"Hufff!" Charlene mengempaskan bokongnya ke atas sofa empuk di ruangan santai yang super luas, setelah meletakkan laptop dan ponselnya ke atas meja di depan sofa. Posisinya menghadap ke jendela, sehingga bisa menikmati pemandangan malam. "Akhirnya aku bisa merasakan me time juga," ucapnya pada diri sendiri. Ia mengulum senyum sembari membuka laptopnya. Selain ingin mengetik novelnya, ia juga berencana membuat surat penangguhan pembayaran cicilan utangnya. Ini adalah kali kedua ia membuat surat itu, setelah lebih dari dua bulan lalu melakukannya. Surat yang pertama kali ia kirimkan waktu itu adalah permintaan untuk penangguhan selama tiga bulan. Beberapa hari lagi, tenggat waktunya akan jatuh tempo. Charlene ingin meminta sedikit perpanjangan waktu lagi, setidaknya sampai bulan depan, saat dirinya menerima bonus yang Lee janjikan padanya. Charlene lalu mengepalkan kedua tangannya dengan penuh semangat. Lantas ia mulai mengetik. Beberapa saat berlalu dan ia hampir menyelesaikan surat
"Aku rasa itu bukan urusanmu, Nona Flynn," elak Lee.Charlene mencebik kesal. Memang bukan urusannya. Namun, ia sungguh merasa kesal karena Lee telah menguping pembicaraannya dengan Axel. "Baiklah, itu memang bukan urusanku. Sama halnya dengan Axel ingin memanggilku apa, itu juga bukan urusan Anda." Sekarang mereka impas. O, tidak, Charlene menganggap Lee masih berutang permintaan maaf padanya karena telah mencuri dengar percakapannya dengan Axel. Namun, Lee sama sekali tidak menunjukkan penyesalan apa pun. Wajah pria itu terlihat datar. "Aku menyuruhmu untuk mengambilkan minuman untukku. Bukan mengurusi apa yang menjadi urusanku atau bukan." Demi apa pun, bolehkah Charlene menendang bokong bosnya dengan keras, hingga menembus keluar dari dinding penthouse? Bahkan bila perlu, sekalian menembus keluar dari bumi. "Bukankah Anda sudah di sini? Jadi kenapa masih menyuruhku mengambil minuman untuk Anda?" sergah Charlene. Lee terlihat acuh tak acuh. "Kalau aku mengambilnya sendiri, la
"Marvin, setelah sampai di atas nanti, tolong bantu aku untuk memberikan akses lift dan juga akses pintu masuk pada Nona Flynn," ujar Lee ketika mereka berada di dalam lift yang sedang bergerak menuju ke penthouse. Marvin sempat terkejut dengan ucapan Lee, tetapi dengan cepat ia berhasil menyembunyikan hal tersebut. "Baik, Tuan," jawab Marvin. "Eh? Akses lift dan pintu masuk?" timpal Charlene yang terlambat mencerna ucapan Lee, sembari menunjukkan raut wajahnya yang terlihat bingung. Gadis itu menatap ke samping, tempat di mana Lee berada satu langkah di depannya. Hanya bagian belakang tubuh Lee yang bisa ia lihat karena pria itu tidak berniat menoleh. Charlene lantas melirik Marvin, meskipun ia tahu jika hal itu tidak ada gunanya karena Marvin juga pasti tidak akan mengatakan apa-apa tanpa persetujuan dari Lee. Memang baru beberapa hari dia bekerja sebagai asisten Lee, tetapi ia sudah hafal dengan beberapa hal, termasuk karakter Lee dan Marvin. "Kenapa? Kau tinggal di sini, tent
Charlene mengembuskan napas berat kala melihat surat balasan dari bank. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. Haruskah ia meminta bantuan pada Axel? Tidak. Ia tidak bisa melakukan hal itu. Berulang kali Charlene tergoda untuk meminta bantuan Axel, tetapi berulang kali pula ia mengurungkan niatnya. Namun, ia sendiri juga tidak memiliki jalan keluar. Bank telah menyatakan rumah tersebut akan segera dilelang, jika Charlene tidak membayar cicilannya saat jatuh tempo nanti.Charlene kembali mengembuskan napas berat sebelum menutup layar laptopnya. Ia lantas beranjak dari sofa. Tujuannya adalah ke kamar Lee. Itu merupakan satu-satunya cara yang terpikir oleh Charlene. Ia tidak punya pilihan lain. Charlene pun segera menekan bel beberapa kali begitu tiba di depan kamar Lee. Ia melipat kedua tangannya di dada sembari berjalan mondar-mandir dengan tidak sabaran. Saat pintu tak kunjung juga dibuka, Charlene lantas menekan bel beberapa kali lagi. Ia mundur dan membalikkan tubuhnya. Bruk!
Charlene terbangun di akhir pekan itu karena dering dari ponselnya. Ia menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang ada di samping nakas dengan mata masih menutup. Dalam keadaan setengah sadar, ia menempelkan telepon genggam tersebut ke telinganya tanpa melihat nama yang tertera di layar. "Ada apa? Bukankah ini masih pagi dan hari libur?" tanya Charlene dengan suara yang terdengar malas. Ia tidak tahu untuk apa Lee memanggilnya pagi-pagi begini. "Ehem!" Terdengar suara deheman dari seberang sana. "Aku merindukanmu. Apa tidak boleh?" lanjut suara tadi.Sontak kedua mata Charlene terbuka lebar. Rasa kantuknya mendadak lenyap. "Ax-Axel?" "Iya." Axel menjeda sedetik. "Memangnya kau pikir siapa?" selidik calon suami Charlene itu. Charlene bergegas menyibak selimut dan mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Ia menurunkan kaki telanjangnya ke atas lantai, mendudukkan dirinya di tepi ranjang."Aku pikir tadi adalah bosku," ujar Charlene sembari memijat pelan tengkuknya yang terasa sediki
Lee sebenarnya tidak berencana untuk bangun sepagi biasanya karena di akhir pekan itu, dia tidak memiliki pertemuan ataupun undangan. Namun, telepon dari ibunya, telah membuatnya terjaga. "Lee!" panggil Hana, Ibunya dengan suara yang lantang, membuat pria itu terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya dalam keadaan mata masih tertutup. "Apa kau ingin membuat Ibu menunggu sampai karatan karena kau tidak kunjung menelepon?" Agh! Lee sungguh telah melupakan janjinya itu karena akhir-akhir ini dia terlalu sibuk. Sibuk dengan pekerjaan dan juga sibuk dengan asisten barunya. Charlene. "Kenapa kau tidak menjawab? Sedang mencari alasan, hah?!" tuding Hana. "Hari itu kau pergi dengan terburu-buru, padahal Ibu baru tiba di penthouse-mu dan ingin bicara. Lalu kau bilang akan menelepon ibu. Ternyata kau tidak melakukannya." Hana mengomel panjang lebar. Well, hari di mana terakhir kali Hana datang berkunjung ke penthouse-nya, memang Lee pergi dengan tergesa-gesa menuju ke penjara untuk bertemu
Charlene menutup pintu kamar dan menyandarkan tubuhnya di sana dengan gemetaran. Ia menatap tangannya yang terasa amat sangat dingin. Sulit dia percaya, untuk pertama kalinya ia menampar seseorang dan orang itu adalah bosnya. Charlene tidak menyesali hal itu, karena menurutnya Lee telah terlalu keterlaluan dalam menghina dirinya. Ia tidak tahu apakah Lee akan memecatnya setelah ini. Namun, dia sudah siap jika memang benar-benar harus menjadi gelandangan. Rumahnya telah dilelang. Yang tersisa pada dirinya saat ini hanyalah kehormatannya. Charlene lantas bergegas menuju ke walk in closet untuk mengemasi barang-barang. Ia berniat pergi dari tempat itu sebelum diusir. Lagi pula, siapa yang akan betah tinggal dengan manusia tanpa perasaan seperti Lee Finnegan Montana? Pria itu terlalu mengekangnya. Setelah beberapa waktu berlalu, tampak Charlene menyeret dua kopernya keluar dari kamar untuk menuju lift."Mau ke mana kau?" sergah Lee yang mendadak muncul entah dari mana, sehingga membuat
Charlene membuka pintu kamarnya, meninggalkan Lee di luar sana. Ia menyeret kopernya dan meletakkannya begitu saja di tengah ruangan, sebelum melempar bokongnya dengan kasar ke atas tempat tidur. "Ugh!" keluhnya. Pandangannya lantas beralih ke arah koper-koper miliknya. Ia tidak berencana untuk membereskan koper-koper tersebut. "Bagaimana caranya agar aku bisa kabur dari sini?" tanya Charlene pada dirinya sendiri. Ia harus memikirkan semuanya dengan matang. Tentu tidak mudah baginya untuk kabur dari kediaman Lee dengan membawa barang-barangnya karena pria itu pasti mengawasinya. Namun, jika ia meninggalkan barang-barang tersebut, rasanya juga tidak mungkin mengingat dia sendiri saat ini sedang tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang yang baru. Untuk menyewa tempat tinggal saja, dia tidak sanggup. Charlene memikirkan hal itu sepanjang hari. Bahkan ketika malam tiba, ia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur dengan mata nyalang karena tidak bisa tidur. Charlene lantas me