Share

Bab 2. Tersembunyi Di Mansion

Dalam semalam, hidup Kiran Kanishka berubah. Ia yang tak punya pacar ataupun kekasih dulunya kini malah memilik seorang suami dalam beberapa jam saja. Usai sah menjadi suami istri, kini Kiran harus ikut Shawn untuk dibawa ke rumahnya.

Penutup kepala Kiran bahkan tak dibuka saat ia dibawa masuk ke dalam sebuah mobil bersama seorang pelayan yang sudah dianggapnya sebagai Bibinya. Sementara Shawn hanya melihat saja seorang wanita yang tidak ia kenal dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa pergi menuju mansionnya.

“Jika daftar itu palsu aku akan membatalkan pernikahan ini, Admiral!” ujar Yousef pada Shawn yang akan menuruni tangga rumahnya. Shawn yang masih memakai pakaian pengantin lalu berbalik dan menaikkan ujung bibirnya.

“Jika kamu menipuku dan tidak menyerahkan rudalnya. Aku akan membunuhmu!” ancam Shawn balik pada Yousef. Shawn lalu berbalik dan masuk ke dalam mobilnya dan segera pergi dari lobi mansion Kanishka. Ramdash, anak tertua Yousef lantas mendekati ayahnya dan sedikit berbidik.

“Apa tepat melakukan hal ini pada Kiran? Dia tidak tau apa-apa!” Yousef lalu mendelik pada anaknya itu.

“Aku pikir kalian semua  membenci Kiran. Aku sudah menyingkirkannya, kalian puas kan? Katakan pada Adikmu, keinginannya tercapai!” sindir Yousef dengan nada sarkas. Ia langsung berbalik dan masuk kembali ke dalam mansion meninggalkan Ramdash yang masih terpaku dengan kalimat ayahnya.

Ia menoleh lagi sekilas melihat ke arah jalan saat mobil Kiran sudah tak lagi tampak. Ia memang tak menganggap Kiran sebagai keluarga tapi belakangan ia merasa simpati dengan gadis itu.

Sementara Yousef sebenarnya merasakan kegetiran di dalam hatinya.  Ia mungkin bukan ayah yang baik tapi Yousef sesungguhnya sangat menyayangi Kiran.

Dari semua anak, hanya Kiran yang bisa diharapkan Yousef akan mau mengurusnya saat ia sakit dan tua nanti. Kiran seperti ibunya, lembut dan penyabar. Sosok wanita yang tak bisa didapatkan Yousef dari istri sahnya.

Kini putrinya itu dibawa pergi sebagai jaminan oleh seorang Admiral yang menjadi musuhnya. Rasa benci Yousef mulai muncul di hati untuk Shawn Miller.

“Aku akan membunuhnya sekalipun daftar itu asli. Lihat saja, jika dia berani menyentuh Kiran. Akan kupatahkan lehernya!” geram Yousef pada dirinya sendiri sambil mengeraskan genggamannya pada gelas Scotch yang dipegangnya.

Sedangkan di kamar pengantinnya, Kiran langsung dibawa masuk ke dalam sebuah kamar yang sudah dipersiapkan sebagai kamar pengantinnya oleh seorang pengawal Kanishka ditemani oleh Bibi pelayan itu. Setelah menempatkan Kiran di atas ranjang pengantin tempatnya akan menunggu suaminya, Bibi pelayan itu pun pergi.

Tak ada penyambutan dari Ibu mertua untuk menantu wanita yang baru memasuki rumah layaknya seperti lazimnya. Kiran hanya pasrah saja menerima nasibnya tanpa bertanya atau protes.

Dari tempat nya duduk ia bisa melihat sedikit dekorasi ruangan kamar pengantinnya. Ranjangnya dihiasi ornamen seperti tirai atau kelambu dengan bunga-bunga yang digantung dan terlihat sangat cantik.

Seseorang kemudian masuk ke dalam kamar itu dan kepala Kiran kembali tertunduk. Seperti adat dan kebiasaan yang mengikatnya, ia akan menunggu suaminya datang ke ranjang dan menyentuhnya.

Tapi tak ada apapun. Tak ada yang datang mendekat. Kiran sedikit menaikkan pandangannya mencoba mengintip dari balik kerudung merah yang menutupi kepalanya dan tirai tipis yang menghalanginya dan pria yang disebut suami.

Seorang pria memang berdiri di sana, tapi ia tak bisa melihat wajahnya. Pria itu tampak seperti membuka topi di kepalanya dan meletakkan begitu saja ornamen tersebut. Ia lalu menoleh pada ranjang pengantin di sebelah kirinya dan Kiran langsung menundukkan kepala.

Tangannya mengepal dan rasa gugup mulai menghampiri. Apa yang harus ia lakukan jika suaminya mendekat?

‘Apa yang harus aku katakan padanya? haruskah aku memperkenalkan diri?’ tanya Kiran dalam hatinya.

Lama ia menunggu tapi tak ada yang mendekat. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Kiran lantas menaikkan matanya mencoba mengintip, tak ada lagi orang di kamar itu.

Pria itu sudah pergi, pergi meninggalkannya di malam pengantin mereka. Entah getir atau kecewa yang ia rasakan. Namun Kiran hanya duduk di sana beberapa saat menunggu tapi pria itu tak kembali.

Dengan kedua tangannya yang terhias Henna dan perhiasan, Kiran menyingkap kerudung besarnya. Terlihatlah wajah bidadari yang belum pernah dilihat oleh Shawn Miller sebelumnya. Dengan hiasan besar di hidung serta tanda merah di garis rambutnya, tanda ia sah menjadi seorang istri.

Beberapa saat kemudian, Kiran turun dari ranjang pengantinnya, menyingkap tirai dan beberapa kelopak mawar merah yang ditaburkan di ranjangnya jatuh ke lantai di telapak kakinya.

Ia berjalan ke arah cermin di depannya dan memandang dirinya sendiri. Kiran duduk di depannya lalu membuka tudung dan hiasan kepala yang merekatkan kerudungnya dengan rambut.

Haruskah ia menangis karena ditinggalkan di malam pengantinnya? Atau bahagia karena tak harus melayani pria yang tidak ia kenal? Namun airmata itu muncul dari sudut matanya mengalir setetes membasahi pipi.

Sementara Shawn keluar begitu saja dari kamar pengantin itu tidak lebih dari 7 menit ia berdiri di sana. Ia memilih untuk membuang syal merah dan kalungan bunga yang berikan wanita yang sudah sah menjadi istrinya.

“Kamu mau kemana, Admiral?” tanya Blue begitu melihat atasannya itu keluar masih dengan pakaian pengantin dan melepaskan kalungan bunga dan syal yang dipakainya.

“Aku ingin menikmati malam pengantinku!” jawab Shawn sarkas dan langsung pergi meninggalkan Blue. Blue sedikit terpaku dengan segelas susu putih di tangannya. Ia berencana akan memberikan susu itu pada Shawn agar ia bisa tidur nyenyak di malam pertamanya. Akan tetapi, Admiral itu lebih memilih untuk menghabiskan waktu di ranjang wanita lain yang sudah ia beli.

Blue kembali ke dapur dan meletakkan gelas itu begitu saja di konter. Shawn keluar dengan jas tanpa dasi dan sudah rapi siap pergi.

“Ayo Blue!” Blue mengangguk dan berjalan meninggalkan gelas itu bersama Shawn menuju ke sebuah hotel.

Shawn tak mungkin lagi mengadakan penawaran dan ikut pelelangan, jadi ia memutuskan untuk membeli “produk” terbaik Dubrich dan melakukannya di sebuah hotel. Hotel itu adalah salah satu hotel yang dimiliki oleh Ibunya, lebih tepatnya dia juga memiliki hak atas properti tersebut.

Shawn tak pulang lagi setelah malam ia pergi dari kamar pengantinnya. Sejak saat itu pula, Kiran menjelajahi sendiri rumah mewah itu. Pembantu yang ia bawa sebagai temannya itulah yang menjadi temannya. Hanya mereka berdua di sana tak ada orang lain.

“Selamat pagi, Nyonya!” sapa Bibi pelayan itu sambil tersenyum pada Kiran yang datang masuk ke dalam dapur dan bersiap untuk sarapan. Kiran tersenyum dan menunggu dengan baik sarapannya di meja makan kecil dekat konter dapur. Ia sudah siap dengan pakaian formal akan berangkat bekerja.

“Apa belum ada yang pulang Bibi?” tanya Kiran sambil menunggu Bibi pelayan itu menghidangkan makanan padanya.

“Oh, kemarin malam seseorang datang dan memberi beberapa barang. Katanya itu untuk Nyonya.” Kiran mengernyitkan keningnya.

“Apa dia Admiral itu?” tanya Kiran lagi sedikit antisipatif. Bibi pelayan itu tampak berpikir lalu menggelengkan kepalanya.

“Aku rasa bukan, dia bilang dia adalah ajudan Admiral Miller. Namanya Blue Handerson,” jawab Bibi pelayan itu. Kiran mengangguk saja.

“Bibi Shimla, apa Bibi tahu siapa nama Admiral itu?” tanya Kiran lagi dengan suara yang sedikit dikecilkan. Wanita yang bernama Shimla Sharma itu pu tampak berpikir lagi lalu menghampiri Kiran dan meletakkan makanannya.

“Kalau tidak salah namanya Admiral Shawn Miller. Kenapa? Apa kalian belum pernah bertemu?” Kiran menggeleng dengan polosnya. Bibi Shimla hanya tersenyum tipis dan menuangkan telur dadar lalu kuah kari di dalam sebuah mangkuk kecil untuknya.

“Terima kasih.” Kiran berterima kasih lalu makan perlahan seperti biasanya. Shimla membalas senyuman Kiran dan ikut menghidangkan sebuah piring dengan makanan yang sama untuknya. Mereka terbiasa makan berdua selama tiga hari ini.

Selama Bibi Shimla ada di dekatnya, Kiran takkan merasa kesepian. Di rumah keluarga Kanishka, Bibi Shimla adalah orang yang selalu menemani Kiran. Mereka bicara dan memiliki hubungan dekat layaknya keluarga.

Sama seperti kemarin, Kiran akan berangkat ke tempat kerjanya menggunakan taksi. Awalnya, ia harus berjalan keluar mansion untuk menyetop taksi. Kini setelah meminta nomor ponsel salah satu taksi langganannya, ia hanya perlu menelepon dan mobil itu akan menunggu di depan lobi.

“Semangat dan semoga berhasil, Nyonya!” ujar Shimla menyemangati Kiran dan langsung diberi cengiran cantik serta anggukan semangat. Dengan langkah yang ceria, Kiran masuk ke dalam mobil taksi langganannya dan diberi sapaan ramah dari sopir paruh baya yang sudah mengenalnya.

“Selamat pagi, Nona Kiran. Kita siap berangkat?” Kiran mengangguk mantap dan mobil itu pun meluncur dengan tenang keluar dari lobi mansion.

Kiran turun di samping parkiran kantor Jaksa setelah membayar taksinya. Ia berjalan lebih cepat dengan heels pump yang biasa menemaninya bekerja setiap hari. Penampilan Kiran tergolong biasa. Blazer formal dengan kemeja di dalam dan rok pendek sepaha adalah penampilannya sehari-hari.

Ia biasa menyanggulkan rambutnya dan tak memakai aksesoris apa pun. Oleh karena Kiran harus menyembunyikan pernikahannya, ia tak memakai tanda merah di rambutnya.

“Pagi Kiran!” sapa seorang pria yang juga berprofesi sebagai Jaksa masuk ke dalam ruangannya. Kiran memberikan senyuman terlebih dahulu pada Jaksa itu dan mengucapkan hal yang sama.

“Selamat pagi, Rob!”

Robert Grisham adalah salah satu Jaksa Penuntut Umum yang juga bekerja di tempat yang sama seperti Kiran. Ia adalah Jaksa muda, tampan dan masih sendiri.

“Sudah siap untuk sidang perdana hari ini?” tanya Robert dan Kiran mengangguk dengan mantap.

“Tentu, kita berangkat sekarang?” Robert pun mengangguk mantap dan tersenyum. Ia dan Kiran lalu keluar dari ruangan bersama membawa beberapa berkas menuju ruang sidang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status