"Asal kau tau. Ayahmu sendiri yang menitipkan dirimu padaku. Bukan ke mamah ataupun papah. Jadi kau adalah tanggunganku sampai tiba saatnya saya mengembalikan kau ke ayahmu setelah kita bercerai nanti—"
"Jangan pernah coba-coba melanggar aturan yang saya buat untukmu, jika tidak mau menanggung akibatnya. Karena saya yang lebih berhak atas dirimu dari pada siapun dirumah ini," ancam Dave.
Arah pandangan Dave tanpa sengaja melihat ke arah bibir Rachel.Dave mengejapkan kedua matanya, memandangi bibir merona Rachel. Seketika muncul pikiran nakalnya yang ingin mencium Rachel. Namun saat ia beralih menatap ke arah mata Rachel. Seketika Dave tersadar."Apa maksudnya itu? Kau..."Dave menghendus sebal dan pergi meninggalkan Rachel yang belum selesai berbicara."Hey, jangan pergi. Aku belum selesai bicara," teriak Rachel seketika.Teriakan Rachel tidak menghentikan langkah kaki Dave yangDave yang baru keluar kamar mandi, melihat Rachel tengah menatap ke bagian dadanya yang tidak tertutup handuk. "Rupanya kau sudah bangun," ucap Dave datar. Suara bass Dave seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Dave mengernyitkan dahi saat melihat Rachel yang tidak juga bergeming duduk di sofa. "Kenapa masih diam disitu? Cepat mandi sana," ketus Dave mengusir Rachel ke kamar mandi. Rachel yang masih mengantuk itu, berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Dave hanya memperhatikannya dalam diam. Begitu Rachel selesai mandi, ia melihat Dave berdiri dengan lemari pakaiannya yang terbuka. Saat ini Dave telah memakai kemeja polos dan celana panjang. Namun kepalanya menoleh ke segala arah, seakan tengah mencari sesuatu. Rachel berjalan mendekatinya. "Kau cari apa? tanya Rachel menyamakan arah pandangan Dave. "Gesper hitam. Kau tidak membuang gesperku 'kan?" Rachel mende
Rachel yang tiba-tiba merasa penasaran itu, lantas menoleh ke Cindy."Dave kalau lagi kesal itu biasanya sikapnya bagaimana?" tanya Rachel manatap Cindy penuh minat."Ka Dave kalau sudah kesel pasti bakal ngomel, mengerutu terus sepanjang jalan. Pusing denger ocehannya.""Kamu sering di marahin dia juga ya.""Dirumah ini yang paling kalem cuma aku, Ka. Mamah juga sebenarnya, tapi dia kalo udah marah seremnya lebih dari papah. Ka Dave 'kan kaya papah sebenarnya gampang marah, tapi marahnya bentar doang. Jadi harap maklum ya ka."Rachel mengangguk pelan, kemudian mengajak Cindy turun ke bawah.Sesampainya mereka berdua di halaman rumah, Dave sudah berkaca pinggang di samping mobil banteng ngamuk warna hitam."Tuh 'kan, Ka. Bentar lagi bakal ngomel deh pasti," bisik Cindy di tepat telinga Rachel.Rachel dan Cindy berjalan bersamaan, mendekati Dave yang tengah be
Dave mengamati setiap lekuk wajah di hadapannya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.Tangan Rachel tanpa sadar bergerak mengusap-usap lengan dengan mata tertutup seakan merasakan hawa dingin yang menyerang.Seketika Dave sadar selimut yang di kenakan Rachel terkesiap. Kedua tangan Dave lantas terulur menarik ujung selimut itu sampai batas pundak Rachel.Baru setelah itu Dave berjalan naik ke ranjang, memposisikan dirinya berbaring dengan nyaman.Dave menatap ke atas. Kedua matanya menerawang memandangi lama atap langit-langit kamarnya. Entah apa yang di pikirkan laki-laki berambut pirang itu pada malam hari. Lelah berkutat dengan pikirannya, perlahan mata Dave terpejam dengan sendirinya.☆☆☆Sinar mentari pagi yang menyilaukan mata tertutup, membuat Dave terbangun dari tidurnya. Ia mengerang pelan sembari meregangkan otot-otot persendiannya.Dave mengejapka
Rachel yang tadinya hendak mengambil baju dari dalam kopernya itu lantas menarik resleting koper dan menutupnya kembali.Melihat kecangungan Rachel, seketika Dave menatapnya dengan kening berkerut."Aku mau ganti baju. Kalau kamu tidak ada yang mau di bicarakan lagi. Tolong keluarlah. Aku tidak nyaman membuka koper dan memperlihatkan pakaian dalamku padamu."Mendengar perkataan Rachel, Dave lantas mengeleng sembari mendesah pelan."Ehm.. Itu.. Selama kau tinggal disini, kau yang urus dapur dan segala keperluan makan harian. Kau boleh mengunakan kartu kreditku tapi, buatlah laporan pengeluarannya tiap bulan. Saya akan menagih laporan itu tiap bulan. Jika nominalnya tidak sesuai, saya akan menuntut ganti rugi. Mengerti?" ujar Dave nampak serius.Rachel kembali mengangguk patuh."Kalau kau sudah puas melihat-lihat, cepat buatkan makanan. Batas kesabaran saya saat lapar hanya lima belas menit," uca
Rachel menoleh ke arah Dave. Bahu Rachel seketika bergetar dengan sebelah tangan menutup mulutnya sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia erusaha keras menahan tawa yang ingin meledak. Dave terlihat ketakutan saat melihat wanita tengah memainkan pisau berukuran besar ditangannya. Dihadapan wanita itu nampak seekor ikan yang sesekali bergerak-gerak. Wanita itu terlihat asyik membersihkan bagian ingsang ikan. "Kau tidak suka ikan atau takut liat ikan?" bisik Rachel di telinga Dave. "Siapa yang takut? Saya hanya geli lihatnya," kata Dave sambil membalikkan badan saat wanita itu mengeluarkan bagian dalam kotoran ikan. Rachel terkekeh geli melihat ekpresi wajah Dave. "Ya, sudah. Ayo jalan. Kita cari yang lain saja," kata Rachel sambil mendorong pelan bahu Dave. Dave mengangguk, kemudian berjalan dengan kepala lurus seperti tidak ingin menoleh lagi ke arah deretan ikan segar. Mata Rachel berkeli
Setelah semua urusannya beres, Dave mengendarai mobilnya pulang kembali ke apartemen.Begitu sampai di dalam apartemen, Dave langsung berjalan menuju ke dapur dengan kedua tangannya membawa kantung-kantung plastik belanjaan tadi sore.Setelah mengeluarkan barang belanjaan, Dave lalu berjalan menuju ke kamarnya. Tepat saat itu, ia tidak sengaja melihat Rachel tergeletak di sofa.Perlahan langkah kaki Dave bergerak mendekati Rachel. Di lihatnya wanita cantik ini tengah tertidur dengan napas teratur. Dengkuran halus terdengar keluar dari mulutnya."Sudah pindah rumah tapi masih juga tidur di sofa," gumam Dave sambil mengeleng pelan.Dave lalu mengoyangkan pundak Rachel. Perlahan Rachel membuka kedua matanya. Rachel mengejapkan kedua matanya memastikan pandangan di depannya tidak salah."Dave..." panggil Rachel pelan.Rachel segera terduduk saat menyadari sosok Dave tengah menatap wajahnya.
Rachel menanti jawaban Dave dengan jantung berdegup. Ia berharap suaminya mengiyakan saja perkataannya."Tidak. Biasa saja. Tidak ada yang spesial dari masakanmu," kata Dave dengan wajah datar.Hati Rachel seketika mencelos mendengar jawaban Dave. Sejujurnya ia ingin mendengar pujian— dari lelaki yang kini telah jadi suaminya— akan masakannya. Namun ternyata harapannya terlalu tinggi.Padahal kalau dilihat dari gelagat Dave yang dari tadi makan dengan lahap, seharusnya lelaki itu tidak akan berbicara begitu. Dalam hati Rachel beranggapan, mungkin Dave hanya malu mengakui kelezatan masakannya."Tidak enak tapi malah mau nambah," sindir Rachel tanpa sadar mengerucutkan bibirnya.Dave menoleh."Ini hanya karena saya lagi lapar," kelitnya sembari mengambil nasi."Iya deh. Terserah kamu saja. Masakanku bisa cocok sama lidahmu saja, aku udah senang. Tidak apa-apa juga kalau tidak e
Mendengar suara dering ponsel, Rachel yang sedang mencuci piring itu lantas buru-buru mencuci kedua tangannya. Ia lalu merogoh kantung celananya.Belum sempat Rachel mengangkat, suara dering telepon itu sudah terputus lebih dulu. Ia hanya bisa menghela napas kesal sembari tangannya bergerak menyalakan ponsel. Sedetik kemudian, wajahnya seketika melongo beberapa saat ketika melihat kontak Alex terpampang di layar ponsel.Tring... Tring... Tring...Tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering. Rachel lantas mengangkat panggilan telepon itu dengan cepat."Halo, Baby."Suara bass yang terdengar sedikit manja menyapa riang. Hanya dari mendengar suara khas-nya saja, Rachel langsung tahu kalau itu suara Alex. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum lebar nan mengembang."Hmm..."Berbeda sekali dengan raut wajahnya, Rachel hanya bergumam pelan seolah enggan membalas sapaan Alex.