"Mama ...!" "Bu Laura ...!" Paul dan Syafa spontan menyebut Laura secara bersamaan. Mereka semua terkejut dan tak menyangka akan bertemu di mall itu. Sementara Akbar dan Rita sesaat merasakan adanya ketegangan diantara dua keluarga itu. Kedua suami istri itu merasa ada yang aneh. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapakan gerangan wanita cantik paruh baya yang sedang menggandeng Maira? Sorot mata wanita itu begitu tajam pada Paul dan Syafa. Akbar dan Rita curiga bahwa ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan. "Hai, Syafa! Wah, kebetulan sekali kita ketemu di sini. Apa kabar Pak Akbar, Bu Rita?" Maira yang tersadar dengan situasi yang canggung dan menegangkan, segera mengalihkan perhatian dengan berusaha mencairkan suasana. Dengan senyum yang mengembang, wanita cantik itu menyapa dan berusaha untuk saling memperrkenalkan. "Oh ya, Ma. Ini loh, Bapak dan Ibunya Syafa. Yuk kenalan dulu!" Dengan lembut Maira membawa Laura mendekati sepasang suami istri yang saat ini berpenampilan
"Maa, kok diam saja?" Rein melirik kaca spion di depannya untuk melihat Laura yang hanya terdiam sejak masuk.ke dalam mobilnya. Maira ikut melirik kaca spion dan melihat Laura hanya menoleh ke jendela. Kaisar dalam pangkuan Nina, sedang asik menonton video khusus batita yang ada pada layar televisi mini dalam mobil itu. "Apa rumah Ayahmu masih jauh, Maira" tanya Laura tanpa menoleh. "Tdak begitu jauh, Ma. Sekitar tiga puluh menit lagi kita akan tiba di sana." Maira menjawab sambil melirik pada Rein. Sesaat terdengar hembusan napas panjang dari Laura. Wanita paruh baya itu baru saja sembuh. Kini sudah memikirkan kembali masalah yang mungkin baginya cukup berat. "Maafin Mama, masih belum bisa menerima Syafa sebagai calon istri Paul." Tiba-tiba Laura berkata lirih. Rein dan Maira saling pandang beberapa saat. Nampak aura kegelisahan diantara mereka berdua. "Tapi ..., mereka saling mencintai, Ma. Kasian jika harus dipisahkan." Rein mencoba untuk memberi pengertian pada Mamanya.
"Pratama ...!" "Laura, kamu di sini?" Wajah Pratama sangat terkejut. "Ayah, kenal dengan Mama Laura? Mama Laura ini adalah ibu kandung Rein." Maira mendekati Pratama dan mencium tangannya. Rein yang sedang menggendong Kaisar mengikuti Maira mencium tangan Pratama. Namun tatapan Pratama belum lepas pada Laura yang masih berdiri menatapnya. Hal itu tidak luput dari perhatian Nuri. Rasa-rasanya Pratama belum pernah menceritakan tentang wanita bernama Laura padanya. Beberapa detik kemudian, Pratama dan Laura tersadar akan sikap mereka yang sempat menjadi pusat perhatian. Dengan cepat Pratama segera mengklarifikasi sikap mereka itu. "Oh ,ya. Bu Laura ini dulu sempat menjadi relasi bisnis Ayah dulu." Pratama nampak gugup. "Oh gitu. berarti sudah lama dong, Yah? Waktu Maira masih kecil?" tanya Maira penasaran. Laura sudah duduk kembali dan tersenyum canggung. ia seakan merasakan kembali debaran yang pernah hadir berpuluh tahun yang lalu. "Pratama masih sangat tampan dan gagah," p
."Heh, Aina, sudah dijemput tuh sama pacar barunya!' teriak salah satu karyawan pantry pada Aina. Sementara beberapa karyawan lainnya mulai mencibir dan melirik Aina dengan tatapan sinis. Aina buru-buru membersihkan tangannya dan membuka celemek, kemudian menggantungnya di dinding. Ia tak menggubris sindiran-sindiran para karyawan lainnya. Sesegera mungikin ia ingin keluar dari nigth club yang sudah tutup sejak tadi itu. Wanita cantik itu keluar dari pantry tanpa perlu bicara apapun lagi pada teman-teman seprofesinya. "Percuma juga pamit sama mereka. Nggak akan ada yang peduli juga!" bathin Aina. Aina bergegas melangkah melalui pintu keluar. ia melihat Indra berdiri bersandar pada mobil sambil tersenyum padanya. Di saat yang bersamaan, Paul baru saja selesai memarkir mobilnya. Aina berpapasan dengan paul saat melangkah di area parkir. Pria bule itu sempat melirik pada Indra dan Aina secara bergantian. Setidaknya kini ia lebih tenang melihat Aina punya seseorang yang bisa melindun
"Apaaa? Dua milyar?" Seorang wanita cantik berumur empat puluhan itu hampir saja memekik saat berbicara dengan seseorang di ponselnya. Wanita berpenampilan formil dan sangat elegan itu membulatkan matanya saat mendengar kata dua milyar yang disebutkan oleh seorang pria di seberang sana. Sementara seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun masih nampak gagah yang saat ini berada disampingnya, sontak menoleh dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Kenapa harus ganti mobil sih, Mas? Kalau rusak ya dibetulkan saja!" lanjut wanita itu dengan nada ketus, saat ini ia masih bicara lewat ponselnya. Wajah wanita itu seketika memerah karena emosi. Baru kali ini ia mendengar permintaan uang dengan jumlah yang tidak sedikit itu. "Iyaaa iyaaa. Nanti aku hubungi lagi. Aku sedang rapat dengah klienku!" Dengan malas-malasan akhirnya wanita itu menutup panggilan ponselnya. "Siapa yang menghubungimu, Anita?" "Siapa lagi kalau bukan Mas Indra yang bodoh itu," sahut wanita
Sembilan belas tahun yang lalu.. "Pak, tolong cepat Pak! Perutku sakit sekali." Rita terus merintih kesakitan. Perutnya yang terlihat sangat besar sepertinya sudah saatnya melahirkan. "Iya bu, Aku cari bantuan dulu." Akbar berlari keluar. Namun saat itu pukul dua pagi. Semua tetangganya sedang tertidur lelap. Satu pun dari mereka juga tidak ada yang memiliki kendaraan. Akbar bingung dan mengetuk beberapa pintu rumah tetangga terdekatnya. Namun tak ada satu pun yang terjaga. Akhirnya ia memutuskan membawa Rita dengan gerobak barang bekasnya ke puskesmas. Keseharian Akbar memang mengumpulkan barang-barang bekas dari rumah ke rumah lalu dijualnya kembali ke penadah. Bergegas Pria itu mengeluarkan semua isi gerobak, lalu dengan susah payah membaringkan istrinya di dalamnya. Kemudian dengan sekuat tenaga Akbar mendorong gerobaknya menujui puskesmas terdekat Walau dengan berkali-kali berhenti dan menempuh jarak yang cukup.jauh dalam kegelapan malam, akhirnya Akbar berhasil membawa
"Kalah di lihat-lihat, orang ini memang mirip banget sama Syafa ya, Pak!" bisik Rita yang masih menatap intens pada layar ponselnya. "Ssstt, jangan keras-keras, Bu! Nanti Syafa dengar. Ya jelas mirip lah, Bu!"Akbar yang berada di sebelahnya juga menatap foto-foto seorang pria paruh baya yang masih sangat tampan di usianya yang sudah tak muda lagi, yang ada pada layar ponsel Rita. "Tapi kenapa dia tidak pernah menengok Syafa? Kirim uang kek, gitu!" lanjut Rita masih dengan berbisik. "Ibu ini bagaimana, Kalau tiba-tiba Syafa dia bawa pergi ibu izinkan?" Rita sontak menggeleng. "Makanya, Bu. Seharusnya kita bersyukur karena ia tidak peduli dengan Syafa. Dia tidak akan mengambil Syafa dari kita." Rita terdiam. Dalam hatinya ia membenarkan ucapan suaminya. Ia yang tidak bisa punya anak lagi, akan sangat merasa kehilangan jika Syafa diambil oleh pria itu. "Tapi kenapa dia tega ya, Pak?"lirih Rita mengingat kejadian sembilan belas tahun yang lalu. "Kita mana ngerti dengan masalah or
"Jangan mimpi, Pak! Karyawan di sini aja susah mau ketemu beliau. Apalagi Bapak yang bukan siapa-siapa!" Sontak ketiga orang keamanan berbadan besar itu tertawa terbahak-bahak. Hati Akbar mencelos. Andai saja ketiga orang di hadapannya itu tau duduk permasalahan sebenarnya. Namun ia tidak mungkin menceritakan hal yang terjadi pada mereka. "M-maaf, Pak. Ada berita yang sangat penting yang harus Saya sampaikan pada beliau." Akbar kembali memberanikan diri untuk bicara. "Memangnya sepenting Apa, Pak? Mau minta sumbangan? Atau mau minta kerjaan? Sampaikan saja pada Kami. Nanti akan Kami teruskan ke stafnya. Bapak bisa buat proposalnya dulu!" Akbar semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh para keamanan itu. Kini ia semakin bingung mau bagaimana lagi. Harapan untuk bertemu dengan Bapak Boy Azka masih hampa. Dirinya semakin cemas. Bagaimana nasib pernikahan Syafa nanti? Akbar semakin resah dan cemas. Beberapa menit kemudian, salah satu dari ketiga keamanan itu melangkah