"Mama ..., Rein." Laura sontak berdiri. Ia memandang Paul yang mendorong kursi roda Syafa dengan tatapan dingin. "Maaa, kenalkan ini Syafa!" Paul mendekatkan kursi roda Syafa ke hadapan mamanya. Namun Laura malah spontan melangkah mundur. Tatapannya tak berpindah pada Syafa yang terus menunduk. Sedetik kemudian Syafa mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum gugup. "Maa, ini Syafa. Belum lama ini Syafa mengalami kecelakaan." Rein menyentuh bahu Laura, berharap agar mamanya itu mau menerima tangan Syafa yang sudah terulur.. Sementara Paul menahan rasa sesak yang begitu menghimpit dadanya saat ini, melihat sikap dingin mamanya yang jelas terlihat oleh Syafa. Mamanya itu memang sejak dulu tak pernah bisa menyembunyikan sikap dan berpura-pura di depan siapapun. "Kecelakaan?" Laura mengulang kata-kata Rein. Melihat itu Rein hendak bicara menjelaskan kejadian sebenarnya pada Laura, namun Paul memberi kode agar Rein tidak melakukan itu. "Iya, Ma, dan dokter bilan
"'Syafa, ini kamarmu. Kamarku di sebelah. Jika ada apa-apa kamu telpon Aku aja!" Syafa ternganga melihat kamar yang begitu besar. Mungkin ukurannya lima kali lipat dari besar kamarnya. Ada ranjang berukuran kingsize serta barang-barang mewah lainnya. "Kalau mau ke kamar mandi, nanti aku minta salah satu asisten rumah tangga di sini yang membantu," lanjut Paul yang masih menatap gadis itu dengan intens. Ia gemas melihat wajah Syafa yang terkagum-kagum dengan kamar tamu yang ia tempati. "Kamarnya besar sekali Kak. Bagus." Paul tersenyum. Ia bahagia melihat wajah Syafa yang mulai ceria, pria bule itu mendorong kursi roda Syafa ke kamar mandi. Lalu ia membuka pintu kamar mandi itu. "Kamar mandinya aman dan muat jika kamu membawa kursi roda ini ke dalamnya." Syafa kembali tercengang. Karena kamar mandi itu jauh lebih bagus dari pada ruang tamu rumahnya di bogor. Lantai keramik yang kering serta kaca besar membuat kamar mandi itu nampak lebih luas. "Kak, kamar mandi ini bagus bange
"Makan malam sudah siap , Tuan Rein!" Rein yang sedang asik bermain dengan kaisar mendengar ketukan dari luar.. "Iya, sebentar lagi kami ke sana!" teriak Rein dari dalam. Maira baru saja selesai melaksanakan salat Isya, bergantian dengan Rein tadi. Karena Kaisar sedikit rewel. "Kaisar sepertinya mengantuk. Biar Aku panggilkan Nina agar dibuatkan susu." Maira bergegas ke kamar sebelah.. Rein menggendong Kaisar dan mengayun-ayunkan tubuh bocah lucu itu. Matanya mulai terpejam. Tak lama.kemudian Nina datang dan mengambil alih Kaisar dari tangan Rein, lalu membawanya ke kamar sebelah. Maira membuka mukenanya lalu membuka lemari hendak mengambil satu gamis. Tiba-tiba Rein memeluknya dari belakang. Ia tak tahan melihat tubuh seksi Maira dengan pakaian favoritenya. Kaos longgar dan celana pendek. Maira medesah saat kedua tangan kekar Rein mulai menyusup ke dalam kaos tipisnya.. "Aku kangen ini, Sayang!" bisiknya sambil meremas sesuatu yang ada di dalam sana.. "Nanti, ya! Kita kelu
"Aku nggak tega lihat Syafa didiamkan Mama, Rein. Sebaiknya kita ceritakan saja semuanya. Kasian jika Mama tidak merestui pernikahan mereka." Rein menghela napas panjang. Saat ini mereka sedang berpelukan di atas ranjang. "Sebenarnya sejak awal Aku sudah berpikir demikian. Tapi Paul melarang. Ia khawatir kalau Mama nanti malah shock dan kesehatannya drop lagi." Maira merasakan pelukan Rein semakin erat. Beberapa kali suaminya itu menciumi wajahnya dengan gemas.."Lalu apa rencana mereka?" tanya Maira lagi.. "Paul tetap akan menikahi Syafa walau tanpa restu dari mama." Maira tersentak saat mendengar jawaban suaminya. "Paul ternyata bisa senekad itu," gumamnya. "Semua karena cinta, Sayang. Kamu tau kan senekad apa aku dulu?"bisik Rein ke telinga istrinya. Maira menoleh pada suaminya. "Kita harus terus dukung hubungan mereka, Rein. Aku akan terus bantu untuk membujuk Mama." "Makasih, Sayang!" Rein kembali mengecup kening Maira cukup lama. Mereka kembali ingin mencurahkan rasa
"Kali ini kamu tidak akan bisa lari dariku, Kayla! Aku akan membawamu kembali ke apartemen kita!" Sudah beberapa hari ini, setiap sore Raka menunggu Kayla di depan gedung pusat Eternal Group. Namun ia selalu tak menemukan Kayla. Ia tak mau bertanya pada siapapun di sana, khawatir ada yang mencurigainya. Beberapa hari ini ia bolak-balik Jakarta Bandung mengikuti training di perusahaan Laura, dan demi menemui Kayla saat jam pulang kantor. Hari ini Raka sudah menunggu sejak satu jam yang lalu. Ia tak mau kehilangan jejak Kayla lagi. Sejak ia pulang dari Bandung waktu itu ia tak menemukan Kayla di apartementnya. Ia tak mengerti kenapa istrinya itu menolak untuk pulang ke apartemennya. Padahal malam sebelumnya mereka saling melepas rindu dengan bercinta sampai pagi. Mata Raka melebar saat lagi-lagi melihat Kayla melangkah bersama pria bernama Genta. Pria muda yang saat ini juga bekerja di eternal group sebagai fotografer untuk iklan produk perusahaan itu. Pria tampan dengan tubuh ti
"Ma, Aku tetap akan menikahi Syafa." Wajah Laura menegang. Saat ini Paul hendak pamit kembali ke Jakarta. Begiru pula dengan Maira. Hanya Rein yang masih tinggal di Bandung beberapa hari lagi. Paul menggenggam kedua tangan Laura dengan erat. Pria itu sangat berharap Mamanya menyetujui pernikahannya dengan Syafa.. "Paul mohon, Ma!" Paul berlutut di depan Laura yang duduk di sofa. Ia mencium kedua tangan Mamanya. Laura merasakan tangannya basah. Anaknya menangis demi seorang gadis yang duduk di kursi roda yang berada tak jauh darinya. Laura sempat melirik Syafa yang ternyata juga sudah berlinang air mata..Gadis itu beberapa kali mengusap matanya agar bulir bening itu tak jadi tumpah membasahi kedua pipi chubynya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menarik napas panjang berkali-kali. Ia juga tidak tega pada putranya. Mungkin kebahagiaan mereka adalah dengan mempersatukan mereka. Tapi benarkah Paul akan bahagia selamanya? Hati Laura diliputi keraguan. Paul masih berlut
[ Temui Aku di belakang club ini ] Aina berdecak kesal saat membaca pesan dari seseorang. Entah sudah berapa kali pesan itu masuk pada ponselnya. Saat ini ia sedang mencuci setumpuk gelas dan piring. Pekerjaan sehari-harinya di club itu. Aina tidak hanya sebagai waitress, tapi juga membantu bersih-bersih di pantry. Pekerjaan yang sejak dulu sama sekali tidak pernah ia lakukan. Namun demi mendapatkan uang, ia terpaksa menerima pekerjaan itu. [ Jika lima menit lagi kamu enggak datang, Aku akan masuk ke club itu dan mencarimu sampai ketemu] Wajah Aina memucat. Ternyata pria itu tidak main-main. Aina meletakkan piring dan gelas yang baru saja dia cuci dengan gerak cepat. Lalu melepaskan celemek plastik dan menggantungkannya di salah satu paku di dinding dapur itu. Ia sedikit merapikan pakaiannya yang sempat kusut di beberapa bagian akibat pekerjaannya. "Aina, mau kemana kamu? Belum waktunya istirahat!"" Aina terpaksa menghentikan langkahnya dan menoleh pada salah satu karyawan pantry y
"Kurang ajar kalian!" Paul menatap nyalang pada sepasang manusia tak berbusana yang sedang berpacu mereguk kenikmatan itu. Keduanya terlonjak dan kalamg kabut mencari pakaian dan memakainya terburu-buru. "Dasar perempuan jalang!" Sorot mata Paul memandang tajam pada Aina. Tatapan itu sangat menusuk bagai belati yang tertancap di dada Aina. Wanita itu sontak panik hingga menangis.. Sementara Indra kebingungan. Ia terkejut melihat pria yang ia mata-matai kemarin saat ini justru berada di depannya. "Maaf, Saya nggak ikut-ikutan, dia yang ajak Saya ke sini. Saya permisi!" Indra yang baru memakai celana panjang itu buru-buru ingjn keluar dari kamar itu. Ia ketakutan Paul akan melaporkannya ke polisi dan istrinya sampai mengetahui kejadian ini."Hey, enak saja Kamu main pergi aja!" Paul menghalangi Indra yang hendak keluar melalui pintu. "Saya cuma diajak dia,Mas. Beneran!" Indra gemetar. Dirinya ketakutan menghadapii Paul yang jauh lebih tinggi dan besar darinya.. "Kamu laki-laki, k