“Bawa Baby Seraphina tidur bersamamu.”Shiena mengeja pesan yang Sergio kirim padanya sampai dua kali.“Kode apa lagi ini? Dia suka sekali mengirim perintah hanya satu kalimat. Minimal beri aku penjelasan alasannya apa jadi aku bisa cari alasan.”Dia menggerutu sambil menyibakkan selimut. Tubuhnya padahal sudah hangat di atas ranjang dengan posisi nyaman. Dan kini dia harus turun, memakai sandal berbulunya juga melepas sheet mask yang baru dia pasang 10 menit yang lalu.Di luar kamar, Shiena bisa mendengar obrolan samar Vincent dan anak buah di teras. Ah, dia tak peduli. Gadis itu menguap menuju kamar Karissa lalu mengetuk pelan, takut mengagetkan bayi di dalam.“Sepi, dia sudah tidur kah?” Shiena menempelkan telinga ke daun pintu.Detik selanjutnya handle pintu berputar, Shiena pun mundur satu langkah. Karissa membuka sambil menggendong Baby Seraphina.“Loh, belum tidur?” Pertanyaan itu lebih tertuju pada si bayi yang rupanya masih membuka mata lebar.Tidak ada tanda-tanda mengantuk.
"Bawa Aiden dan Deimos ke kamar atas," titah Luciano pada Martha.Martha pun langsung mengangkat Deimos dengan hati-hati dan meraih tangan Aiden. "Ayo, Sayang. Kita main di atas, ya."Aiden tidak menolak. Dia sudah berapa kali melihat Damian yang sedang marah pada anak buah lalu mengeluarkan pistol, atau memukul. Jadi kejadian di depannya ini tidak membuat dia terlalu syok.Setelah mereka pergi, suasana menjadi jauh lebih sunyi."Kau benar-benar sudah mempersiapkan semua ini," gumam Hector, masih memegang pistol tapi tangannya gemetar karena amarah.Luciano memilih untuk berdiri, maju satu langkah lalu mengambil santai pistol yang sedang Hector arahkan padanya.“Aku bukan pembunuh tanpa alasan, apalagi sampai melukai keluarga sendiri.” Dia mengkode anak buahnya dengan gerakan jemari, lalu semuanya menurunkan senjata bersamaan.“Apapun yang kamu lakukan, aku akan tetap menghormatimu, Opa. Tapi, jika itu sudah berurusan dengan keselamatan anak dan istriku.” Luciano menjeda bersama denga
“Jangan menangis. Aku melakukan ini supaya Opa merestui hubungan kita.” Damian mengusap pipi Emma yang basah.Gadis itu sangat cantik dengan rambut keemasan yang segar, cocok dengan warna kulit Emma yang putih bersih. Sayangnya hanya karena Emma berasal dari rakyat biasa, anak dari pengawal keluarga Wilbert, Hector jadi tidak menyetujui hubungan mereka.“Kau janji akan kembali?” cicit Emma meremas kemeja yang membalut tubuh Damian.“Kita akan bertemu dua tahun lagi. Dan aku pastikan, kamu akan menjadi pengantin tercantik yang berdiri bersamaku di atas altar.” Perkataan itu tulus. Ya, tatapan Damian pun tidak bohong dia sangat mencintai Emma.“Di tanggal yang sama?” tanya gadis itu memastikan.Damian mengangguk. “Ya, di tanggal yang sama. Tanggal cantik yang sudah kita rangkai sejak satu tahun lalu.Jawaban itu membuat tangisan Emma semakin menyesakkan. Dia memeluk Damian erat. Dia takut, sangat takut kalau mereka tidak akan bertemu lagi.Kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun laman
“Apa yang sedang kamu lakukan?” Damian merebut laptop dari meja.Emma berdiri cepat, wajahnya tegang, panik. Apalagi melihat bagaimana mata Damian bergerak penuh amarah menatap ke layar laptop.Halaman email di sana belum sempat Emma tutup hingga memperlihatkan file apa dan kepada siapa dikirim."File loyalitas," gumamnya pelan dengan dada mulai naik turun karena dadanya mulai terbakar."Kau mengirim file loyalitas pada Luciano?" geram Damian kini menyorot tajam pada Emma. “Jadi kamu menjual tubuhmu padaku sebagai pengkhianat?”Emma mundur setengah langkah sambil menggeleng.“A-Aku tidak berkhianat. Aku tidak membela Luciano. Aku hanya membela keadilan struktur kekuasaan. Aku hanya mengembalikan semua secara baik-baik. Karena cepat atau lambat pasti –“Suara laptop yang di banting oleh Damian membuat Emma terjingkat. Belum sampai bereaksi lebih banyak, tangan lebar Damian sudah mencengkeram leher Emma. Tubuh ramping itu seketika sedikit terangkat membuat Emma berpegangan pada tangan D
“Siapkan air hangat.”Titah Damian ketika pintu kamar dibuka.Dia baru pulang larut setelah sehari kemarin tidak pulang. Pria dengan luka kecil di pipinya melempar jas hitam ke sofa panjang. Dasi dilonggarkan, kemeja dibuka kancingnya satu-satu.Karena tak ada jawaban dari pelayan yang baru masuk, Damian pun menoleh ke belakang. Begitu mengetahui siapa yang sedang menutup pintu, dia berdecak kemudian kembali melihat ke depan untuk menyelesaikan melepas jam tangan.“Aku memanggil pelayan, bukan kamu.”Emma mengambil jam yang baru Damian lepas, sambil menyentuh manja.“Aku yang akan melayani Tuan Damian malam ini,” bisiknya.Kakinya telanjang, langkahnya ringan mengintari Damian lalu berdiri di depan pria itu. Emma hanya dibalut jubah satin yang kini ia lepas perlahan. Dibiarkan jatuh ke lantai begitu saja. Hingga kini hanya ada lingerie tipis berwarna hitam transparan yang melekat sempurna pada lekuk tubuhnya.Damian tak bereaksi. Matanya hanya melirik sebentar sebelum kembali melipat
“Kau benar akan pergi?”Karissa nampak tidak rela melihat Luciano yang sudah memakai coat hitam. Pria yang baru saja mengirimkan foto untuk ibunya pun berbalik ke belakang.“Kamu ingin aku bertengkar dengan Vincent di sini?” jawab Luciano seraya memasukkan ponsel ke sakunya.Karissa mendesah ringan. Dia menunduk memandang Baby Seraphina yang sedang dia gendong. Seolah, berharap anak ini bisa membuat Luciano tetap tinggal.Meski apa yang dikatakan benar adanya. Kalau Vincent tau Luciano di sini, pasti akan marah. Dia takut ada yang terluka di antara mereka berdua.“Ingat, usahakan Vincent tidak ikut ke rumah sakit saat jadwal periksa Baby Seraphina.”“Aku usahakan,” jawab Karissa sedikit ragu.Bukan meragukan rencana Luciano, tapi dia ragu apa Vincent bisa melepas dia keluar rumah sendirian.Pria yang sudah segar, wangi dan rapi itu membungkuk untuk mengecup pipi dan dahi bayinya. Kemudian mengangkat sedikit tubuhnya untuk mencium kening Karissa sampai keduanya terpejam sejenak.“Permi