"Ayah ada di sini? Ayah kenal dengan Syafa?" Wajah Lintang merah padam. Sebagai seorang anak ia tak terima melihat Sang ayah mendekati wanita lain. Kedua tangannya mengepal erat. Rahang kokohya mengetat, hingga nampak urat-urat di wajahnya. "Ayah tau? Syafa ini bahkan lebih muda dari Aku. Ayah waras nggak, sih?" Suara Lintang semakin meninggi karena emosi. Hingga beberapa orang di sekitar mereka sempat menoleh. Namun para pengunjung yang tidak mengenali Boy Azka kembali tidak mempedulikan mereka. Syafa terhenyak saat mendengar Lintang memanggil Boy Azka dengan sebutan Ayah. "Berarti ... Kak Lintang itu adalah .... Kenapa Tuhan mempertemukan kami semua. Kenapa jadi seperti ini?" Syafa membathin. Kedua matanya telah mengembun. "Pelankan suaramu!" Boy Azka geram. Andai saja yang memukulnya tadi bukan putranya, sudah pasti orang-orang kepercayaannya yang berada tak jauh dari tempat itu, sudah bertindak. Namun Boy memberi kode agar para anak buahnya tidak mendekat. "Kenapa? Ayah takut
"Maaf, Bun. Apa hubungan Ayah dan Bunda baik-baik aja?" Lintang bertanya dengan hati-hati pada bundanya. Setelah Boy Azka pergi, Firda membawa putranya itu bicara di ruang tengah. Firda mulai gelisah. Walaupun kedua putranya sudah beranjak dewasa, Firda tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya pada mereka. Belakangan ini Firda hanya bercerita pada Morine, sahabatnya yang ada di paris.. "Hubungan kami baik-baik aja. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Firda berusaha untuk tenang, seolah tidak ada apa-apa.yang terjadi pada rumah tanggamya. Lintang menghela napas panjang, kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Apa selama ini Ayah pernah bilang cinta pada Bunda?" Firda tersentak mendengar pertanyaan putranya. Apa yang harus dia jawab? Kenyataannya memang suaminya belum pernah sekalipun menyatakan cinta padanya. Wajah Firda menegang. Rasa sesak tiba-tiba menghantam dadanya. Selama ini ia hanya bisa menyimpan luka ini sendirian. Apakah sudah saatnya ia menceritakan pada put
"I love you, Anakku ...!" bisik Boy Azka dengan suara bergetar. Pandangannya mulai buram karena basah.Tidak ada yang tau ada air mata dibalik kacamata gelapnya. Hati pria paruh baya itu menghangat saat melihat senyum Syafa. Senyum terindah yang ia lihat dalam hidupnya. Ia seakan ingin melompat karena bahagia. Putri tercintanya saat ini juga sedang menangis untuknya. Boy Azka melambaikan tangannya saat kursi roda itu mulai memutar. Andai ia bisa, ingin rasanya berlari dan memeluk putrinya itu. Andai ia bisa, ingin rasanya berteriak sekeras mungkin menyebut nama Syafa. Boy masih mamatung memandang kepergian Syafa dan Paul hingga menghilang dari pandangan. Dadanya terasa begitu sesak dan penuh. Rasa penyesalan, nyeri, sedih, bahagia, bercampur jadi satu. Sedetik kemudian ia meraih ponselnya. Ada sebuah pesan dari menantunya. Senyum kembali mengukir wajah tampan yang tak lagi muda itu, saat membaca pesan dari Paul. [ Jaga baik-baik permataku. Ia adalah wanita yang paling berharga untu
"Jawab, Mas! Putuskan sekarang juga. Kamu pilih Aku atau perempuan itu?" Napas Firda memburu. Dadanya begitu sesak. tanpa ia sadari butiran bening itu telah lolos dari kedua netranya. Boy Azka masih terdiam. Ia tak tau harus menjawab apa. Ini suatu pilihan yang sangat sulit baginya. "Aku ... Aku tidak mungkin meninggalkanmu, Firda." Suara Boy pelan namun bergetar. Entah kenapa tiba-tiba saja ada rasa nyeri serta sesuatu yang menghimpit saat membayangkan jika ia harus berpisah dengan istrinya itu. "Kalau begitu, jangan pernah temui lagi perempuan bernama Syafa itu!" tantang Firda dengan gemuruh di dadanya. Ia tak yakin jika suaminya itu memenuhi permintaannya. Boy tertunduk. Sekilas wajah Syafa melintas di benaknya. Ia yakin, Firda belum tau siapa Syafa. Istrinya itu pastii mendapatkan informasi dari Lintang, pikirnya. "Bagaimana, Mas? Kenapa diam? Oh ..., mana mungkin Kamu bisa berpisah dari gadis muda itu. Wajahnya sangat cantik, jauh lebih muda dan ... walau gadis itu cacat,
"Kaisar, jangan lari-lari, Sayang!" Hari ini Maira cukup kewalahan di kantor. Sejak Nina izin pulang kampung untuk beberapa hari, Kaisar memaksa minta ikut ke kamtor. Sedangkan Rein masih berada di Bandung sejak kemarin mengantar Laura. Maira mengampiri putranya yang sudah mulai aktif berjalan hingga berlari. "Aku mau main cama Daddy, Maaa!" "Daddy masih dii rumah Oma, Sayang. Kenapa? Kamu bosan, Ya?" Bocah lucu bertubuh gemuk berisi itu mengangguk. "Ya sudah yuk, kita makan siang! Kita cari es krim." "Holeee ...! Aku mau esclim cokat ya, Maaa!" "Iya. Sayang." Maira bangkit setelah membereskan mejanya. Semoga saja dengan mengajak Kaisar jalan-jalan ke mall di depan sana selama jam makan siang, akan membuat bocah itu tidak rewel lagi. "Mama ... Mama ..., Daddy pulangnya kapan cih? Kok lama?" Maira lagi-lagi menghela bapas panjang. Entah yang ke berapa kali putranya itu menanyakan Daddynya. Semakin hari keduanya semakin dekat. Bahkan jika malam pun Kaisar minta ditemani Rein se
"Sial Aku kesiangan!" Setelah melihat jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul enam, Boy Azka langsung melompat dari ranjang dan segera masuk ke kamar mandi. Pagi ini ada apel pagi dan rapat penting hingga menjelang makan siang. Ia tidak boleh kesiangan. Bisa-bisa ia menjadi bahan pembicaraan oleh semua karyawan di kantornya "Astaga! Pakaianku juga belum disiapkan." Boy baru saja selesai mandi, membuka lemari mencari pakaian kerjanya. "Huffh ... andai saja ada Firda di sini, tentu Aku tidak akan kerepotan seperti ini." Entah pukul berapa semalam, pria yang memiiki salah satu kedudukan penting di pemerintahan itu kesulitan untuk tidur nyenyak. Sepanjang malam ia gelisah dan tanpa sadar berkali-kali menyebut nama Firda dalam lamunannya. Setelah mematut diri di cermin, Boy Azka melangkah keluar menuju ruang makan. "Tuan, supirnya sudah menunggu sejak tadi diluar."" Seorang asisten rumah tangga menghampiri saat ia baru saja keluar dari kamar. Sejak subuh tadi tak satupun orang
"Morine, kamu serius bakal menetap di Indonesia?" tanya seorang wanita berpenampilan glamour yang ternyata adalah pemilik salon mewah itu. "Tergantung Firda. Selama dia ada di sampingku, selama itu juga Aku berada di Indonesia," Morine bicara sambil tertawa dan mengedipkan sebelah matanya pada Firda. Pria itu baru saja memberikan perawatan khusus untuk Firda, hingga wanita itu terlihat semakin cantik dan terlihat lebih muda "b-hati kalau bicara, Morine! Memangnya kamu nggak tau siapa suaminya Firda? Bisa-bisa kamu dihilangkan dan dilemparkan ke negaramu!" Mereka tertawa. Firda hanya tersenyum samar. Ia masih memandang takjub di cermiin. Dalam hatinya ia memuji hasil perawatan yang langsung dilakukan oleh Morine pada dirnya tadi."Besok-besok kalau kamu sendiri yang mau melakukan perawatan pada Firda, mending di apartemennya aja sana. Ngapain di sini?" Wanita glamour itu mencoba menggoda Morine.. "Sebenarnya Aku nggak keberatan. Tapi Aku takut tidak bisa menahan diri." Mereka kem
Boy menghempaskan tubuhnya di atas jok mobil. Pria gagah itu meraih ponselnya dan menghubungi salah satu orang kepercayaannya. "Kirimkan alamat apartemen istriku! Coba selidiki, apa laki-laki yang bersamanya itu tinggal satu apartemen dengan Istriku?" "Baik, Pak. Saya akan kabari secepatnya." Boy menutup ponselnya. Kemudian kembali terdiam. "Apa.laki-laki itu adalah kekasih Firda? Kenapa rasanya sesakit ini melihat Firda dekat dengan pria lain? Apa seperti ini yang dirasakan Firda ketika melihatku dengan Syafa, hingga ia semarah itu?" Boy terus melamun. Merasakan gemuruh dan dada yang kian sesak. Wajah Firda terus melintas di benaknya. Entah kenapa rasa rindu ini seakan ingin membunuhnya. "Kita pulang Pak?" Suara sang supir membuyarkan lamunannya.. Ia tak menjawab. Pria itu tidak tau hendak kemana ia pergi saat ini. Kembali ke kantor tidak mungkin dalam kondisi seperti ini. Semua yang ia kerjakan akan salah. Sejak pagi tadi saja ia sudah tak bisa konsentrasi. "Bagaimana, Pa