"Kaisar, jangan lari-lari, Sayang!" Hari ini Maira cukup kewalahan di kantor. Sejak Nina izin pulang kampung untuk beberapa hari, Kaisar memaksa minta ikut ke kamtor. Sedangkan Rein masih berada di Bandung sejak kemarin mengantar Laura. Maira mengampiri putranya yang sudah mulai aktif berjalan hingga berlari. "Aku mau main cama Daddy, Maaa!" "Daddy masih dii rumah Oma, Sayang. Kenapa? Kamu bosan, Ya?" Bocah lucu bertubuh gemuk berisi itu mengangguk. "Ya sudah yuk, kita makan siang! Kita cari es krim." "Holeee ...! Aku mau esclim cokat ya, Maaa!" "Iya. Sayang." Maira bangkit setelah membereskan mejanya. Semoga saja dengan mengajak Kaisar jalan-jalan ke mall di depan sana selama jam makan siang, akan membuat bocah itu tidak rewel lagi. "Mama ... Mama ..., Daddy pulangnya kapan cih? Kok lama?" Maira lagi-lagi menghela bapas panjang. Entah yang ke berapa kali putranya itu menanyakan Daddynya. Semakin hari keduanya semakin dekat. Bahkan jika malam pun Kaisar minta ditemani Rein se
"Sial Aku kesiangan!" Setelah melihat jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul enam, Boy Azka langsung melompat dari ranjang dan segera masuk ke kamar mandi. Pagi ini ada apel pagi dan rapat penting hingga menjelang makan siang. Ia tidak boleh kesiangan. Bisa-bisa ia menjadi bahan pembicaraan oleh semua karyawan di kantornya "Astaga! Pakaianku juga belum disiapkan." Boy baru saja selesai mandi, membuka lemari mencari pakaian kerjanya. "Huffh ... andai saja ada Firda di sini, tentu Aku tidak akan kerepotan seperti ini." Entah pukul berapa semalam, pria yang memiiki salah satu kedudukan penting di pemerintahan itu kesulitan untuk tidur nyenyak. Sepanjang malam ia gelisah dan tanpa sadar berkali-kali menyebut nama Firda dalam lamunannya. Setelah mematut diri di cermin, Boy Azka melangkah keluar menuju ruang makan. "Tuan, supirnya sudah menunggu sejak tadi diluar."" Seorang asisten rumah tangga menghampiri saat ia baru saja keluar dari kamar. Sejak subuh tadi tak satupun orang
"Morine, kamu serius bakal menetap di Indonesia?" tanya seorang wanita berpenampilan glamour yang ternyata adalah pemilik salon mewah itu. "Tergantung Firda. Selama dia ada di sampingku, selama itu juga Aku berada di Indonesia," Morine bicara sambil tertawa dan mengedipkan sebelah matanya pada Firda. Pria itu baru saja memberikan perawatan khusus untuk Firda, hingga wanita itu terlihat semakin cantik dan terlihat lebih muda "b-hati kalau bicara, Morine! Memangnya kamu nggak tau siapa suaminya Firda? Bisa-bisa kamu dihilangkan dan dilemparkan ke negaramu!" Mereka tertawa. Firda hanya tersenyum samar. Ia masih memandang takjub di cermiin. Dalam hatinya ia memuji hasil perawatan yang langsung dilakukan oleh Morine pada dirnya tadi."Besok-besok kalau kamu sendiri yang mau melakukan perawatan pada Firda, mending di apartemennya aja sana. Ngapain di sini?" Wanita glamour itu mencoba menggoda Morine.. "Sebenarnya Aku nggak keberatan. Tapi Aku takut tidak bisa menahan diri." Mereka kem
Boy menghempaskan tubuhnya di atas jok mobil. Pria gagah itu meraih ponselnya dan menghubungi salah satu orang kepercayaannya. "Kirimkan alamat apartemen istriku! Coba selidiki, apa laki-laki yang bersamanya itu tinggal satu apartemen dengan Istriku?" "Baik, Pak. Saya akan kabari secepatnya." Boy menutup ponselnya. Kemudian kembali terdiam. "Apa.laki-laki itu adalah kekasih Firda? Kenapa rasanya sesakit ini melihat Firda dekat dengan pria lain? Apa seperti ini yang dirasakan Firda ketika melihatku dengan Syafa, hingga ia semarah itu?" Boy terus melamun. Merasakan gemuruh dan dada yang kian sesak. Wajah Firda terus melintas di benaknya. Entah kenapa rasa rindu ini seakan ingin membunuhnya. "Kita pulang Pak?" Suara sang supir membuyarkan lamunannya.. Ia tak menjawab. Pria itu tidak tau hendak kemana ia pergi saat ini. Kembali ke kantor tidak mungkin dalam kondisi seperti ini. Semua yang ia kerjakan akan salah. Sejak pagi tadi saja ia sudah tak bisa konsentrasi. "Bagaimana, Pa
"Kenapa lama sekali, sih? Lagi ngapain mereka di dalam?" Air mata Firda sudah berjatuhan. Susah payah ia menahan diri untuk tidak menangis. Namun bulir-bulir bening itu mengalir begitu saja. Firda nyaris menahan napas saat menunggu pintu dibuka. Namun sekian detik berlalu, pintu unit suaminya itu tak kunjung terbuka. Firda tak menyerah. Ia terus menekan bel hingga tiba-tiba pintu bergerak. Detak jantung Firda semakin berpacu. Sebentar lagi ia akan melihat suaminya sedang bersama seorang wanita muda dan cantik. "Firda! K-kamu di sini?" Boy hampir terlonjak saat melihat ternyata yang datang adalah istrinya. Firda menatap wajah suaminya dengan napas memburu. "Kamu tau darimana kalau aku ..." Boy sangat gugup, Pria itu saat ini hanya memakai handuk yang dilingkarkan dipinggang.Oleh sebab itu ia sengaja tak membuka pintu terlalu lebar. Tanpa menjawab, Firda menerobos masuk. Dadanya semakin nyeri saat melihat suaminya hanya memakai handuk dan rambut masih basah. Boy menutup pintu,
"Kamu mau apa, Mas?" Firda nampak panik melihat wajah suaminya yang memandangnya dengan tatapan yang begitu dalam dan napas yang memburu. Boy Azka semakin menempelkan tubuhnya pada Firda. Hingga hawa panas mulai mengalir di kedua tubuh mereka. Apalagi saat ini pria paruh baya yang masih memiliki tubuh nyaris sempurna itu hanya memakai handuk yang dililit di pinggang. Hingga memperlihatkan dada bidang yang berbulu dan perut sixpacknya. Sejak muda hingga kini Boy Azka memang rutin berolah raga di sela-sela kesibukannya. Tak berbeda jauh dengan Firda. Wanita yang tak lagi muda itu rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta demi perawatan tubuhnya yang terlihat tak pernah menua. Ia pun rajin melakukan olahraga yang menunjang kecantikan tubuhnya. Boy memandang wajah cantik Firda dengan debaran yang begitu hebat di dada. Netra bulat serta hidung mancung yang menjulang dantara alis yang tersusun rapi itu nampak sangat indah. Bibir mungil namun penuh milik Firda sedikit terbuka, membuatnya
"Astaga ...!" Mata Firda membelalak saat kain putih itu berhasil ia tarik, nampaklah sebuah lukisan wanita setengah tak berbusana di sana. Dada Firda semakin bergemuruh ketika melihat wajah perempuan di lukisan itu sangat mirip dengan Syafa, namun tampak lebih dewasa. Jantung Boy Azka berdegup kencang. Sungguh ia khawatir dengan apa yang akan terjadi setelah ini. "Lukisan siapa ini, Mas?" Firda bertanya dengan suara gemetar dan serak, menahan tangis dan gejolak emosi yang meledak-ledak di dalam sana. Boy Azka hanya dia tak menjawab. Mulutnya seakan terkunci. "Jawab, Mas! Lukisan siapa ini?" Firda menatap jijik pada lukisan yang menampakkan sebegian lekuk tubuh hingga bagian-bagian sensitif wanita itu. "Apaa ... dia adalah ... Kirana?" Firda menatap suaminya dengan tajam dan napas memburu. "Tolong jawab Aku Mas!" Suara Firda semakin meninggi. "Sayang, dia hanya wanita masa laluku. Sedangkan Kamu adalah masa depanku." "Oh, jadi benar? Jadi benar dia adalah Kirana? Kenapa kamu
"Kamu ...? Untuk apa Kamu ke sini, Mas?" Firda terkejut. Dari mana suaminya tahu alamat apartemennya? Wanita itu memandang tak percaya pada Boy Azka yang kini memakai switer dan celana jeans, sudah berada di dalam unitnya. "Untuk apa? Aku suamimu Firda. Aku mengkhawatirkan dirimu. Suami mana yang bisa tenang melihat istrinya dijemput oleh pria lain? Suami mana yang bisa tenang, istrinya pergi dalam keadaan kalut?"" Firda tertegun mendengar semua ucapan suaminya. Ia mematung menatap Boy Azka yang semakin mendekat. Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Apakah benar suamimya mengkhawatirkan dirinya? Apakah benar suaminya cemburu? Sekali lagi Firda mencari alasan, kenapa hingga kini suaminya tidak menceraikannya? Apa hanya karena untuk pencitraan? Atau ... Apa benar suaminya memiliki sebuah rasa untuknya?Firda tersentak saat tiba-tiba saja Pria gagah yang sangat ia cintai itu semakin mengikis jarak dengannya. Seakan terhipnotis, wanita itu hanya diam saat Boy meraih kedua jemarinya dan