Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.
“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Alec untuk muncul tiba-tiba tanpa peringatan seperti saat ini. Ah, Alea lupa. Mungkin saja Alec menyewa seluruh butik hanya untuk mempersiapkan dirinya di acara makan malam dengan keluarga pria itu. Jika Arsen saja mampu melakukan hal semacam ini, Alec pun lebih dari sekedar mampu, bukan.
“Kau selalu terlihat cantik mengenakan pakaian apa pun.” Pandangan Alec begitu jeli menelusuri tubuh Alea dari atas hingga bawah. “Aku sedikit penasaran, apakah kau akan secantik ini juga saat tak mengenakan apa pun?”
Alea meremas belahan di samping kanan pahanya. Pujian Alec lebih mengarah ke sebuah pelecehan dan hatinya bergemuruh oleh rasa panas. Kemarahan yang bahkan tak mampu ia perlihatkan mengingat Alec lah penguasan tempat ini untuk sekarang.
“Tenanglah, Alea. Aku tak akan menelanjangimu di sini atau pun saat ini. Aku akan menepati kesepatakanku dengan Arsen dan menghormatimu sebagai seorang wanita. Aku hanya merasa sedikit menyesal menentukan hari pernikahan kita yang seharusnya bisa dilakukan lebih cepat.”
Alea bersyukur dan sedikit bisa bernapas dengan lega, satu-satunya hal yang menahan Alec untuk tidak berbuat mesum dan kurang ajar padanya adalah pernikahan mereka yang akan dilakukan minggu depan. Ia tak bisa membayangkan jika semua batasan itu tak ada dan Alec bebas melakukan apa pun padanya. Melecehkannya, memperkosanya. Alea tak mampu berpikir sejauh dan semengerikan itu.
“Cepatlah!” Alec mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Alea segera mendekat. “Mobil sudah menunggu.”
Alea pun melangkah mendekat dengan setiap langkah yang dipenuhi kewaspadaan. Hingga mereka duduk di bagian belakang mobil, sepanjang perjalanan, dan turun di restoran bintang lima yang tak asing baginya. Sedikit pun Alea tak berhenti bersikap waspada.
Seharusnya Alea tak terkejut melihat Arsen duduk di salah satu kursi di ruang pribadi yang ia dan Alec masuki. Kakaknya itu tengah sibuk berbincang dengan wanita paruh baya yang tak asing baginya. Rambut gelap yang lurus dan rapi tergerai membingkai wajah cantik dan terawat milik wanita itu. Alea langsung mengenali wanita itu sebagai ibu tiri yang dikatakan oleh Alec. Jean Cage.
“Kalian terlambat,” ucap Jean dengan senyuman ringan menyambut kedatangan Alec dan Alea.
Alec menarik satu kursi di samping Arsen dan mempersilahkan Alea duduk sambil menjawab, “Aku hanya berjanji akan datang. Bukan datang tepat waktu.”
Sedikit pun, Jean tak merasa tersinggung dengan jawaban dingin putra tirinya. Senyumnya semakin melebar ketika beralihke arah Alea dan menyapa, “Hai, Alea. Malam ini kau terlihat cantik sekali.”
Alea hanya mengangguk tak nyaman. Selama ini, sosok Jean Cage baginya hanyalah nama yang ia kenali sebagai nyonya besar keluarga Cage. Salah satu nama keluarga yang cukup besar dan sangat dikenal, dikagumi, dan dihormati oleh orang-orang di kalangan atas. Selain itu, Alea tak tahu lebih banyak dan sama sekali tak berniat mencari tahu. Apalagi mencoba lebih akrab dengan wanita yang mungkin akan menjadi mertuanya.
“Apa yang kalian obrolkan?” tanya Alec sambil duduk di satu-satunya kursi kosong yang terletak di samping Jean Cage dan Arsen.
“Arsen akan membuka cabang baru di Singapore. Kurasa inilah sebabnya ayahmu mempercayakan CGH padanya. Meskipun harus merelakan nama besar kita untuk mengangkat nama Mahendra, kupikir hanya orang sepertinyalah yang pantas jadi pimpinan MH.”
Alec berdecak sekali dan tersenyum tipis dengan pujian berlebih Jean Cage. Jean Cagelah satu-satunya orang yang menarik dirinya dari lubang persembunyian dan mendorong dirinya menduduki tahta milik ayahnya. Sekaligus merebut kembali MH dari genggaman Arsen karena merasa ayahnya telah menganaktirikan dirinya dengan posisi CEO yang diduduki oleh Arsen. Apa pun niat yang dimiliki Jean Cage, Alec tak peduli. Selama hal itu tidak mengganggu kehidupan pribadi atau mengusik dirinya. Alec pun sudah memastikan bahwa semua aset dan saham yang diwariskan padanya sama sekali tak ada yang mencurigakan. Pemberian ayahnya semasa hidup terhadap Jean Cage pun lebih dari cukup bagi wanita itu untuk hidup bermewah-mewahan hingga mati. Kecuali, jika Jean Cage mulai bersikap serakah dan menyentuh miliknya melewati batas tanpa tahu malu. Alec pun akan mulai memikirkan tindakan selanjutnya.
“Bolehkah aku sedikit khawatir kau akan menggerogoti Cage Group dengan rencana pernikahan ini, Arsen?” Pertanyaan Alec mendadak memudarkan senyum di wajah Jean dan Arsen. Alea pun yang merasa menjadi pion Arsen ikut terpaku akan pertanyaan Alec yang tanpa basa-basi menusuk tepat ke sasaran. Suasana mendadak diliputi kecanggungan selama beberapa saat.
“Aku tak pernah menyentuh apa yang bukan milikku, Cage. Aku sudah menyerahkan satu-satunya hal terpenting di hidupku padamu.” Arsen berhenti sejenak, tangannya menyentuh bahu Alea tanpa melepaskan tatapan matanya yang terpaku dengan manik Alec. “Tidakkah itu cukup menunjukkan ketulusanku untuk berteman denganmu?”
Alec mengedipkan mata. Menertawakan Arsen yang terlalu serius menanggapi candaannya.
Jean berdehem. Memecah ketegangan di antara Alec dan Arsen serta kecanggungan Alea. “Sepertinya ini pembicaraan yang cukup berat untuk acara makan malam keluarga. Setelah menunggu kalian berdua, sebaiknya kita tak melewatkan makan malam sebelum kembali pulang, kan?” Jean mengangkat satu tangan kanan memanggil dua pelayan yang menunggu instruksi darinya di depan pintu. Kedua pelayan itu bergegas mendekat, salah satu meletakkan menu di tangannya ke masing-masing kursi sedangkan yang lain bersiap mencatat pesanan.
Makan malam itu berlangsung tenang, sedikit menyinggung persiapan pernikahan yang sudah tertangani lima puluh persen dan diperkirakan akan secepatnya selesai. Penanganan yang mengejutkan bagi Alea karena baru dua hari yang lalu tanggal pernikahan diputuskan. Rupanya Alec benar-benar bertekad menikahinya. Bahkan gaun pengantin sudah mulai dibuat dan dipastikan selesai sehari menjelang hari pernikahan. Alea tak akan bertanya darimana pria itu memilihkan ukuran yang tepat untuk tubuhnya, tapi Alea berharap ukuran itu meleset dan sedikit mengacaukan rencana karena pilihan yang diambil tanpa sedikit pun mempertanyakan keputusan darinya sebagai calon pengantin wanita.
“Apa yang akan kaulakukan jika aku benar-benar kabur tepat di hari pernikahan?” tanya Alea dalam perjalanan pulang di dalam mobil Arsen.
Arsen mendesah bosan sambil melonggarkan dasi dan membuka kancing kemeja teratasnya. “Apa aku harus menempatkan empat pengawal sekaligus untuk mengawasimu, Alea? Agar kau melupakan rencana konyolmu itu?”
“Apa kaupikir aku tak bisa melakukannya?” tantang Alea.
“Kupikir, kau harus ke rumah sakit untuk memberitahu mama tentang kabar bahagia ini, Alea. Akhir-akhir ini keadaan mama memburuk, mungkin mendengar putri bungsunya menikah akan sedikit memberinya semangat untuk bangun dari tidur panjangnya.”
Seketika, dalam sedetik penentangan di wajah Alea lenyap. Tubuhnya membeku dan kesedihan yang begitu kental menyebar memenuhi permukaan wajah Alea.
“Dan jika kau benar-benar kabur di hari pernikahanmu, lalu Alec memutuskan jabatanku serta mengambil semua yang dimilikinya dariku. Apa kaupikir aku akan mampu membiayai perawatan mama dengan semua alat-alatnya yang tidak murah itu?”
Bibir Alea terkatup rapat. Sudut matanya memanas dan tatapannya mulai berkaca-kaca.
“Jadi, pikirkan sekali lagi saat kau memutuskan untuk menentang pernikahan ini, karena di detik itu jugalah kau membunuh mama. Apa kau masih memiliki niat untuk kabur sekarang, Alea?”
***
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan