Yuna Azalea benar-benar bersyukur bisa kembali ke kehidupan sekarang. Walaupun dengan perasaan sakit hati, tetapi ia yakin bisa mengubah masa depannya. Setelah pulang rumah sakit dan berhasil mengusir Vina, ia mengurung diri di dalam kamar.
Di depan meja belajarnya, ia membuat rangkaian catatan urutan kejadian hingga momentum apa saja yang harus dihindari agar dirinya tidak terjebak lagi dalam pernikahan dengan Ryan dan persahabatan munafik bersama Vina.
Akan tetapi saat catatannya belum usai, ia kembali ingat jika saat ini ia masih berduka setelah kehilangan ayahnya. “Maafkan aku, Ayah.”
Ia menangis, tetapi kali ini Yuna merasa bersalah sebab tidak merasakan kehilangan mendalam seperti pertama kalinya ia kehilangan sang ayah. Namun, ia yakin … ayahnya pasti mengerti. Dan jikalau ayahnya bisa melihat dari langit sana, Yuna jamin … ayahnya akan tersenyum bangga dengan pilihannya.Dulu, Yuna begitu sembrono dan mudah percaya hanya modal cinta palsu Ryan, hingga ia kehilangan seluruh peninggalan dari ayahnya. “Kali ini Yuna janji, Yuna akan jaga peninggalan Ayah! Nggak ada seorang pun yang bisa merebutnya lagi seperti dulu, Yah.”
Kemudian gadis itu menghapus air matanya seraya mengukir senyuman.
Tiba-tiba, terdengar sebuah ketukan pintu dan disusul suara panggilan dari luar kamarnya.
“Yuna, kamu di dalam?” Yuna panik, itu adalah suaranya Ryan.
‘Ngapain dia ke sini malam-malam gini,’ batinnya sedikit kesal.
Namun, seketika ia ingat. Saat itu, lelaki itulah yang selalu menemani dan menghiburnya. Hal itu jugalah yang membuat Yuna tersentuh hingga akhirnya melabuhkan cinta dan menyerahkan hidupnya pada Ryan.
Cepat-cepat, ia merapikan meja belajarnya dan menyembunyikan buku catatan tadi. Kemudian ia langsung berlari dalam keadaan berjinjit menuju ranjang tidurnya dan memasukkan kakinya ke dalam selimut. Ia akan pura-pura tertidur pulas.
Sesuai dugaan Yuna, Ryan masuk ke kamarnya setelah tidak mendapatkan sahutan apa pun darinya. Alasan yang selalu lelaki itu gunakan adalah mencemaskan keadaannya.
Dulu ia akan tersentuh dengan perhatian kecil seperti itu, tapi … bisa dipastikan kali ini tidak akan lagi.
“Ternyata kamu sudah tidur ... syukurlah.” Ryan terus berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Yuna. “Aku sangat mencemaskanmu. Sampai-sampai, setelah lembur pun aku belain ke sini untuk lihat kamu.”
Lelaki itu mengusap lembut rambut panjangnya Yuna. Kemudian ia mendekatkan bibirnya pada kening wanita yang tengah pura-pura tertidur itu. Tentu saja gadis itu menyadari tindakan Ryan, walaupun dalam keadaan terpejam.
Aroma napasnya tercium tajam. Yuna panik, tak sudi disentuh oleh lelaki berengsek itu. Otak dan akalnya kemudian bekerja keras untuk menjauhkan tubuh lelaki itu darinya.
“Eum ....” Yuna bergumam tak jelas seraya pura-pura menggeliat dan merentangkan kedua tangannya sebelum membalikkan tubuh.
Bahkan ia sengaja mendorong tubuh Ryan saat merentangkan tangannya tadi. Karena tidak menyadari gerakan tersebut, tubuh lelaki itu mundur beberapa langkah hingga menabrak rak buku yang ada di belakangnya.
Bunyi benturan tubuh Ryan, disusul buku-buku yang terjatuh dan mengenai kepala lelaki itu terdengar cukup keras. Saat itulah, Yuna membuka matanya.
“Ryan?!” Gadis itu terkejut berujar panik seraya menutupi mulutnya dengan kedua tangan.
Yuna tentu saja berpura-pura. Di balik tangannya yang menutupi mulut, bibirnya tersenyum puas. Melihat lelaki itu kesakitan, membuatnya senang.
Cepat-cepat ia turun dari ranjangnya dan menghampiri lelaki itu. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa terjatuh dan tertimpa buku bacaanku?”
“Ah, a—aku tadi hanya sedang melihat keadaanmu. Kamu sudah tidur, lalu tiba-tiba kamu menggeliat dan mendorongku hingga terjatuh,” jawab Ryan terdengar gugup.
“Benarkah aku yang melakukannya?” Yuna pura-pura terkejut lagi, lalu memasang wajah bersalah. “Maafkan aku, Ryan. Sepertinya aku tidak sadar karena baru tertidur pulas.” Tentunya ia hanya pura-pura.
Alih-alih marah, Ryan langsung membalasnya dengan senyuman bijak. Ia bahkan membelai wajah gadis di hadapannya, membuat Yuna merasa jijik. Akan tetapi, ia harus bisa menahannya.
“Jangan pedulikan aku! Aku senang kamu sekarang terlihat baik-baik saja, Yuna,” ucap Ryan terdengar tulus. “Sebaiknya kamu lanjutkan tidurmu. Biarkan aku yang membereskan rak buku itu,” imbuhnya seraya membawa tubuh gadis itu bangkit.
“Tapi, sepertinya kamu kelelahan, Ryan. Kamu juga baru pulang kerja, ‘kan?” Yuna mempertahankan wajah bersalahnya.
Ryan kembali mengukir senyuman tulus. “Tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja, aku sudah seneng,” sahutnya seraya membelai lembut pipi gadis itu dan menatapnya penuh cinta.
Dahulu, hati Yuna akan luluh lantak dengan perlakuan seperti ini. Ia akan merasa begitu tersanjung karena merasa Ryan begitu mencintainya hingga menjadikan dirinya sebagai prioritas.
Namun, kali ini hatinya mengumpat jijik, sebab ia sudah tahu perlakuan lelaki itu padanya hanyalah kedok palsu.
“Terima kasih, Ryan,” ucap Yuna memasang wajah terharu.
Ya, ia harus pandai berpura-pura sebelum menghindari lelaki itu. Ia tahu betul, Ryan adalah lelaki yang pantang menyerah. Semakin ia menghindar, lelaki itu akan semakin merasa tertantang dan terus mengejarnya. Tentunya, itu akan menyulitkannya jika sampai ia gegabah mengambil sikap.
“Tidur yang nyenyak dan mimpi indah, ya!” ucap Ryan hangat seraya membawa tubuh Yuna berbaring dan menutupinya dengan selimut hingga sebatas dada.
Yuna hanya mengangguk dan tersenyum. Tiba-tiba lelaki itu mendekatkan bibirnya pada kening Yuna. Sontak saja gadis cantik itu refleks menghindar.
“A—aku belum mandi,” seru Yuna langsung menyadari bibir lelaki itu meleset dari keningnya.
Wajah Ryan sedikit melongo. Ada garis kekesalan pada wajahnya. Lelaki itu memiliki sifat posesif dan tak suka dibantah.
Melihat hal itu, cepat-cepat Yuna memasang wajah menyesal dan sedih. “Maaf, Ryan. Aku tak bermaksud untuk—“
“Tidak apa-apa, Sayang. Kamu pasti masih bersedih, belum lagi kondisi tubuhmu pasti masih lemas.”
Lelaki itu lantas merapikan bantal di samping kepala Yuna, lalu menepuknya lembut. Isyarat agar Yuna berpindah pada bantal tersebut. Gadis itu tersenyum canggung, tetapi memilih menurut.
‘Biasanya Ryan akan merajuk dengan hal-hal sepele seperti ini,’ batin Yuna bingung.
Ya, dahulu Yuna pernah pura-pura merajuk dan menolak ciuman Ryan. Lelaki itu balik merajuk, hingga akhirnya Yuna lah yang membujuknya.Sangat berbeda dengan sikap lelaki itu kali ini.
“Tidurlah. Jangan takut, aku akan selalu ada di sisimu dan menjagamu, selamanya.” Ryan seolah menegaskan kalimat terakhirnya hingga membuat wajah Yuna tertegun sebentar.
Ia seolah tersadar. Kalimat manis itu seperti jerat belenggu untuknya yang saat itu membuatnya terlena.
Ryan memang menjaganya selamanya, tetapi hanya sampai pada saat lelaki itu mendapatkan seluruh yang diingainkan. Sebelum akhirnya menjelma menjadi malaikat maut untuknya.
“Terima kasih, Ryan,” sahut Yuna cepat menyadari lelaki itu menunggu jawabannya.
Kemudian Ryan langsung berbalik setelah gadis itu memejamkan kedua bola matanya. Yuna mengintip sebentar dan memperhatikan punggung Ryan yang tengah merapikan buku-buku miliknya dengan sangat hati-hati.
‘Setelah ini, aku tidak akan mau bersikap baik denganmu, Ryan.’
Tak ada lagi halangan menuju hari pernikahan Jason dan Yuna. Semuanya terencana dengan baik. Vincent Wang dan ayahnya serta beberapa investor Hongkong bahkan menyempatkan diri untuk menghadiri pernikahan Jason dan Yuna. Persidangan kasus Arka, Elsa, Teguh—mantan suaminya Elsa dan Tamara, sudah mendekati akhir. Akan tetapi, sudah dipastikan mereka mendapatkan hukuman setimpal. Bukan itu saja, beberapa petugas yang dulu terlibat dan terbukti membantu mereka, sudah mendapatkan hukumannya. Damian, pengacaranya Jason dan Adam memastikan semuanya mendapatkan hukuman. Hingga malam di hari pernikahan tiba, Yuna kembali ke kediamannya dan berbincang bersama pamannya. Ia akan semakin merindukan Dimas, padahal selama ini Yuna jarang berada di rumah. Bahkan Yuna tak malu menggelayut manja pada pamannya yang sudah dianggapnya seperti pengganti ayahnya. “Apa kamu tidak malu terus menggelayut seperti anak kecil?” celetuk Dimas seraya melirik wajah Yuna yang bersandar di bahunya, tetapi ia tersenyu
“Ada apa, Adam? Ada masalah?” tanya Jason setelah berada di samping sahabatnya.Adam hanya tersenyum tipis, enggan menjawab. Kemudian ia memutar tubuhnya menatap gedung megah di sana, lalu mengedarkan pandangannya mencari seseorang. “Sudah selesai? Di mana dokter Yuna?” tanyanya seraya menatap pada Jason.“Yuna menunggu di kafe itu.” Jason menunjuk bangunan kafe di samping gedung.“Memangnya ada yang belum selesai dengan persiapan gedungnya?” tanya Adam dengan raut wajah bingung.Jason menghela napas berat. Ia tahu Adam hanya berusaha menghindari pertanyaan darinya. Ya, sahabatnya itu sedikit tertutup untuk masalah pribadi jika dirinya tak mendesak atau mencari tahu sendiri masalah yang sedang dihadapi Adam.“Ya, memang ada yang belum selesai ... kamu, Adam,” sahut Jason seraya berpindah duduk pada bangku di samping taman bunga, tepi mobilnya terparkir.“Aku? Memangnya ada apa denganku?” tunjuk Adam pada dirinya. Ia semakin memasang wajah bingung.Pria tampan itu tak segera menjawab.
Informasi yang diberikan Rina begitu mengejutkan. Racun arsenik itu berasal dari kelompoknya Teguh Gunawan–mantan suaminya Elsa. Bahkan informasi yang diberikan Rina di luar dugaan yang lainnya.Perawat cantik itu bahkan menemukan tempat persembunyian kelompok mafianya Teguh. Tak menyangga wanita yang terlihat lugu, ternyata memiliki kontribusi besar. Yuna bahkan bangga menjadi sahabat baiknya.Jason langsung bertindak cepat. Akan tetapi, ia memastikan pihak kepolisian yang menangani kasus tersebut benar-benar bersih. Tentu saja selama ini dirinya dan Adam dibantu Rocky menyelidiki para polisi yang bekerja untuk Elsa. Serta para mafia polisi yang tunduk pada kelompoknya Teguh sudah pasti tak bisa berkutik.Damian Alexander, pengacaranya Jason dengan senang hati mengurus semua mafia polisi tersebut. Apa lagi semua bukti yang Jason kumpulkan sangatlah kuat. Bukti tambahan ponselnya Vina, serta bukti penyelidikan Brian yang menunjukkan jelas jika kecelakaan Jason disengaja dan pelakunya
“E–elsa? Papa yakin?” tanya Jason terbata dengan tatapan tak percaya.Brian mengangguk lemah dalam posisi tidurnya. Jason terdiam syok, hingga tubuhnya tampak mematung. Bahkan ia tampak seperti orang linglung menatap wajah papanya.Bukan karena Jason tak percaya pelakunya adalah Elsa, tetapi ia mencemaskan keadaan Brian. Justru karena ia memperkirakan pelakunya adalah Elsa ataupun Arka. Jujur saja ia ingin mencecar papanya, tetapi Yuna sudah menarik kedua bahunya menjauh dari tubuh Brian.“Cukup, Jason! Kita masih punya banyak waktu.” Yuna memberi nasehat.Tepat saat Jason mengangguk pasrah, pintu ruangan tersebut ada yang mengetuk. Tak lama langsung terbuka. Dokter Rudi datang dengan Rina, sahabat baiknya Yuna sekaligus satu-satunya perawat yang mengetahui keadaan Brian.“Kita beri ruang agar Dokter Rudi memeriksa keadaan papamu!” ucap Yuna seraya membawa tubuh Jason menjauh dari ranjang brankar Brian.Dokter cantik itu lantas mengangguk pada dokter Rudi, isyarat agar dia segera meme
“Mungkin saya punya informasi yang membantu untuk Tuan Jason.” Rocky berkata setelah memastikan fokus mereka selesai dengan informasi tentang Vina. Sontak saja, Jason, Yuna dan Adam menoleh padanya. Ketiganya menunggu penjelasannya dengan wajah sigap. Rocky mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku dalam jasnya, lalu menjajarkan di atas meja yang menjadi pembatas mereka. “Sebenarnya tadi itu aku dan anak buahku sedang meninjau tempat Tuan Jason kecelakaan setelah menemukan beberapa bukti, lalu Tuan memberitahu kalau Adam sedang dalam bahaya di jalur tersebut ... itulah sebabnya kami datang lebih cepat,” jelas Rocky terdengar melegakan. Adam tersenyum lega. Semua ini memang bukan kebetulan, tetapi hal tersebut berkat kesigapan Jason. Rocky lantas melanjutkan penjelasannya. “Saya berhasil menemukan keberadaan keluarga dari supir truk yang menjadi tersangka penabrakan Tuan Jason. Lalu beberapa bukti jika kecelakaan tersebut sudah direkayasa,” jelas Rocky seraya menunjuk beberapa fo
Adam pantas untuk merasa tenang dan tak perlu panik. Bantuan dari Rocky—anak buahnya Jason datang lebih cepat. Tentu saja Adam tahu kehadiran mereka dari cara mereka memberi sinyal. Dua mobil dari belakang langsung menyalip kendaraan yang sedari tadi diduga orang yang hendak mencelakainya serta menggiringnya menuju arah jalan tempat Jason kecelakaan. Sementara dua mobil lainnya mengamankan kendaraan yang mengikuti Adam.Kini dua mobil itu mengawalnya hingga Adam memilih kembali ke rumah sakit. Jason langsung menyambutnya dan memeluk sebentar lalu ia berpindah pada anak buahnya yang berada di belakang Adam. “Terima kasih, kalian memang selalu bisa diandalkan,” ucapnya pada mereka.“Sama-sama, Tuan Jason. Ini adalah tugas kami,” sahut lelaki yang berada di paling kiri. Jumlah mereka enam orang dan semuanya berpakaian formal.“Ah, Tuan. Saya baru saja menerima pesan dari anak buahku yang kutugaskan mencari keberadaan—“ ucap lelaki tadi terhenti. Jason menempelkan jari telunjuknya di dep
“Apa?” Jason terkejut dengan ucapan Adam dari balik telepon. Wajah pria tampan itu langsung berubah pucat dan cemas, serta panik. Ia bahkan refleks berdiri dan mengacak rambut belakangnya, frutasi. Yuna yang berada di sampingnya pun ikut bangkit merasakan kecemasan Jason. “Apa yang terjadi, Jason?” tanya Yuna panik. Jason hanya memberi isyarat untuk tenang dengan mengangkat tangan kanannya. Ia lantas fokus pada ponselnya. “Dengarkan aku, Adam! Tetap tenang dan jangan putuskan sambungan teleponnya! Terus beri laporan padaku kondisi terkinimu, mengerti!” perintahnya. “Baik, Jason. Tolong bantu aku secepatnya,” sahut Adam terdengar panik. “Tentu, aku pasti akan membantumu dan tak akan tinggal diam,” balas Jason cepat. “Aku akan meminta Rocky untuk mengirimkan anak buahnya dan secepatnya menjemputmu,” pungkasnya menenangkan. Terdengar jelas suara Adam mengatur napasnya dari balik telepon. Tentu saja, Jason dapat merasakan bagaimana cemasnya Adam, dirinya sudah pernah mengalami hal te
“Sepertinya habis batre. Aku selalu lupa charger ponsel dan biasanya diisi daya jika sedang dalam perjalanan di mobil,” ucap Adam diakhiri senyuman canggung.“Bisa tolong buka laci dasbor di hadapanmu? Aku menyimpan alat pengisi dayanya di sana.” Adam menunjuk laci di hadapan Tamara.Wajah wanita cantik itu yang semula tegang kini tampak terlihat lega. Ia bahkan segera menuruti permintaan Adam, mengeluarkan alat mengisi daya ponselnya. “Berikan ponselmu padaku! Biarkan aku yang memasangkannya,” ujarnya.Adam mengangguk dan memberikan ponselnya pada Tamara. Wanita itu tampak cekatan dan memang sudah terbiasa melakukannya. Tanpa disadari Adam masih meliriknya curiga.Tentu saja yang dilakukan Adam tadi hanyalah pura-pura. Ia bukanlah pria bodoh seperti yang dikatakan Jason. Adam lebih mengandalkan intuisi dan nalurinya dalam berbisnis.Ya, pria tampan itu memiliki pemikiran yang sama dengan Jason. Tak ada sesuatu hal di dunia ini yang kebetulan, pemikiran mereka. Mungkin karena mereka s
“Aku akan mencoba menghubungi Adam. Saat ini dia sedang bersama dengan Tamara “ Jason berkata dengan tatapan cemas seraya menggulir beberapa kali layar ponselnya.Yuna hanya mengangguk. Wajahnya pun tak kalah cemas dengan lelakinya. Ia lantas menoleh ke arah ujung lorong tempat pria mencurigakan tadi menghilang.Tampaknya mereka lebih waspada atau sadar jika keberadaannya sudah diketahui. Yuna lantas menatap Jason yang tiba-tiba tersentak dengan kedua bola mata melotot. “Ada apa, Jason?” tanya Yuna langsung.“Adam menolak panggilanku,” sahut Jason langsung. “Akan kucoba lagi,” ujarnya seraya mengulang panggilan teleponnya.“Mungkin Adam tak sengaja menggeser ke tolak.” Yuna mencoba menenangkan.Jason mengangguk. Namun, ia kembali tersentak. Ponsel Adam tak bisa dihubungi. Pria tampan itu masih penasaran dan mencobanya sekali lagi.“Adam mematikan ponselnya,” tebak Jason disusul helaan napas berat. “Sepertinya Tamara sedang bersamanya,” tambahnya seraya memijat ujung alisnya.“Bagaiman