Share

Tahu Banyak

Penulis: Reju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 17:35:46

Suara langkah sepatu bergema di koridor Arvanden Corp pagi itu. Semua karyawan menunduk ketika sosok tinggi berjas hitam lewat dengan langkah tenang namun tegas. Tatapan mata Nayel Arvanden cukup untuk membuat siapa pun diam dalam ketakutan. Di tangannya, tablet berisi laporan keuangan sempurna, seperti biasa.

Namun pagi itu, sesuatu sedikit bergeser dari rutinitasnya.

Begitu ia masuk ke ruang kerjanya di lantai lima puluh tujuh, sekretaris pribadinya, Mira, sudah menunggu di depan meja, membawa berkas yang belum ia minta. Wajah wanita itu terlihat tegang, tapi mencoba tersenyum.

“Selamat pagi, Tuan Arvanden. Saya menemukan dokumen yang... sepertinya penting.”

Nada suaranya hati-hati, tapi tangannya bergetar halus saat menyerahkan map berwarna abu-abu ke atas meja.

Nayel mengangkat alis sedikit. “Penting?”

“Saya tidak yakin, Tuan. Tapi... dokumen ini terselip di antara arsip kontrak merger bulan lalu. Saya pikir itu file lama.”

Nayel membuka map itu tanpa ekspresi. Tapi begitu matanya membaca lembar pertama, ketenangan yang biasanya ia pelihara dengan sempurna seketika retak.

Sebuah salinan kontrak pernikahan rahasia.

Lengkap dengan tanda tangan dirinya dan... Alaire Davina.

Untuk sepersekian detik, dunia di sekitarnya berhenti.

“Siapa yang membuka file ini?” tanyanya datar.

“Saya saya tidak tahu, Tuan. Saya menemukannya sudah terbuka di sistem lama. Mungkin staff arsip salah unggah dokumen.”

Nayel menatap Mira dalam-dalam, matanya dingin, menembus. “Dan kau membaca isinya?”

Mira menelan ludah. “Sedikit, Tuan. Saya hanya memastikan bahwa—”

“Sedikit pun sudah terlalu banyak,” potongnya tajam.

Keheningan membeku di antara mereka. Ruangan yang biasanya terasa megah kini seolah menyempit. Mira mencoba menahan diri untuk tidak mundur, tapi napasnya mulai tak beraturan. Ia tahu kesalahan sekecil ini bisa berakibat fatal terutama bila menyangkut rahasia pribadi sang CEO.

Akhirnya Nayel menutup map itu perlahan, suaranya datar tapi berisi ancaman halus. “Buang file ini. Hapus semua salinannya. Jika ada satu byte pun tersisa di sistem, aku akan tahu.”

Mira mengangguk cepat. “Baik, Tuan. Saya akan pastikan—”

“Dan mulai hari ini,” lanjut Nayel tanpa memberi kesempatan, “kau tidak lagi menangani arsip pribadiku. Aku akan menunjuk seseorang lain untuk itu.”

Nada suaranya tidak meninggi, tapi dingin yang keluar darinya jauh lebih mengerikan dari kemarahan mana pun.

“Pergi.”

Mira menunduk, lalu keluar dengan langkah cepat, hampir tersandung di ambang pintu. Begitu pintu menutup, Nayel memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. Ia jarang kehilangan kendali, tapi kali ini, rasa khawatir yang muncul bukan karena ketakutan rahasianya bocor melainkan karena bayangan wajah Alaire yang muncul di pikirannya.

Sore hari, Alaire duduk di perpustakaan kecil penthouse, menatap jendela besar dengan secangkir teh di tangan. Sejak pesta malam itu, ia dan Nayel hampir tidak berbicara lagi. Ciuman di depan publik menjadi berita utama di media ekonomi: “CEO Dingin Akhirnya Menikah Diam-diam?”

Ia tidak tahu bagaimana Nayel akan menghadapinya di kantor, tapi ia tahu pria itu tidak pernah membiarkan sesuatu berjalan tanpa kendali. Dan benar saja, malam itu, ia pulang lebih awal.

Begitu pintu lift terbuka, Alaire langsung tahu ada yang berbeda dari raut wajahnya. Dingin seperti biasa, tapi kali ini... ada kegelisahan yang samar.

“Kau membaca berita?” tanya Nayel datar.

Alaire menatapnya sekilas. “Sulit untuk tidak membaca, mengingat wajah kita terpampang di semua portal berita.”

“Aku sudah menanganinya.”

“Dengan cara apa? Menghapus semuanya?”

Nada sinis itu lolos tanpa bisa ia tahan.

Nayel menatapnya tajam. “Kalau aku bisa menghapus kebenaran, mungkin aku sudah melakukannya sejak lama.”

Hening. Kata-kata itu menggantung di udara seperti bilah tipis yang siap melukai siapa pun yang menyentuhnya.

Alaire meletakkan cangkirnya. “Apa ada sesuatu yang terjadi di kantor?”

Nayel tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, menimbang sesuatu.

“Sekretarisku tahu terlalu banyak,” katanya akhirnya. “Seseorang menemukan salinan kontrak kita di sistem arsip.”

Alaire menegang. “Jadi ada orang lain yang tahu?”

“Untuk saat ini, belum,” jawabnya singkat. “Tapi jika bocor ke media... permainan ini berakhir.”

“Permainan?” Alaire mengulang kata itu dengan getir. “Itu yang kau sebut tentang hidupku? Permainan?”

Tatapan Nayel menusuk. “Jangan mulai lagi.”

“Bagaimana aku bisa diam? Pernikahan ini sudah cukup salah. Sekarang rahasianya bocor, dan kau masih menyebutnya permainan?”

“Kalau kau tahu apa yang sedang kuhadapi, kau tidak akan bicara seperti itu.”

“Lalu jelaskan padaku, Nayel!” serunya, suaranya pecah. “Jelaskan kenapa kau menikahiku kalau semua ini hanya tentang dendam? Kenapa kau memenjarakanku di tempat ini tapi juga melindungiku seolah aku sesuatu yang berharga?”

Wajah Nayel mengeras, tapi matanya... menunduk sesaat, seolah kehilangan arah. “Karena aku tidak bisa memisahkan keduanya.”

Kata-kata itu pelan, tapi cukup untuk membuat Alaire terdiam. Ia tidak tahu apakah itu pengakuan, atau justru peringatan.

Nayel mendekat, menatapnya lekat-lekat. “Mulai besok, aku akan urus orang yang tahu tentang kontrak itu. Aku tidak ingin ada satu pun yang menyebut namamu lagi di kantor.”

“Dan kalau mereka tetap membicarakannya?”

Tatapannya menjadi dingin lagi. “Mereka tidak akan sempat.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat darah Alaire berdesir ngeri. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa jauh Nayel akan melangkah demi menjaga rahasia mereka tetap terkubur.

Malam itu, ketika Nayel menghilang ke ruang kerjanya, Alaire berdiri di depan jendela, menatap lampu-lampu kota yang gemerlap di bawah sana. Dunia luar terus berputar, sementara hidupnya berhenti di balik dinding kaca.

Ia tidak tahu siapa yang lebih berbahaya rahasia mereka, atau pria yang berusaha melindunginya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   The Echo Signal

    Langit di atas Zurich berwarna abu-abu kelam. Sebuah helikopter tanpa tanda terbang rendah di atas atap gedung tua yang ditinggalkan, hembusan anginnya memecah kabut pagi. Di dalam ruangan di bawahnya, Alaire duduk bersandar di tembok, napas berat, luka di bahu kirinya masih basah oleh darah. Hening. Hanya suara detak jam tua yang masih berjalan di pojok ruangan. Vira masuk membawa perban dan segelas air. Wajahnya letih, tapi matanya tetap tajam. “Kau seharusnya tidak bergerak dulu,” katanya pelan. Alaire menatap keluar jendela retak, ke arah menara komunikasi di kejauhan yang memancarkan cahaya aneh. “Dunia berubah, Vira. Aku bisa merasakannya.” Vira menatapnya ragu. “Kau bicara tentang sinyal itu lagi?” Alaire mengangguk pelan. “Semenjak Helix Dawn hancur, frekuensi aneh muncul di seluruh dunia. Tidak bisa dideteksi oleh radar biasa. Tapi aku tahu pola itu. Itu bukan sekadar noise.” Ia menatap layar kecil di depannya gelombang sinyal berirama, tapi membentuk pola detak jan

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   The Second Pulse

    Basel, Swiss. Udara dingin musim gugur menggigit kulit, menyelusup di sela mantel hitam yang membungkus tubuh Alaire. Kota tua itu tampak damai di permukaan — jalan-jalan berbatu, kafe dengan lampu kuning hangat, dan sungai Rhine yang memantulkan cahaya bintang tapi di bawah tanahnya, sesuatu yang jauh dari damai sedang berdenyut. “Aku masih tidak percaya kita ada di sini,” gumam Vira pelan sambil menatap layar tablet kecil di tangannya. “Koordinat dari file Nayel menunjuk ke area penelitian Elysion Biotech, tapi tidak ada catatan publik tentang fasilitas bawah tanah di sana.” Alaire menatap bangunan besar di ujung jalan: menara kaca dengan logo heliks perak di atasnya. “Karena itu bukan fasilitas publik,” jawabnya datar. “Itu laboratorium rahasia yang bahkan pemerintah tidak tahu.” Vira menelan ludah. “Jadi apa rencanamu?” Alaire menatap jam tangannya. “Kita masuk malam ini.” Pukul 01.13 dini hari. Langit Basel gelap total ketika dua bayangan bergerak cepat di antara lorong

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   Dawn Protocol

    Tiga hari setelah ledakan Arvanden, kota masih berbalut kabut dan abu. Media internasional menayangkan gambar reruntuhan gedung megah yang kini hanya tinggal rangka besi hangus. Nama Nayel Davina memenuhi setiap headline sebagian menyebutnya pahlawan, sebagian lagi mengutuknya sebagai dalang kehancuran. Di antara semua itu, hanya satu orang yang tahu kebenaran. Alaire. Ia duduk di kursi rumah sakit, menatap layar kecil di tangan rekaman terakhir dari kamera keamanan bawah tanah yang berhasil ia selamatkan. Dalam video itu, Nayel menatap kamera sambil berkata pelan, “Kalau kau menonton ini… berarti aku gagal kembali. Tapi aku tahu kau akan melanjutkan.” Suaranya tenang, tapi di matanya masih tersisa rasa takut bukan takut mati, tapi takut ia tak sempat menuntaskan apa yang telah dimulainya. Alaire menutup layar, air mata jatuh tanpa suara. Di meja di sebelahnya tergeletak flashdisk hitam dengan label tipis bertuliskan “A.DawnProtocol” — warisan terakhir Nayel. Ia memutar flas

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   Api Dalam Darah

    Suara tembakan menggema di lorong bawah tanah, memantul di dinding baja dan menelan seluruh udara di sekitar. Nayel terhuyung mundur, tubuhnya membentur panel logam, sementara darah hangat mulai merembes dari sisi bahunya. Namun tangannya tetap menekan keyboard, menyelesaikan proses terakhir. “Sudah terlambat, Vin,” desisnya. “Semuanya sudah terkirim.” Vin Arvanden berdiri beberapa meter di depannya, pistol masih berasap. Wajahnya tampak menegang, tapi mata itu dingin, nyaris kosong tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. “Kau pikir aku tidak siap untuk ini?” katanya pelan. “Aku yang menciptakan sistem itu, Nayel. Kau hanya memainkan permainan yang sudah kusiapkan.” Nayel tertawa kecil, getir. “Permainanmu baru saja berakhir.” Di layar di belakang mereka, data yang bocor terus mengalir laporan keuangan, rekaman percakapan, bahkan file rekayasa genetik rahasia yang menjadi inti proyek “Pulse”. Nama Vin Arvanden kini terpampang di setiap media dunia. Vin melangkah maju, pisto

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   Sebelum Terbakar

    Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan langit kelabu. Rumah tua itu kembali sunyi, seolah tahu malam ini bukan sekadar malam biasa, tapi malam terakhir sebelum segalanya berubah. Alaire duduk di tepi tempat tidur, mantel gelapnya masih basah di ujung. Sementara Nayel berdiri di dekat jendela, menatap kota jauh di bawah bukit. Lampu-lampu gedung Arvanden tampak seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Besok jam delapan konferensi dimulai,” ucapnya pelan. “Begitu data dari flashdisk Vira terkirim, semua media akan menerima salinannya secara otomatis. Vin tak akan sempat menutupi apa pun.” Alaire menatap punggungnya yang tegap tapi tampak tegang. “Dan kalau sistem mereka mendeteksi kirimanmu?” “Dia akan tahu aku masih hidup.” “Dan dia akan memburumu.” Nayel menoleh. Ada senyum samar di wajahnya bukan bahagia, tapi lelah. “Bukankah itu yang kita tunggu?” Alaire menggeleng pelan, matanya berkilat. “Aku tidak menunggumu mati, Nayel.” Kata-kata itu memecah udar

  • Istri Gelap Sang CEO Dingin   Dalam Bayang Balas Dendam

    Hujan turun deras sejak subuh. Air menetes dari atap rumah tua itu, memantul di jendela dan menciptakan bayangan buram di lantai. Alaire berdiri di dekat perapian yang dingin, membungkus tubuhnya dengan jaket tipis. Matanya menatap api kecil yang baru menyala cahayanya menari di wajah pucatnya, memantulkan kelelahan yang tak sempat ia sembunyikan. Sudah dua hari sejak mereka bersembunyi di rumah peninggalan Clara Davina. Dua hari tanpa kabar dari dunia luar. Ponsel mereka dibungkam. Kamera pengintai di sekitar properti dicabut satu per satu oleh Nayel. Rumah itu menjadi tempat terakhir yang tidak tersentuh oleh Arvanden Corp atau setidaknya, belum. Di meja kayu tua, bertebaran dokumen, foto, dan potongan berita lama. Nayel duduk di kursi, membolak-balik berkas dengan mata yang menatap tajam, seperti seseorang yang berusaha menafsirkan masa lalunya sendiri. Ia terlihat letih, tapi di balik kelelahan itu ada sesuatu yang lain: amarah yang dingin. Alaire mendekat perlahan. “Ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status