Setelah kejadian malam itu, beberapa hari kemudian, aku sama Mas Vino jadi canggung. Kadang malah cuma diam-diam aja padahal di meja makan bersama. Mama sampai curiga, dikira kita sedang bertengkar.
"Kalian itu jangan keseringan berantem. Nanti proses pembuatan cucu Mama jadi terhambat."
Aku bahkan hampir tersedak mendengar mama bilang begitu. Untung saja Mas Vino punya seribu seratus lima puluh cara untuk menaklukkan omongan mama.
"Apaan sih, Ma. Itu nggak mengganggu sama sekali. Di meja makan saja kita diem, kalau di ranjang mah beda lagi. Ya nggak, Le?"
Lelakiku ini menggerakkan sebelah alisnya untuk meminta pendapatku, sedangkan aku hanya bisa meneguk ludah susah payah untuk sekedar menganggukkinya. Ya gimana ya, bingung mau nanggepin, kalau nggak dianggukin, nanti mama akan semakin memojokkan kita. Sedangkan kalau aku anggukin, itu sama saja aku berbohong toh. Yo ndak iso perkara
Thanks for reading ❤️
Happy reading ❤️Bibirku tersenyum saat Mas Vino terus melihat ke arahku. Dia mengangkat sebelah alisnya. Seolah menanyakan sesuatu."Sejak kapan berdiri di sana?"Benar dugaanku. Entahlah, entah pertanyaannya karena takut aku mendengar obrolannya tadi atau sekedar bertanya saja. Tapi menurutku, opsi ke dualah yang tepat."Baru kok, Mas. Mas Vino baru sampai ya?"Suamiku itu meneguk minumannya, dia menoleh ke samping, mungkin memeriksa keberadaan mama, beliau memang langsung pergi tadi setelah ngobrol sama anaknya."Iya."Hanya singkat jawabannya, tanpa mau menjelaskan apa yang terjadi tadi, yah ... meski pun aku sudah mendengarnya, tapi apa dia tidak ingin menjelaskan apa pun. Tidakkah dia berpikir tentang istinya yang menunggunya sendirian dari tadi di depan gerbang kampus? Tidakkah dia penasaran aku pulang dengan siapa?
Happy Reading, terima kasih sudah setia menunggu ❤️Dari tadi pagi aku kok nggak lihat Mas Vino ya. Kemana dia? Apa semalam marah gara-gara aku bersikap sedikit ketus? Tapi masa segitu aja marah, bukankah Mas Vino malah lebih parah yo. Karena penasaran, aku akhirnya tanya ke mama."Emm, Ma. Juleha dari tadi kok ndak lihat Mas Vino ya?"Mama yang lagi menata tanaman di kebun belakang menoleh ke arahku. Aku sekarang sedang ikut membantu beliau merawat tanamannya. "Lho? Vino nggak pamit ke kamu? Tadi pagi dia buru-buru banget ke rumah sakit. Katanya ada keadaan darurat, dan dia diminta bantuan sama temannya."Aku mengangguk-angguk saja. Jadi karena itu, aku kira dia marah sama
Happy Reading Setelah kejadian malam itu, Mas Vino jadi berubah semakin pendiam. Aku nggak tahu ada apa lagi, padahal kemauannya juga udah tak turuti. Apa aku ngelakuin kesalahan lagi yo? Soalnya, sikapnya Mas Vino itu seolah-olah kayak menghindar dari aku gitu. Dia selalu berangkat pagi dan pulangnya pasti malem banget. Pernah lho, suatu hari aku nungguin Mas Vino, siapa tahu bisa nanya kesalahan aku apa, sampai didiemin begitu, tapi sampai pukul 00.30 Mas Vino nggak datang-dateng, dan akhirnya aku ketiduran. Eh, pas bangun tiba-tiba udah di atas kasur.Awalnya bingung, siapa yang mindahin Juleha. Kalau Mas Vino kayaknya ndak mungkin, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau aku di pindahin sama dedemit. Aku kembali bergidik sambil nyengir nggak jelas kalau mengingat hal itu, padahal yo nggak mungkin rumah sebesar ini ada demitnya."Juleha
Setelah kejadian malam itu, Mas Vino jadi berubah semakin pendiam. Aku nggak tahu ada apa lagi, padahal kemauannya juga udah aku penuhi. Apa aku melakukan kesalahan lagi yo? Soalnya, sikapnya Mas Vino itu seolah-olah kayak menghindar dari aku gitu. Dia selalu berangkat pagi dan pulangnya pasti malem banget. Pernah lho, suatu hari aku nungguin Mas Vino, siapa tahu bisa nanya kesalahan aku apa. Kenapa sampai didiemin begitu, tapi sampai pukul 00.30 Mas Vino nggak datang-dateng, dan akhirnya aku ketiduran. Eh, pas bangun tiba-tiba udah di atas kasur. Awalnya bingung, siapa yang mindahin Juleha. Kalau Mas Vino kayaknya ndak mungkin, tapi lebih nggak mungkin lagi kalau aku di pindahin sama dedemit. Aku kembali bergidik sambil nyengir nggak jelas kalau mengingat hal itu, padahal yo nggak mungkin rumah sebesar ini ada demitnya. "Juleha kenapa kok cengingisan." Aku langsung menoleh ke arah mama mertua. Kaget, karena dari tadi ternyata diperhatikan.
Ada yang mau bilang gue brengsek? Karena habis nidurin Juleha sikap gue jadi tambah dingin. Sebenarnya bukan tanpa alasan gue bersikap kayak gitu. Kalau dipikir-pikir, gue merasa bukan hanya menjadi lelaki brengsek aja, tapi juga biadab. Cuma gara-gara alasan sepele gue ngelakuin hal itu? Gue aja sampai nggak percaya sama apa yang udah gue perbuat beberapa hari silam. Terus, apa bedanya gue sama Rayhan yang sama-sama berbuat brengsek pada istrinya. Rasanya, setiap kali menatap wajah Juleha, gue selalu dihantui rasa bersalah. Hati gue jadi sakit sendiri mengingat perbuatan gue. Harusnya sebagai lelaki sekaligus suami, gue bisa jagain dia, bukannya malah ngelakuin hal gila seperti itu. Setiap malam gue sengaja pulang larut, pagi juga jarang ikut sarapan cuma buat menghindari Juleha. Terkadang kalau dia sedang menatap gue, gue jadi ingat sama muka melas dia malam itu, dan hal itu sukses bikin gue kecewa sama diri sendiri. Gue emang playboy, mantan gue bertebaran kayak
"Le, terakhir kali lo menstruasi kapan?" Aku mengernyit mendengar pertanyaan Mas Vino. Tumben sekali dia menanyakan siklus bulananku. Biasanya tidak pernah seperti ini. Namun, kalau diingat-ingat aku memang telat sih, tapi beberapa bulan sebelumnya memang sudah seperti itu. Jadi aku pikir mungkin wajar saja—dan … oh iya, aku ingat, dua hari yang lalu aku pernah keluar darah, tidak banyak sih, cuma beberapa titik aja, walaupun sekarang udah nggak keluar lagi. Tapi itu bukan suatu masalah setahuku. Sudahlah, aku nggak mau ambil pusing. Lagi pula wajar kalau siklus bulanan biasanya telat. "Memangnya ada apa toh, Mas? Tumben sekali tanya seperti itu." "Ya … ya, nggak ada apa-apa, cuma mau memastikan aja, siapa tahu lo lagi PMS. Gue 'kan, bisa bentengin diri kalau-kalau lo lagi mode pengen ngamuk." Mosok? Kayaknya nggak mungkin perkara itu deh. Mas Vino saja sampai memasang wajah seolah-olah lagi takut sama aku. Huh! Seperti meli
Setelah obrolan kemarin dengan Mas Vino, kok aku jadi kepikiran terus ya. Harusnya aku bisa lebih tenang, karena kemarin-kemarinnya habis ngeluarin darah. Itu pasti darah datang bulan, orang nggak sakit kok—yah … walaupun cuma sedikit dan nggak banyak kayak biasanya. Tapi tetap aja kepikiran, khawatir dengan segala hal, apa aku coba cek aja ya? Terus kalau nanti aku hamil beneran gimana? Mas Vino mau nerima nggak ya, dia kan, kemarin bilang belum siap. Duh, Juleha, seharusnya setelah kejadian malam itu kamu minum obat pencegah kehamilan, bukannya didiemin saja. Semua jadi nggak jelas gini dan kepikiran kan, sekarang. Masa kalau udah jadi orok mau dikeluarin.Aduh!! Mbohlah!!! Kok makin pusing aku, jadinya malah pingin muntah rasanya gara-gara kebanyakan mikir. Mana tadi pagi lupa nggak sarapan lagi karena udah kesiangan. Alahasil bawaannya mual terus."Kenapa mukul-mukul kepala gitu, Juleha?"Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku,
Gue terus melihat Juleha yang saat ini makannya rakus banget. Gila nih cewek, kecil-kecil makanya banyak. Jangan-jangan dia cacingan lagi? Makan maruk tapi nggak gendut-gendut. Badannya tetap aja segitu setahuku."Pelan-pelan, Le, kalau makan. Nggak bakal lari ke mana-mana tuh makanannya, yang ada mulut lo malah jadi belepotan gini 'kan." Gue nyerahin selembar tisu ke arah dia, sedangkan Juleha malah menatap gue dengan kernyitan di dahinya. Jangan kalian pikir gue bakal ngelap sisa makanan dia ya. Oh ... tidak mungkin, ini bukan pilm oppa-oppa drama kuriyah. Belum saatnya Vino mengeluarkan jatah romantisnya, takut ada yang baper nanti. Kasian kalau tingkah kita ini dilihat para jomblo di luar sana . Bisa gigit jari mereka melihat ke-uwuw-an kita berdua."Buat ngelap sisa makanan di bibir lo tuh, udah gede makan jorok banget sih. Belepotan di mana-mana." Gue berkata sedikit nyolot. Entahlah, bawaannya nggak enak aja gitu kalau nggak nyolotin Juleha seh