. Anna langsung tahu—ini pasti soal utang itu. Masalah yang selama ini terus membayanginya.Ia segera mencari taksi dan memohon agar sopirnya melaju secepat mungkin ke kantor polisi. Tapi sialnya, jalur utama menuju ke sana macet parah akibat kebakaran di kawasan padat. Tak ingin membuang waktu, Anna turun di tengah jalan dan memilih berlari. Menyusuri trotoar, menembus kerumunan, melintasi beberapa blok demi tiba secepat mungkin.Begitu sampai di kantor polisi, Anna langsung menghampiri petugas dan diberi tahu lokasi Orion ditahan. Langkahnya tergesa, napasnya masih tak beraturan saat ia membuka pintu ruang interogasi.DEG!Orion duduk di sana, kepala tertunduk, tangan diborgol, mengenakan baju tahanan
Anna berdiri di depan pintu kamar kosnya, berhadapan dengan Dahlia—pemilik kos yang dari tadi bicara dengan nada tinggi dan ketus. Suara mereka cukup keras hingga beberapa penghuni kamar lain mulai mengintip dari balik pintu. Ada yang berbisik, ada pula yang menatap dengan iba, namun tak satu pun yang cukup peduli untuk ikut campur.“Batas maksimal aku memberi kelonggaran itu cuma dua bulan. Setelah itu mau tidak mau kau harus pergi dari kos ini. Kalau kau masih ingin tinggal di sini, bayar sewa yang tertib!” ujar Dahlia dengan suara tajam.“Saya mohon, Bu Dahlia... beri saya waktu seminggu saja. Saya sedang mencari kerja. Saya janji akan bayar semuanya. Mohon pengertiannya...” Anna membungkuk sedikit, berusaha menahan suaranya agar tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.“Pengertian?!” Dahlia menyeringai sinis. “Kau pikir aku punya kos ini untuk amal?! Listrik, air, semuanya harus dibayar! Bukan pakai janji!”“Pokoknya besok kau harus keluar atau bayar uang sewa kosmu yang
Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya
Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a
Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang
Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa
“Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus
Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan
Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv
Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu
Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di
Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa
Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang
Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a
Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya