Share

Part 6

Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.

Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.

Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana selanjutnya untuk menghabiskan sorenya. Tangannya sudah merogoh ke dalam tas tangan yang menggantung di lengan kiri dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Arza dan membuat jadwal makan malam dengan pria itu. Namun, mobil hitam pekat yang berhenti tepat di depannya membuat Alea menyumpah dalam hati. Sekali lagi, ingatan ketika Alec menyelamatkan nyawanya dan mengganti pakaian basahnya kembali terngiang di kepala.

“Masuklah.” Wajah Alec melongok dari pintu mobil yang dibuka lebar-lebar di hadapan Alea. Menampilkan senyum terlalu ceria di wajah dan matanya yang dingin.

“Apa yang kaulakukan di sini?”  sinis Alea.

“Apa Arsen tidak memberitahumu? Aku akan menjemputmu di salon dan membawamu untuk makan malam bersama ibu tiriku?”

Alea ingat telah mengabaikan tiga panggilan tak terjawab di ponselnya dari Arsen beberapa saat setelah ia menyelesaikan perawatan kuku. Kenapa akhir-akhir ini kakaknya itu selalu membawa kabar buruk saat menghubungi ponselnya?

“Masuklah.” Alec menggeser tubuhnya ke pojokan menyediakan tempat untuk Alea ketika masuk.

“Aku bisa pulang sendiri,” tolak Alea. Memutar tumitnya untuk mengitari mobil Alec dan menuju pinggiran jalan mencari taxi. Namun, di langkah kedua Alea menghindar, seorang pria bersetelan gelap dan kacamata hitam menghadangnya. Saat menoleh ke belakang pun, Alea dihadang oleh wajah berbeda tapi penampilan yang sama dengan orang pertama. Memaksa langkah wanita itu hanya tertuju pada pintu mobil yang terbuka untuknya.

Alea masih berdiri lama dalam ancaman tanpa suara dari Alec melalui kedua pengawal pria itu. Ia tak bisa membayangkan, apa yang akan Alec lakukan di dalam sana. Pria itu tak henti-hentinya mengambil kesempatan dalam kesempitan terhadap dirinya tanpa melewatkan sedikit pun waktu ketika mereka bersama. Siapa yang tahu tindakan apa lagi yang menunggunya di dalam sana.

“Jika kau tidak punya niat merusak rencanaku, aku pun tidak punya niat apa pun, Alea. Kau bisa memegang janjiku.” Alec meyakinkan Alea dengan keraguan yang tampak jelas menghiasi wajah wanita itu. Dengan ketakutan yang sempat melintasi wajah Alea ketika wanita itu melihat wajahnya, sudah tentu Alea tahu apa saja yang telah ia lakukan terhadap wanita itu selama pingsan kemarin. Semalaman ia tak henti-hentinya mengingat adegan demi adengan dan tak sabar untuk bertemu Alea hari ini. Jika bukan karena pekerjaannya yang menumpuk dan beberapa situasi yang harus ia pahami lebih dalam lagi, mungkin ia akan menghabiskan hari ini dengan melakukan perawatan tubuh yang sama dengan yang dilakukan oleh Alea. Jika ada perawatan tubuh untuk pasangan calon pengantin seperti berendam bersama, tentu lebih baik dan Alec tak akan melewatkannya.

Itu adalah kalimat ancama, bukan kalimat menghibur yang ditujukan untuk menenangkan Alea dari kewaspadaan terhadap bahaya yang mengintai. Tanpa bantahan, Alea masuk dan mengambil tempat sejauh mungkin dari jangkauan Alec. Setidaknya di mobil ada sopir yang akan menjadi saksi kekurang ajaran Alec. Kecuali pria itu tak punya malu dan memaksakan kehendak terhadap dirinya di depan sopir pria itu sendiri. Dan memang pria itu tak punya rasa malu seperti yang Alea perkirakan. Saat mobil mulai memasuki jalanan, Alea tersentak kaget dengan tangan Alec yang tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan membawa tubuhnya ke pangkuan pria itu dalam gerakan ringan seolah tubuhnya hanyalah gumpalan kapas.

“Aa ... apa yang kaulakukan, Alec?” Alea meronta dan kedua telapak tangannya berusaha memisahkan tubuhnya dari Alec. Namun, satu tepisan tangan kanan Alec mampu menghentikan rontaan Alea hinggan wanita itu tak berkutip dalam dekapan dan pangkuan Alec. “Lepaskan!” Alea masih mencoba menunjukkan penolakannya lewat suara di saat tubuhnya lemah dan tanpa daya terhadap kekuatan Alec.

“Kau sangat harum.” Hidung Alea mengendus lengan atas Alea yang telanjang karena hari ini Alea tampak sangat seksi, anggun, dan bersinar dengan gaun berwarna emerald. Rambut Alea yang sedikit bergelombang bergerak begitu ringan saat kepala Alea bergoyang. Menguarkan aroma teh yang menenangkan. Bukan wangi khas Alea yang dikenali Alec, tapi wangi kali ini lebih menggoda dan menggelitik nuraninya untuk bertindak lebih dari sekedar endusan.

Kali ini Alea menyalahkan cuaca panas yang membuatnya memilih mengenakan dress tanpa lengan saat berangkat tadi pagi. “Hentikan, Alec! Atau aku akan berteriak?”

Kecupan Alec merambat dari bahu, leher, dan berhenti di telinga Alea lalu berbisik dengan nada menggoda bercampur desahan. “Kauingin berteriak?”

Bulu kuduk Alea meremang, tubuhnya gemetar dan napas panas Alec yang menerpa lehernya terasa membakar. Reaksi asing yang membuat Alea bergidik, menggapai akal sehat, Alea berusaha menyadarkan diri. Tahu Alec tak peduli jika ia berteriak sekalipun untuk menarik perhatian orang di sekitar mereka. Jalanan yang padat dan suara mesin mobil di sekitar pun akan meredam suara teriakannya. “Kumohon.” Alea menampilkan wajah memelas. Menundukkan kepala lebih dalam demi menjauhkan wajah Alec yang masih berkutat di sisi wajahnya dan berusaha memisahkan punggungnya yang menempel di dada Alec.

“Kita belum menikah. Aku ... aku merasa sangat tak nyaman dengan semua ini.” Kali ini permohonan Alea berubah menjadi cicitan.

Alec termangu dengan gemetar ketakutan dari tubuh di pangkuannya. Alec melepas cekalannya di tangan Alea dan menjatuhkannya ke samping.

“Apa kau belum pernah berkencan dengan seorang pria?” tanya Alec.

Alea membuang pandangannya. Satu-satunya pria yang ia cintai sekaligus ia kencani hanyalah Arza. Dan Arsen sudah berpesan bahwa hubungan macam apa pun di antara dirinya dan Arza jangan sampai diketahui oleh Alec atau Arza yang akan menjadi sasaran buruan Alec. Alec sudah menetapkan pilihan padanya sebagai ganti jabatan yang diberikan pada Arsen. Sangat tidak adil untuk Alea. Dan sedikit godaan untuk merusak rencana Arsen terasa sangat menggiurkan, tapi ia tahu ke mana arah kakacauan itulah yang membuatnya menahan diri.

Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah hidup sebagai pelacur –karena teman tidur rasanya terlalu halus dengan sikap kurang ajar yang sesuka pria itu lakukan padanya- Alec akan membuatnya baik-baik saja? Apakah hatinya akan baik-baik saja?

Alec terkekeh. Telunjuknya menyentuh dagu Alea dan membawa tatapan wanita itu kembali padanya. “Apa kau memang sepolos ini, Alea?”

Meski wajahnya menghadap wajah Alec, Alea tetap tak membuat kontak mata dengan pria itu. Takut Alec bisa membaca atau menafsirkan kebohongan di maniknya. Alea pun bergerak menarik tubuhnya turun dari pangkuan Alec dengan gerakan sehati-hati mungkin dan bersyukur pria itu tak mencegahnya meski tangan kiri pria itu masih menempel di pinggangnya.

“Baiklah, demi menghormati kepolosanmu, aku akan menahan tanganku untuk menjelajahi sudut-sudut tersembunyi tubuhmu. Tapi ...” Alec berhenti sejenak. Tangan kirinya yang berada di belakang punggung Alea kini terangkat menangkup dagu Alea dan mengusapkan ibu jarinya di sepanjang bibir Alea yang merah merekah. “Aku tak bisa berjanji untuk yang satu ini.”

Alea menelan ludah dan berharap gumpalan di tenggorokannya mereda, tapi ketegangan yang diciptakan Alec memiliki dampak lebih besar. Gumpalan di tenggorokannya semakin mengganjal dan menghentikan udara masuk ke dalam paru-parunya. Membuat Alea kesulitan bernapas.

“Bernapaslah, Alea. Kau tak perlu setegang itu.” Tawa Alec sedikit mencemooh. “Mulai sekarang, biasakan dirimu lebih rileks saat bersamaku. Meski kau sangat cantik jika berbentuk patung sekalipun, aku tak suka menjadikan benda mati sebagai wanitaku.”

Alea mengambil napas dalam-dalam tepat ketika Alec menurunkan tangan dari dagunya dan kontan tubuhnya pun beringsut ke pojokan hingga punggung menyentuh pintu mobil. “Kenapa?” Suara Alea bergetar hebat.

“Kenapa?” Alec sedikit memiringkan kepala dengan pertanyaan Alea yang mengandung ketidakjelasan.

“Kenapa kau memilihku sebagai istrimu?” Pertanyaan itu hampir menyembur menjadi sebuah makian jika Alea menaikkan sedikit saja nadanya. Dalam hati pun Alea tetap berharap bisa memaki jika dirinya tidak dikalahkan oleh ketakutan yang mendera hatinya begitu intens terhadap aura Alec. Entah, meski pria itu terlihat bersikap tenang dan terkadang memberinya ancaman-ancaman kecil yang memaksa Alea menuruti kata-kata pria itu. Alea tahu, aura gelap yang ia lihat dari Alec hanya sebagian kecil hal yang sengaja ditunjukkan pria itu.

“Bukankah Arsen sudah memberitahumu?”

“Kau bisa menolaknya jika tidak menyukaiku.”

“Sayangnya, pesonamu cukup menampar keangkuhanku dan membuatku tunduk memuji keindahan wajahmu.”

“Dengan wajahmu, kau bisa mendapatkan wanita mana pun yang kauinginkan dan menginginkanmu.” Alea menekan kata terakhirnya. Sekaligus menjelaskan pada Alec bahwa ia tidak termasuk salah satu deretan wanita yang menginginkan Alec. Meski hatinya harap-harap cemas Alec akan tersinggung dengan kalimatnya. Tetapi, sepertinya pria itu sama sekali tak terpengaruh. Alec malah terdiam, sedikit mengerutkan kening seolah berpikir. Dengan senyum ringan yang menghiasi kedua sudut bibirnya, sudah jelas bahwa pria itu tak peduli dengan penolakan Alea terhadap dirinya.

“Hmm, bagaimana jika kubilang bahwa aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama?”

Alea sudah sangat bosan dengan kalimat familiar yang selalu diucapkan pria-pria yang mencoba mendekatinya. “Saat melihat wajahku untuk pertama kalinya, kebanyakan pria akan mengatakan hal yang sama. Tetapi, tak sungguh-sungguh tahu apa yang mereka katakan. Dan aku sudah terbiasa memaklumi kekeliruan mereka.”

“Lalu, bagaimana jika kukatakan, bahwa semua ini bukan tentangmu Alea.”

Alea membeku. Mendadak aura gelap Alec menciptakan ketegangan yang begitu pekat di ruang tertutup itu.

“Semua ini adalah tentang diriku yang menginginkanmu. Aku tidak diperintah, akulah yang memerintah, Alea. Kenapa aku harus memikirkan cara menjelaskan padamu bagaimana seseorang harus menginginkanku? Bukankah kau yang seharusnya memikirkan cara itu untuk dirimu sendiri?”

Alea tahu ada saatnya ia bersuara ketika diberi kesempatan membuka mulut. Tetapi, sekarang adalah saatnya ia berhenti bersikap seperti anak kecil yang merongrong karena kebebasannya dikekang dan menahan diri dengan segala kerendahan hatinya untuk tak membantah sepatah kata pun kalimat Alec. Hanya itu pilihan yang ditetapkan oleh Alec.

“Dan ... di mana cincin yang kuberikan padamu?”

Dengan gugup, Alea membuka tas tangan yang ada di sampingnya dan mencari-cari benda logam tersebut di salah satu kantong. Arsen sudah memperingatkannya untuk selalu membawa benda itu ke mana pun meski tak harus memakaianya sebelum ia berangkat tadi pagi.

“Apa kau melepaskannya karena sesi perawatanmu tadi?”

Alea hanya terdiam. Menggelengkan kepala hanya akan membuat Alea semakin tersudut, meski ia tahu pasti Alec pasti membaca kebohongannya dengan mudah. Sejak awal ia tak mengenakan cincin itu dan berharap ia memiliki sedikit keberanian untuk menentang kesepakatan kakaknya dan Alec dengan membuang cincin itu ke tempat sampah.

Alec terkekeh. “Sedikit berbohong untuk menyenangkan hatiku tak akan membuatmu mati, Alea. Aku bahkan hampir mengira kau membuangnya dengan sengaja. Maafkan aku.”

Alea menghembuskan napasnya sepelan mungkin. Tak menolak saat Alec mengambil cincin itu dari tangannya dan menyisipkan benda mungil berkilau itu di jari manisnya. Pun menghadiahkan kecupan di punggung tangan Alea untuk mengakhiri sentuhan intim tersebut. Rasa jijik yang ditimbulkan pun tak berani Alea tunjukkan. Alec benar, pria itu tidak diperintah, tetapi yang memerintah. Posisi dan keadaan Alea saat ini tak mampu memungkinkan bagi wanita itu untuk menyangkal.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status