Share

5. Rencana Baru

“Ah, aku kesiangan!”

Bunyi alarm jam dari ponsel Yuna berbunyi. Gadis itu membuka matanya dengan panik. Setelahnya, ia langsung bergegas menuju kamar mandi.

Untunglah Ryan sudah pulang. Dulu, lelaki itu menemaninya siang dan malam selagi ia masih bersedih. Ia bahkan disuapi bubur yang lelaki itu buat sendiri.

Ya, kulit yang ditampilkannya memang benar-benar mulus hingga berhasil mengelabui Yuna. Hati gadis mana yang tak akan luluh dengan perhatian seperti itu.

Setelah selesai dengan mandi pagi, juga memoles wajahnya dengan make up tipis, Yuna bercermin sebentar untuk melihat penampilannya. Ia tersenyum penuh percaya diri.

Hari ini adalah awal perubahan hidupnya dimulai.

“Let’s go, Yuna Azalea!” teriaknya penuh semangat.

Yuna langsung menyambar tas tangannya dan memasukkan ponselnya, lalu bergegas keluar. Langkahnya cepat, tetapi hati-hati saat menuruni tangga. Ia tak sabar untuk menjalani harinya menjadi dokter kembali.

“Yuna!” Panggilan suara menghentikan langkah kakinya.

Gadis itu tertegun dan menoleh ke arah sumber suara. Kedua bola matanya berbinar menyadari pemilik suara, seorang lelaki yang berdiri di depan meja pantry dapur.

Cepat-cepat gadis itu berlari dan memeluk lelaki itu. “Paman Dimas,” ucap Yuna terharu.

Lelaki paruh baya bernama Dimas itu sedikit terkejut, tetapi ia membalas pelukan Yuna yang merupakan keponakan satu-satunya.

Yuna hampir melupakan lelaki itu. Pamannya yang sangat perhatian dan menyayanginya, pengganti Damar—ayahnya setelah meninggal.

Di kehidupannya yang lalu, lelaki itu difitnah oleh ibu mertuanya. Ia dituduh menggelapkan keuangan rumah makan Damar yang Yuna percayakan pengurusannya pada Dimas usai ayahnya meninggal.

Bodohnya, saat itu Yuna percaya ucapan mertuanya. Itulah sebabnya ia terharu dan merasa bersalah. Gadis itu berjanji akan mempercayai Dimas, apalagi lelaki itu adalah pengganti ayahnya.

“Sudah, sudah. Kamu harus bisa mengikhlaskan ayahmu, Yuna! Ayahmu pasti akan sedih kalau melihatmu terus bersedih,” ucap Dimas seraya melepaskan pelukannya.

“Maafkan aku, Paman kalau aku menyusahkanmu,” sahut Yuna seraya menghapus air matanya.

Dimas tersenyum simpul. “Kamu memang selalu menyusahkanku, tetapi aku tak pernah keberatan.” Pamannya lantas tertawa kecil.

Tentu saja Yuna ikut tertawa. Pamannya memang humoris. Kemudian gadis itu memilih langsung berpamitan saat Dimas menawarinya sarapan.

“Tunggu sebentar, aku bungkuskan roti ... kamu selalu melewatkan sarapan, padahal kamu seorang dokter sibuk,” ucap Dimas segera berlalu ke arah kabinet dapur. “Kamu bisa mengunyahnya sembari menyetir mobil ke rumah sakit!”

Yuna hanya mengangguk. Beruntungnya ia memiliki paman yang perhatian. Mungkin karena lelaki itu terpisah dengan anak-anaknya setelah bercerai, sehingga perhatiannya pada keponakan terasa seperti perhatian ayah pada anaknya.

Saat keduanya sama-sama melangkah ke depan pintu, gadis itu tersentak, lelaki yang paling ia hindari sudah muncul di depan rumahnya.

“R—ryan?” ucap Yuna gagap. “Sedang apa kamu di sini?”

Lagi-lagi Yuna lupa. Tentulah Ryan tengah menjalankan aksinya untuk bersikap perhatian, menjadi sosok kekasih idaman seperti dulu.

Ryan yang berada di hadapannya melongo menatap pakaiannya yang tampak rapi. “Kamu mau ke mana?” tanya Ryan curiga, tetapi ditutupinya dengan tatapan cemas.

“A—aku mau berangkat kerja. Bosan kalau terus di rumah.” Ryan hendak membuka mulutnya untuk melayangkan protes, tetapi Yuna langsung memotongnya. “Aku akan terus kepikiran ayahku jika terus berdiam di rumah. Setidaknya … kalau aku bekerja, aku bisa menghilangkan rasa sedihku.”

Bibir Ryan yang sudah akan menyahut itu kembali tertutup. Terlebih, kala Yuna memberikan tatapan memohonnya.

Ya, dengan cara inilah ia membujuk Ryan, memberikan tatapan permohonan. Lelaki itu lantas menatap Dimas yang masih berdiri di samping Yuna. Ada tatapan tak suka yang diarahkan pamannya pada Ryan.

“Biarkan Yuna menjalani hidupnya!” ujar Paman Dimas tegas, tetapi pandangannya langsung melembut saat lelaki itu membelai lembut rambut keponakannya. “Dia adalah gadis yang ceria dan penuh semangat. Jadi, biarkan Yuna menghibur hatinya dengan hal yang dia suka.”

Merasa didukung, Yuna tersenyum lega. “Terima kasih, Paman.”

Tergambar jelas garis kekesalan pada wajah Ryan, tetapi cepat-cepat lelaki itu memberikan senyuman tipis. “Kalau begitu aku biar aku yang anter, ya! Aku juga sudah bawakan sarapan untukmu.”

“Maaf, Ryan. Paman Dimas sudah membawakanku bekal dan ...,” ucap Yuna terhenti. Gadis cantik itu menatap jam tangannya. “..., sepertinya aku sudah terlambat.”

Tanpa menunggu jawaban dari kedua lelaki tersebut, Yuna langsung bergegas menuju garasi mobilnya. Dimas tak tinggal diam, lelaki itu berjalan menuju gerbang depan untuk membukanya lebar-lebar.

Sementara Ryan tengah berusaha menahan kekesalannya. “Kenapa aku merasa Yuna seperti gadis yang berbeda. Biasanya dia akan girang jika kuantar kerja, apalagi ketika kubawakan makanan,” geramnya.

Yuna menoleh sebentar pada Ryan yang masih mematung di depan pintu rumahnya. Gadis itu tersenyum lega bisa terhindar dari Ryan. Kemudian ia langsung bergegas memasuki mobil dan meninggalkan rumah.

Gadis itu menancap gas secepatnya sebelum Ryan kembali mendekat. Setelah yakin lelaki itu tak mengejarnya, Yuna langsung mengikuti saran pamannya–mengunyah bekalnya sembari menyetir.

Dimas benar, ia butuh tenaga sebelum memulai tugasnya menjadi seorang dokter dan juga memulihkan rasa was-wasnya setelah berhadapan dengan (mantan) suami pengkhianatnya.

Tak membutuhkan waktu lama, gadis itu sudah tiba di parkiran rumah sakit dan bekalnya pun sudah habis. Yuna menatap wajahnya sebentar pada cermin, memastikan tak ada sisa makanan, kemudian keluar dan melangkah dengan penuh percaya diri.

dr. Yuna Azalea Sp.RM.

Papan nama itu tertera di pintu ruangannya. Yuna masuk dan langsung memakai jas kebanggaannya yang menggantung. Senyumnya begitu lebar, kerinduannya mengenakan jas putih ini begitu besar. Lama berhenti menjadi dokter kala ia menikah dengan Ryan, membuat Yuna begitu tak sabar menunggu pasien pertamanya hari ini.

Tak lama, pintu ruang kerjanya diketuk dan langsung terbuka. “Selamat pagi, Dokter Yuna,” sapa seseorang yang masuk itu dengan nada ramah.

“Selamat pagi, Rina,” balas Yuna santun dan semangat.

Rina, asisten perawatnya, memberikan map padanya. “Ini pasien VIP pertama, Dokter Yuna.”

“Terima kasih, Rina.”

Setelahnya, Rina langsung keluar dan Yuna langsung membuka berkas tersebut. Kedua bola mata gadis itu berbinar kala menatap identitas pasien pertamanya itu.

“Jason Abraham.” Tak lama kemudian, senyumnya mengembang. Lelaki itu adalah CEO yang menawari Yuna bekerja sebagai dokter pribadinya, tetapi … dulu ia menolak karena Ryan sudah lebih dulu melamarnya. “Bagaimana kalau kali ini aku menerima tawarannya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status