"Istri Om cantik. Pengusaha sukses dan pasti banyak uang dong untuk perawatan." Aina terus memancing pembicaraan tentang istri dari Indra. Saat ini mereka sedang menuju sebuah apartemen yang tidak begitu mewah di wilayah jakarta selatan. Harga sewa apartemen itu tidak terlalu tinggi dan memiliki fasilitas cukup bagus.. "Sudah Aku bilang tadi, tetap saja lebih cantik dan lebih muda kamu, Aina." Lagi-lagi tangan Indra tak bisa diam. tiba-tiba ia meraih tangan Aina dan menciumi jemari lentik dan putih itu. Aina tersentak. Namun akhirnya ia membiarkan dulu. Ia ingin mengorek semua informasi tentang perempuan yang fotonya ada di ponsel Indra tadi. "Jadi, Om selalu minta uang sama istri Om? Memangnya Om nggak kerja?" Rasa penasaran Aina semakin tinggi. Selama ia mengikuti kemauan Indra, ia yakin Indra pasti akan mengabulkan semua permintaannya. Ia akan manfaatkan ini semua demi mencapai tujuannya. Indra tertawa mendengar pertanyaan Aina. "Ia. Aku selalu minta uang pada istriku itu
"Siap-siap, sebentar lagi aku jemput!" Paul bicara pada seseorang di ponselnya.. "Pulang dari terapi nanti, Aku akan ajak Kamu fitting baju untuk acara pernikahan kita nanti."Paul tersenyum membayangkan hari pernikahannya dengan Syafa yang tak lama lagi. Ia ingin prosesnya lebih cepat. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan diantara mereka. "Iya, Kak Paul. Aku siap-siap dulu!" sahut Syafa dari seberang sana. Walau ada keraguan pada hati gadis itu ,namun sesungguhnya cintanya pada Paul sudah mulai tumbuh. Ia merasa Paul memang pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya. "Aku kangen banget. Kamu yang cantik, ya!" goda Paul masih dengan senyum mengembang. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap berbicara dengan Syafa walau hanya lewat ponsel. Wajah sumringah Paul persis seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Tanpa pria bule itu sadari, diam-diam seseorang mendengar pembicaraannya dari ballik pintu yang memang sejak tadi terbuka.. Air mata Aina kembali menetes. Ia sa
"Maafin Aku, Kak Paul. Pertanyaan Aku pasti bikin Kakak kepikiran lagi!" Syafa bicara dengan rasa bersalah. Karena Paul tak menjawab pertanyaannya dan malah mendadak diam. "Sudah Syaa, Kamu nggak usah memikirkan hal itu. biar Aku dan Rein yang akan membujuk Mama. Maira juga akan bantu." Syafa terdiam beberapa saat. Sepanjang menuju ruang rehabilitasi medik yang memang berada paling ujung di rumah sakit ini, Syafa berkali-kali menarik napas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak mungkin tidak memikirkan hal ini. "Tapi ..., bagaimana jika Bapak dan Ibu tidak melihat Bu Laura di saat pernikahan kita, Kak? Aku harus jawab apa?" tanya Syafa putus asa. "Kita bisa bilang jika mama ada urusan mendadak dan berhalangan hadir. Udah beres." jawab Paul pura-pura tenang. Syafa hanya mengangguk. Kedua orang tuanya bukan anak kecil atau orang bodoh yang mudah dibohongi. Untuk hal ini, Ia akan memikirkannya nanti. Mungkin ia akan bercerita apa adanya pada Bapak dan ibunya.. Pintu ruang rehabilitasi
"Reiin ...?" Maira mengulang panggilannya. Ia terheran melihat sikap suaminya yang dia pikir tidak seperti biasanya. "Ada apa, Rein?" Perlahan Maira mendekati Rein setelah dia memastikan pintu kamar telah tertutup kembali. "Maira ... Maira, Kamu milikku. Kamu hanya milikku. Siapapun tak akan aku biarkan untuk merebutmu dariku!" Maira hampir terpekik saat tiba-tiba saja Rein memeluknya erat sambil meracau kata-kata yang Maira tak mengerti maksudnya. Maira membelai lembut punggung tegap dan kekar milik suaminya. Ia merasakan Rein sedang takut kehilangan dirinya. Pelukannya sangat erat. Maira merasakan kehangatan dan debaran yang luat biasa. Ia juga sangat merindukan suaminya itu. "Ada apa, Rein? Ada masalah? Cerita sama Aku!" Tiba--tiba Rein merenggangkan pelukannya dan memegang kedua lengan atas Maira dengan lembut. "Maira, tolong jawab Aku!" Maira menatap kedua mata elang milik Rein. Ia tidak mengerti dengan sorot mata Rein yang penuh tanda tanya. "Ada, Apa Rein?" Maira sema
"Apaa? Dibatalkan? Bukankah waktu itu kamu bilang ini adalah proyek besar dengan keuntungan milyaran bagi PT Anggada Jaya?" Maira terkejut mendengar pernyataan Rein barusan. "Atau, Abraham sendiri yang membatalkan kerjasama ini karena aku menolaknya mengajak makan siang di restorannya tadi?" Maira terus mencecar dengah berbagai pertanyaan. "Jadi, Abraham datang ke kantormu untuk mengajakmu makan siang, dan kamu menolaknya?" balad Rein dengan tatapan tajam. Maira mengangguk lemah. "Maafin Aku, Rein. Aku tidak menyangka gara-gara itu Abraham marah dan membatalkan kerjasama itu denganmu." Maira tertunduk masih dengan perasaan bersalah. "Teriimakasih, Sayang! Terimakasih sudah menolak ajakan pria arab itu." Rein kembali memeluk Maira erat. "Loh, jadii kamu memang ingin membatalkan kerjasama itu? Memangnya nggak apa-apa?" Maira yang penasaran kembali merenggangkan pelukannya.. Rein mengangguk dengan yakin. "Lebih baik Aku kehilangan keuntungan milyaran, dari pada kehilang
"Bagaimana proses fitting bajunya kemarin, Syafa? Lancar? Bagus bajunya?" tanya Rita pagi ini di dapur, saat sedang menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Semalam Paul dan Syafa pulang sudah larut, hingga mereka tak sempat menanyakannya semalam. Syafa nampak kelelahan dan langsung tertidur setelah sampai di rumah. "Bagus banget, Bu. Syafa merasa sangat cantik memakai gaun itu. Apalagi jika nanti Syafa sudah bisa berdiri." Ada setetes embun menggantung di dua sudut mata gadis itu. Rita tak kuasa menatap wajah Syafa, mendengar gadis itu hendak bisa berdiri. "Hari ini Kak Paul mau ajak kita semua ke Mall. Bapak dan ibu ikut, ya!" Wajah Rita sontak menjadi bersemangat. "Mau, mau! Ibu mau beli baju-baju bagus. Nanti Paul yang bayarin, kan?" tanya Rita antusias. "Iya, Bu. Kata Kak Paul. Mungkin Ibu mau mengadakan pengajian di rumah, jadi Bapak dan Ibu harus punya beberapa pakaian bagus." "Ibumu sajalah, Bapak tidak usah ikut!" sanggah Akbar yang mendengar pembicaraan istri dan ana
"Mama ...!" "Bu Laura ...!" Paul dan Syafa spontan menyebut Laura secara bersamaan. Mereka semua terkejut dan tak menyangka akan bertemu di mall itu. Sementara Akbar dan Rita sesaat merasakan adanya ketegangan diantara dua keluarga itu. Kedua suami istri itu merasa ada yang aneh. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapakan gerangan wanita cantik paruh baya yang sedang menggandeng Maira? Sorot mata wanita itu begitu tajam pada Paul dan Syafa. Akbar dan Rita curiga bahwa ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan. "Hai, Syafa! Wah, kebetulan sekali kita ketemu di sini. Apa kabar Pak Akbar, Bu Rita?" Maira yang tersadar dengan situasi yang canggung dan menegangkan, segera mengalihkan perhatian dengan berusaha mencairkan suasana. Dengan senyum yang mengembang, wanita cantik itu menyapa dan berusaha untuk saling memperrkenalkan. "Oh ya, Ma. Ini loh, Bapak dan Ibunya Syafa. Yuk kenalan dulu!" Dengan lembut Maira membawa Laura mendekati sepasang suami istri yang saat ini berpenampilan
"Maa, kok diam saja?" Rein melirik kaca spion di depannya untuk melihat Laura yang hanya terdiam sejak masuk.ke dalam mobilnya. Maira ikut melirik kaca spion dan melihat Laura hanya menoleh ke jendela. Kaisar dalam pangkuan Nina, sedang asik menonton video khusus batita yang ada pada layar televisi mini dalam mobil itu. "Apa rumah Ayahmu masih jauh, Maira" tanya Laura tanpa menoleh. "Tdak begitu jauh, Ma. Sekitar tiga puluh menit lagi kita akan tiba di sana." Maira menjawab sambil melirik pada Rein. Sesaat terdengar hembusan napas panjang dari Laura. Wanita paruh baya itu baru saja sembuh. Kini sudah memikirkan kembali masalah yang mungkin baginya cukup berat. "Maafin Mama, masih belum bisa menerima Syafa sebagai calon istri Paul." Tiba-tiba Laura berkata lirih. Rein dan Maira saling pandang beberapa saat. Nampak aura kegelisahan diantara mereka berdua. "Tapi ..., mereka saling mencintai, Ma. Kasian jika harus dipisahkan." Rein mencoba untuk memberi pengertian pada Mamanya.