Share

Bab 3. Bangun!

Suara benturan keras antara mobil Haidar dan pembatas jalan, terjadi di tengah sunyinya jalan dan derasnya hujan. Mereka mengalami kecelakaan tunggal karena rem blong. Akibat benturan tersebut membuat serpihan kaca mengenai tubuh keduanya, sementara kaki Haidar terjepit kursi dan dashboard.

"O-om, bangun!" pinta Ciara dengan lirih sebelum pingsan.

Tidak ada satu menit setelah kejadian, keduanya tidak sadarkan diri. Darahnya banyak yang yang keluar melumuri mobil. Beruntungnya ada teman Haidar yang tadi sempat disuruh mengawasi keberadaannya bersama Ciara secara diam-diam.

***

Selang berisi darah sudah berjalan masuk ke dalam perangkap transfusi darah untuk Ciara. Lain dengan Haidar yang masih terbaring belum sadarkan diri setelah operasi kakinya. Ciara meminta satu ruang bersama Haidar, bukan karena ingin mencari kesempatan, tetapi karena rasa bersalahnya yang hinggap.

"Bangunlah! Om kan masih mau belajar buat sate yang enak. Katanya mau buktiin, bangun!"

Suara alat bantu di rumah sakit terdengar kian serempak. Sejenak Ciara mengamati selang transfusi lalu beralih menatap Haidar yang belum sadar dan belum juga mendapatkan darah untuk ditranfrusikan karena stok rumah sakit yang cocok dengan darah Haidar sedang habis, sedangkan dari keluarga yang cocok itu darah papanya yang mana sekarang masih perjalanan pulang dari luar negeri.

"Cepat buka mata! Usilnya jangan kebangetan dong! Nyusahin pikiran, iiihhh!" gerutu Ciara.

Seharusnya, Haidar sudah sadar setelah waktu yang telah ditentukan untuk operasi kakinya. Badan Ciara lemas, perutnya masih perih karena sayatan kaca dan juga akibat telat makan. Sekarang Ciara menyesal, hanya bisa berandai-andai jikalau saat itu dia tidak mengeluh sakit ke Haidar, mungkin keadaan tidak membuat Haidar separah sekarang.

"Aku sadar, kamu sangat berharga untukku. Meskipun baru kenal, Om itu peka banget dengan yang Cia butuhkan," ujar Ciara.

Kematian, suatu hal yang pasti terjadi pada manusia apalagi di saat sakit menerpa. Bukan sakit yang menyebabkan kematian, tetapi jiwa pasti lebih disadarkan dengan adanya masa tersebut. Tangisnya menderu, rasa takut akan kehilangan seseorang yang baru saja ia kenal dan menjadi penolongnya terus mengintai pikiran Ciara. Ia jadi teringat juga dengan keinginan terakhir Haidar sebelum kecelakaan, yaitu ajakan untuk menikah.

"Udah baik banget, bahkan saat kecelakaan itu, Om berusaha menahan Ciara supaya nggak kejedot dashboard. Masa iya aku tetep gak mau kamu nikahin, Om? Bangun ya, Om! Ciara akan berusaha menjadi sahabat Om untuk membantu pemulihan, please ...!"

"Jika kamu mendatangiku, itu artinya sudah masuk dalam perangkapku. Apa kamu tahu? Aku paling tidak suka, perangkapku didatangi seseorang yang hanya sekejap, ini hanya akan meggores ulang luka yang belum kering!" Ciara menghembuskan napas panjang.

Masalah perjodohan secara diam-diam itu masih tetap berlanjut. Meskipun keadaan Haidar belum sadar, tidak ada dari pihak keluarga Ciara maupun Haidar yang membongkar misi tersebut. Ciara memang bertanya tentang hal tersebut kepada abinya, tetapi hanya dijawab seperlunya saja, tidak membahas masalah perjodohan. Mereka ingin Ciara dan Haidar bersatu dengan dorongan dari mereka sendiri.

"Cia ...."

Suara lembut menyapa di kala seluruh keluarga membiarkan Ciara dengan tangisnya. Seketika tangisnya terhenti, matanya terbuka lebar melihat arah suara tersebut. Seorang lelaki dengan bibir pucat memberikan senyum yang begitu manis untuk perempuan cantik yang sedang duduk di kursi roda.

"O-om, Om sadar? Alhamdulillah, subhanallah walhamdulillah walailaha illallah, Ya Allah aku seneng banget!" Ciara sangat senang, sampai iseng mencubit lengan Haidar.

"Awwww! Baru saja sadar udah disakiti," ungkap Haidar.

Haidar meringis kesakitan dengan tawa ria Ciara Basma. Detik waktu memancarkan kebahagiaan yang luar biasa. Sama seperti sebelum kecelakaan, Haidar kembali menyinggung masalah pernikahannya dengan Ciara.

"Huhuhuhu lega! Ternyata Om belum meninggoy!" seru Ciara.

"Hmm, kan masih mau nikahin kamu, masa iya udah mati aja belum nikah," sahut Haidar.

"Kenapa Om gak amnesia aja, sih!" Ciara memalingkan wajahnya.

"Aaah! kamu akan rugi." Haidar memegangi kepalanya yang lumayan sakit.

"Rugi apanya? Yang ada malah full beruntung!"

Ciara terbangun dari mimpinya. Ia kaget berada di ruangan sendiri karena sebelum tidur ia berada di brankar yang satu ruangan dengan Haidar. Tangisnya turun lagi, ternyata percakapannya dengan Haidar itu hanya sebatas mimpi. Bagaimana tidak hancur, saat-saat di mana kebahagiaan terasa menang atas kejadian pahit, tetapi nyatanya itu hanya sebuah bunga tidur saja.

"Aku benci tidur, benci! Sudah dua kali aku mimpiin kejadian bersama Om Hai, yang sekarang ini kenapa mimpiku tidak nyata, huaaa! " teriak Ciara, tetapi tidak ada keluarga yang menghampiri.

Terkadang, bunga tidur memang menjadi penyemangat. Akan tetapi, kini lain dengan Ciara yang merasa dipermainkan. Teriakannya begitu kencang, tetapi tidak ada satu pun keluarga maupun pihak rumah sakit yang masuk kamar tersebut.

"Kenapa dipindah? Pokoknya aku harus cari ruangan Om Hai!" Ciara berusaha menata kursi rodanya.

Belum sampai Ciara bisa berhasil duduk di kursi roda, Haidar dipindahkan untuk bersama satu ruangan lagi dengan Ciara. Sekarang bukan lagi mimpi, ini Haidar benar-benar sudah sadar. Senyum manisnya terpancar sama seperti di mimpi meskipun dengan bibir pucat tetap membuatnya terlihat tampan. Dokter dan perawat yang mengantarkan juga segera keluar ruangan.

"Hai calon istriku," sapa Haidar.

"Alhamdulillah ... Om masih hidup beneran! Ini bukan mimpi!" Ciara bersorak gembira dengan memberi senyum, semangatnya serasa pulih lagi menjadi seratus persen.

"Hah? Memangnya kamu kira Om udah mati?" tanya Haidar.

"Hehe, gak gitu juga! Ngeselin banget gak bangun-bangun!" gerutu Ciara.

"Cieee ... calon istri kecilku khawatir!" goda Haidar.

"Gak usah ngomong yang gak jelas!" seru Ciara.

Ciara bukan perempuan ramah meskipun sebenarnya hatinya begitu ramah. Tadinya panik, sekarang kepanikan itu hilang dan datang menjadi sebuah kejengkelan karena membahas pernikahan. Baginya, untuk sekarang belum saatnya membahas hal tersebut, waktu dan keadaannya sangat tidak tepat.

"Penyebab kecelakaan sampai kaki Om operasi ini juga gara-gara kamu! Jadi har---"

"Iya-iya ... harus tanggung jawab, gara-gara Cia yang nyelonong minta cepat pulang, padahal Om masih mau periksa. Janji deh sampai Om pulih akan Cia rawat," sahutnya.

"Harus nikah dulu dong untuk merawat, kalau menolak berarti kewarasan kamu diragukan, hahaha ...!" kata Haidar dengan tawa.

"Sudi amat!"

"Dokter! Tolong periksa lagi calon istri kecilku ini! Apa kecelakaan ini membuatnya gila?" teriak Haidar.

"Suud! Diam! Apa-apaan, sih? Om tuh yang gila! Awas aja kalau Cia udah sembuh, aku ulek lebih dari tempe penyet!"

"Hahaha, santai dong. Apa kamu nggak ingin hapus aja Om harus bisa bikin sate ayam yang lezat untuk syarat kamu mau nikah muda? Hapus aja ya, pulang dari rumah sakit kita langsung nikah. Duh, batas waktu udah mep---" ungkap Haidar hampir keceplosan.

"Waktu? Kenapa batas waktu? Syarat ya tetep syarat!" jawab Ciara.

"Nggak, keburu waktu Om umurnya jadi 31 maksudnya." Haidar menggigit bibirnya, untung ada ide muncul.

'Hhhhh! Alhamdulillah punya alasan. Asal kamu tahu Ci, kalau batas waktu habis, kita belum nikah, hancur sudah jabatanku sebagai CEO!' batin Haidar.

Baru juga sadar. Bukannya saling menyapa atas kerinduan sehat mereka, tetapi malah adu mulut. Haidar melanjutkan misi yang tersendat kecelakaan. Namun, dalam batinnya Ciara sangat lega, hal terburuk yang ada dalam pikiran Ciara tidak terjadi pada lelaki tersebut.

"Aduh! Jadi kebelet gini," ucap Haidar.

"Kebelet apa?" tanya Ciara.

"Membuang sesuatu yang seharusnya dikeluarkan, gak usah mikir aneh ... ini mau buang kotoran manusia," jawabnya.

"Siapa juga yang mikir aneh? Ngapain bilang-bilang, tinggal tarik gordennya kan, hhhh!" keluh Ciara.

Gadis tersebut lupa kalau Haidar masih perlu bantuan dalam urusan seperti itu. Kebiasaan, mereka ditinggal berdua di ruangan tersebut. Haidar merasa kesal, menurutnya Ciara benar-benar tidak peka dengan keadaan sekarang.

"Ciara! Harusnya kamu tuh bisa membedakan mana kantong darah dan mana jus buah bit meskipun warnanya terkesan sama!" Haidar meninggikan nada bicara.

"Maksudnya apa? Kok tiba-tiba ngegas. Eh, baru inget ... Om gak bisa sendiri, tapi kan Cia gak bisa bantuin. Coba Om telepon mama, ponsel Cia lowbat," ungkapnya.

"Sama, punya Om juga lowbat."

"Iya, Dok. Suami saya namanya Haidar, apa dia dipindah ke ruang sini? Mayat itu bukan mayat Haidar, kan!" Terdengar suara perempuan dengan campuran teriakan dan tangis dari luar ruang mereka.

"Apa ... suami? Maksud Om apa mengajak Cia nikah, sedangkan Om sudah beristri? Jawab!" bentak Ciara geram mendengar suara dari luar tersebut.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Laras_7779
Kan kan kan, jangan bikin kecewa Om!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status