Tidak mungkin jika kedua temannya itu hendak mencelakai dirinya. Charlene cukup mengenal mereka. Ia yakin bahwa pasti ada penjelasan di balik semua hal ini.
"Apa mereka berniat menjebakmu?" Axel seakan bisa membaca pikiran Charlene. Ia mengenal Lucy dan Christine karena pernah beberapa kali bertemu dengan mereka.Charlene menggeleng. "Seperti katamu tadi, sepertinya ini hanya masalah salah paham.""Apa kau sudah menghubungi mereka?""Tidak. Aku belum menghubungi mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas, apalagi ini sudah malam."Well, Charlene percaya pada teman-temannya. Ia tidak ingin membuat mereka merasa bersalah karena telah mengakibatkan dirinya kini terkena masalah hukum.Axel mengangguk samar, masih belum melepaskan tangannya dari pipi Charlene. Wajahnya tampak menyimpan beban."Katakan saja yang sebenarnya," tandas Charlene yang sudah pasrah.Axel menatapnya dengan lembut. "Aku sungguh minta maaf, karena malam ini, kemungkinan besar kau harus berada di sini." Axel tidak ingin menyebutnya dengan gamblang. Charlene gadis yang cerdas, jadi ia sudah pasti mengerti dengan maksud ucapan Axel.Malam ini Charlene harus tidur di balik jeruji besi. Hal itu terdengar buruk dan menakutkan untuk gadis sepolos Charlene.Axel menarik tangannya dari wajah Charlene. "Menurutku, ada baiknya jika kau menghubungi temanmu, agar mereka bisa bersaksi bahwa ini hanyalah salah paham."Pria itu tidak ingin Charlene menetap terlalu lama di dalam sel. Lebih cepat Charlene dibebaskan, maka hal itu lebih baik."Aku akan bicara dengan pengacara," putus Axel secara sepihak.Namun, ternyata Charlene memberikan anggukan sebagai tanda persetujuan. Axel bergegas keluar untuk bicara dengan pengacara. Tidak sampai satu jam, kedua teman Charlene telah berada di kantor polisi untuk memberikan kesaksian."Maafkan aku sehingga kau sampai salah paham. Seharusnya aku mengatakannya dengan jelas," sesal Lucy. Sebab, dialah yang memberitahu Charlene informasi tentang Lee.Charlene menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku yang salah menangkap maksudmu. Kau bilang kalau Tuan Montana adalah bos dari bos URead Novel, tetapi aku malah mengira kalau kau mengatakan bahwa Tuan Montana adalah bos URead Novel.""Semoga dengan kesaksian dari kami, Tuan Montana bersedia mempertimbangkan untuk mencabut tuntutannya," harap Christine."Entahlah. Semoga saja." Charlene tampak pasrah.***Sejak tadi Lee bolak-balik di atas tempat tidur, berusaha untuk terlelap, tetapi pikirannya terus tertuju kepada gadis yang ditemuinya tadi. Ia turun dari atas ranjang, kemudian berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Ada beberapa hal yang terasa sangat mengganggu dirinya.Jam menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika Lee memutuskan untuk menghubungi Marvin. Namun, ponselnya berdering terlebih dahulu sebelum ia meraihnya. Lee melihat nama yang tertera di layar telepon.Well, sepertinya Marvin memiliki kemampuan telepati."Ada apa, Marvin?"Lee tampak menyimak informasi yang Marvin berikan dari seberang sana."Aku ingin bicara dengannya," ujar Lee lagi."Baik, Tuan," balas Marvin di ujung telepon. "Saya akan menghubungi Anda kembali.""Emmm ...." Hanya itu yang keluar dari bibir Lee sebelum memutus sambungan telepon.Lee mendudukkan dirinya di ujung tempat tidur dengan ponsel yang masih berada di tangannya."Astaga ... ada apa denganku?" Ia meletakkan satu tangannya ke dekat jantung. Sejak bertemu dengan Charlene— tadi Marvin memberitahu nama gadis itu di telepon—tubuhnya jadi mengeluarkan reaksi-reaksi aneh.Sekarang ia bahkan merasa gemetar! Lee benar-benar tidak bisa tenang."Heuh! Kau harus membayarnya, Nona Flynn." Selanjutnya Lee mengumpat kesal sembari meninju udara. Hal itu dia lakukan untuk mengalihkan perhatian dari perasaan aneh yang menghinggapinya.Ponsel Lee kembali berdering. Ia tidak memperhatikan siapa yang menelepon dan langsung meletakkan benda pipih tersebut ke daun telinganya."Halo!" suara di seberang sana terdengar sedikit ketus.Lee menjauhkan telepon genggam itu dari telinganya. Ia mengenal suara itu. Charlene.Gadis itu sebenarnya sangat manis, tetapi tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Mendadak Lee mengernyitkan dahi, merasa heran dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ia memperhatikan lawan jenis, selain Rachel?"Nona Flynn, ini aku, Lee Montana.""Aku tahu. Apa yang ingin Anda bicarakan?""Aku akan mencabut tuntutanku—.""Hah?! Anda bilang apa?!" seru Charlene terdengar kaget. Saking kagetnya, ia langsung berdiri, sampai menjatuhkan kursi besi yang didudukinya hingga menimbulkan suara gaduh yang sangat menusuk telinga.Lee kembali menjauhkan telepon dari telinganya. Menunggu suara gaduh itu menghilang."Tuan Montana," panggil Charlene kala tidak mendengar respon Lee, setelah ia membenarkan kembali posisi kursi yang ia jatuhkan dan duduk seperti semula.Lee meletakkan kembali benda hitam itu ke telinganya. "Jangan memotong ucapanku.""Maaf, Tuan." Charlene terdengar menyesal, tetapi Lee tidak tahu saja bahwa di seberang sana, gadis itu memutar bola matanya karena kesal dengan ucapan Lee. Hanya saja, Charlene berusaha menahan diri karena tidak ingin Lee menarik kembali keputusannya."Aku akan membebaskanmu, tetapi ...." Lee sengaja menggantung ucapannya dalam waktu yang cukup lama.Ralat, hanya beberapa detik saja, tetapi bagi Charlene, terasa seperti berabad-abad."Tetapi apa, Tuan?" buru Charlene.***
<span;>***Charlene melangkah memasuki ruang kunjungan. Ia harus menyembunyikan wajahnya yang kesal di hadapan orang yang mengunjunginya. "Kau harus menginap satu malam di penjara," kata Lee tadi malam, sebelum mengakhiri pembicaraan mereka secara sepihak.Jika bukan karena Lee berjanji akan mencabut tuntutannya, tentu Charlene tidak akan mau bersusah payah menyembunyikan rasa jengkelnya pada pria itu. Charlene berjalan ke sisi seberang. Lee mengangkat kepalanya untuk melihat gadis yang sejak tadi malam terus mengusik pikirannya. Lingkaran hitam samar di bawah mata Charlene, cukup untuk menunjukkan bahwa gadis itu tidak tidur dengan nyenyak semalam. Atau bahkan mungkin gadis itu sama sekali tidak bisa tidur? Agh! Kenapa Lee harus peduli dengan hal itu? Bukankah mereka impas karena Charlene juga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak—meskipun Charlene tidak tahu apa-apa?"Duduklah," titah Lee sembari menggerakkan dagunya ke arah kursi di seberang tempat duduknya. Dengan malas, Charlene men
Axel memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh dari pintu utama Universe Hotel and Apartments. Ia tidak bisa berhenti di depan pintu utama karena ada sebuah mobil yang lebih dulu bertengger di sana. "Kau yakin tidak perlu aku temani ke atas?" tanya Axel pada Charlene setelah keduanya turun dari mobil. Charlene menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Keduanya saling melempar senyuman hangat. Pemandangan itu terpindai oleh pemilik mobil di depan, melalui pantulan kaca spion di luar mobil. Ekspresinya yang terlihat tenang, tampak kontras dengan sorot matanya yang dingin. Pria itu bergegas turun tanpa menyuruh asistennya untuk membukakan pintu mobil. Sebenarnya, sewaktu tiba tadi, seperti biasa sang asisten hendak turun untuk membukakan pintu mobil baginya. Namun, pria itu mencegah sang asisten melakukan hal itu setelah tanpa sengaja melihat Charlene di belakang. "Suruh Nona Flynn ke atas sekarang juga," titah pria yang tak lain adalah Lee, pada Marvin. Dari nada bicara Lee,
Charlene sedang membuka situs mesin pencari online, mencari beberapa informasi sebagai bahan tulisan untuk novelnya. Ia memutuskan untuk mengetik di dapur bersih—setelah menyusun semua barang-barangnya yang ia kirim lewat ekspedisi ke penthouse—demi menghindari Lee. Tadinya Charlene berharap Lee membawa teman kencan pulang ke penthouse, sehingga Lee tidak akan membutuhkannya. Namun, Berta mengatakan bahwa Lee tidak pernah terlihat membawa teman wanita pulang. Charlene menghela napas pelan di atas salah satu stool bar yang ada di depan kitchen island. Ia duduk menghadap ke arah kitchen set di dinding hanya dengan penerangan satu lampu. Selebihnya, ruangan yang menyatu dengan ruang santai yang luas itu, tampak gelap. Hanya bercahayakan sinar bulan dan lampu-lampu yang menyala dari bangunan-bangunan luar. Hampir dua jam Charlene mengetik, ketika mendadak ia merasakan hawa dingin menerpanya. Seluruh bulu kuduknya meremang. Gadis itu lantas mengusap tengkuknya. Ia pikir mungkin otot-otot
Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran. Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah. Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka. Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya. "Hmmhh ...," lenguh
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi setelah mereka menyelesaikan sarapan. Sebenarnya Lee masih punya cukup waktu untuk sampai ke kantor jika tidak mengalami kemacetan di jalan. Namun, Lee tidak ingin mengambil resiko tersebut. "Ini," Lee menyerahkan tas kerjanya pada Charlene. "Kenapa?" Charlene terlihat bingung dengan ucapan Lee. "Tugasmu sebagai asistenku. Salah satunya adalah membawakan tasku." "O ...!" Charlene segera mengambil alih tas tersebut dari tangan Lee. Ia lantas mengikuti langkah Lee menuju lorong yang mengarah ke lift. Lee menyempatkan diri untuk menyapa Monkey dan memberi makan ikan-ikannya. Selanjutnya mereka memasuki ruangan lift dan ternyata Marvin sudah stand by di sana, menahan lift untuk sang atasan. "Semuanya sudah siap?" tanya Lee kala mereka telah berada di dalam lift. "Sudah." Marvin kemudian mengarahkan tangan ke tombol sensor lantai teratas. "Eh, kenapa ke atas? Bukannya ke bawah?" komentar Charlene di saat lift menutup dan mulai bergerak ke atas.
"Becky, jangan terlalu terus terang kalau bicara. Lihatlah, kau membuatnya takut," ujar pria yang baru saja muncul dengan kedua gelas di tangannya. Ia menyerahkan satu gelas untuk Charlene. "Untukmu, Nona Manis." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Charlene. Charlene menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. "O iya, kenalkan, aku Ronald Anderson, manager marketing. Panggil saja Ronald atau Ronnie." Ronald mengulurkan tangannya yang disambut oleh Charlene."Sebaiknya kau jangan macam-macam, Ronald. Dia itu wanitanya bos," sergah Ava dari bagian staff keuangan, yang saat ini berdiri di sisi kiri Charlene. Ronald menempatkan dirinya di samping Rebecca yang berdiri di seberang Ava, sedangkan di samping Ava, ada Beatrice dan Victor yang sama-sama berasal dari bagian HRD. "Sainganmu terlalu berat." Victor terkekeh yang diikuti dengan tawa dari teman-temannya. "Ck! Kalian ini sungguh meremehkan pesonaku. Lagi pula bos 'kan tidak menyukai wanita," balas Ronald sembari mengusap bagi