Share

3. Tersadar

“Tanganku kenapa jadi kecil?”

Yuna terheran, ia lantas lantas mengangkat kedua tangannya. Ukurannya yang berbeda dari terakhir kali ia ingat, membuatnya semakin bingung. Kemudian wanita itu meraba wajahnya lalu turun menuju perut. Pipinya tirus dan juga perutnya tak menggelambir karena timbunan lemak.

“Tubuhku kurus?” Yuna terus bergumam seraya membawa tubuhnya bangkit dari pembaringan.

Benar, tubuhnya berubah menjadi kurus seperti sebelum ia menikah. Wajah wanita itu tampak linglung, otaknya dipaksa untuk mengingat mundur kejadian yang mungkin ia lewatkan sebelumnya.

Mungkinkah, setelah perseteruannya dengan Ryan dan Vina, ia tak sadarkan diri lalu menjalani operasi pengangkatan lemak?

“Itu tidak mungkin!” Yuna menjawab dugaannya sendiri.

Tentu saja tak akan mungkin dilakukan pengangkatan lemak di saat dirinya sedang kritis. Lalu, bagaimana bisa ia berubah kurus dalam waktu singkat?

Wanita itu tiba-tiba menoleh pada Vina yang berada di samping ranjang rawatnya.

“Yuna, kamu tidak apa-apa?” tanya Vina hati-hati dengan tatapan cemas.

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu berada di sini ... mana Ryan?” Yuna mencecar curiga pada Vina.

Kedua bola mata Vina refleks membulat sempurna. Ia semakin menatap cemas dan bingung pada Yuna. Tampaknya ia pun sama bingungnya dengan Yuna.

“Ryan baru saja pulang. Aku memaksanya untuk pulang dulu dan menggantikannya menungguimu,” jelas Vina lembut, tetapi tatapan Yuna membuatnya cemas.

“Tunggu sebentar, aku panggilkan dokter! Sepertinya kamu syok karena baru saja sadar dari pingsan selama dua hari setelah pemakaman ayahmu,” ucap Vina seraya bergegas keluar dari ruangan tersebut dengan langkah terburu, juga wajah kesal.

“Pemakaman ayahku?” Yuna tersentak. Indera pendengarannya masih menangkap jelas ucapan Yuna, walaupun berkata dengan nada cepat. Wajah wanita itu semakin bertambah bingung. “Itu ‘kan lima tahun yang lalu?”

Indera penglihatan Yuna kembali mengedar pada bangsal tempatnya dirawat. Ada yang berbeda dengan ruangan tersebut, pikirnya. Tiba-tiba, fokus matanya langsung tertuju pada kalender dinding yang berada di samping pintu.

Masih dengan selang infus yang menempel di tangan, wanita itu langsung meraih kalender dinding di sana dan menatapnya sejelas mungkin.

“2019?” ucap Yuna terkejut, bahkan kedua bola matanya hampir terlepas dari tempatnya.

Wanita itu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling bangsal rawat untuk memastikan rasa bingungnya. Kemudian ia bergegas menuju jendela dan membukanya lebar.

Bangunan di luar sana tampak seperti berbeda.

Kedua bola mata wanita itu langsung membulat sempurna saat menangkap di ujung jalan raya, terlihat sebuah baliho besar. “Pemilihan presiden 2019,” ucap Yuna membaca kalimat besar di sana.

Tiba-tiba wajahnya merona. Ia refleks menutup mulutnya, mencoba mengartikan semua penglihatannya. Otaknya terus mencerna, sebelum menyimpulkan praduganya.

Yuna lantas menatap kertas informasi pasien yang menempel pada papan depan ranjang. Fokusnya langsung tertuju pada tanggal yang tertera, hanya untuk memastikan dugaannya.

Masih belum puas, ia pun menyalakan televisi dan membuka saluran berita. Saat semua bukti yang dilihatnya mengarah pada satu kesimpulan, wanita itu terpaku dengan wajah kosong. “Aku kembali ke masa lalu?”

Tak lama, wajah itu berubah menjadi girang. Jika ia kembali ke masa lalu, itu berarti ia mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hidupnya yang lalu, kan? “Benar, aku akan mengubah nasibku!”

Namun, untuk bisa mengubah kesialannya menjadi keberuntungan, Yuna terlebih dahulu harus mengingat semua rangkaian kejadian. Kemudian, rangkaian kejadian di masa depan–di kehidupannya yang penuh dengan ketidakberuntungan, terlintas seperti putaran film.

2019 … itu berarti tahun di mana ia berusia 25 tahun, dan masih menjadi dokter spesialis rehabilitasi medik. Yuna terus mengingat kejadian di hari tersebut.

“Dan… aku belum menikah dengan Ryan,” ucap Yuna disusul senyuman lega.

Klek!

Suara pintu terbuka dan hampir membuat Yuna tersentak. Yuna yang tengah menatap jalanan itu langsung memutar tubuhnya menuju arah pintu. Tangannya refleks mengepal keras saat menangkap wajah Vina.

Wajah wanita itu tampak lugu dan menatapnya cemas. ‘Sayangnya itu adalah tatapan munafik,’ batin Yuna. Cepat-cepat, ia menoleh pada lelaki yang datang bersama Vina.

“Dokter Hendra!” panggil Yuna yang masih mengenali lelaki yang memakai jas putih tersebut.

“Sepertinya kamu sudah pulih, Yuna,” ucap dokter tersebut ramah, lalu memberikan senyuman santun.

Yuna pun membalas senyuman dokter tersebut. Kemudian dokter Hendra memintanya untuk kembali ke atas ranjang guna memastikan keadaan dirinya.

“Aku baik-baik saja ‘kan, Dok?” tanya Yuna langsung, setelah dokter Hendra selesai memeriksa seluruh tubuhnya.

“Iya, kamu memang baik-baik saja. Tapi, tetap jaga kesehatanmu! Apalagi kamu pingsan selama dua hari,” jawab dokter Hendra ramah, kemudian ia menepuk pundak Yuna lembut. “Aku turut berduka atas kehilangan ayahmu, Yuna. Aku harap kamu juga memperhatikan kesehatanmu! Ayahmu pasti akan sedih jika tahu kamu sampai seperti ini,” sambung dokter Hendra.

Yuna langsung tertegun. Ia lupa, jika saat ini dirinya tengah berduka dan hampir tak memiliki semangat hidup.

Air mata Yuna menetes tanpa diundang, merasa bersalah karena melupakan tentang ayahnya. Namun, cepat-cepat ia menghapus air mata itu lalu tersenyum pada dokter yang tak lain adalah seniornya. “Terima kasih, Dokter Hendra.”

“Nah, gitu dong, Yuna! Kamu juga jangan lupa, ada aku yang akan selalu ada untukmu,” ucap Vina dari balik tubuh dokter Hendra.

Kemudian wanita itu menghampirinya dan membelai lembut tangannya. Hampir saja Yuna memekik kesal, tetapi ia harus tenang. Saat ini, Vina belum menunjukkan kebusukannya.

“Dokter Hendra, aku boleh pulang ‘kan?” tanya Yuna mencoba mengalihkan perhatian Vina. “Aku bosan, ingin istirahat di rumah saja.”

“Tenang saja, Dokter Hendra! Aku akan menjaga dan memastikan Yuna menjaga kesehatannya,” seru Vina mendukung ucapan Yuna.

Yuna tersentak. Ingin rasanya ia menentang ucapan Vina dan mengatakan dirinya tak butuh perhatian darinya. Akan tetapi, tatapan dokter Hendra tampaknya lebih percaya dengan ucapan Vina.

Ya, Yuna tak boleh melupakan kejadian tersebut. Akan terlalu mencurigakan jika sikapnya tiba-tiba berubah.

Bukankah saat itu semua orang tahu kalau Yuna Azalea dan Vina sahabat dekat yang tak terpisahkan. Mau tak mau dia harus bisa menahan dirinya, lalu perlahan menjaga jarak dengan wanita itu dan juga Ryan.

‘Tunggu saja! Setelah ini aku akan membongkar kebusukan kalian berdua.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status