Home / Romansa / Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi / Bab 2. Pernikahan Yang Tak Diinginkan

Share

Bab 2. Pernikahan Yang Tak Diinginkan

Author: Andrea_Wu
last update Last Updated: 2025-11-05 16:39:47

Sepuluh tahun kemudian.

Jika waktu bisa diulang, Axelia Aruna tak akan terpikat, dan menorehkan luka bertahun-tahun di hatinya.

"Kau gila, ya!"

Suara cempreng Lucy meledak dari seberang ponsel, membuat telinga Axelia Aruna nyaris tuli. Spontan Runa—begitulah wanita itu akrab disapa—menjauhkan ponsel dari telinganya sambil meringis pelan.

Ia menghela napas panjang, menatap layar ponsel yang menampilkan wajah sepupunya yang tampak terkejut bukan main. "Jangan teriak, Lucy. Aku belum tuli."

"Bagaimana aku tidak teriak?!" Lucy hampir menubruk layar ponsel. "Kau sadar tidak, Runa? Kau bilang apa barusan? Menikah? Dengan Alaric Deveraux? Pria itu dingin, angkuh, dan—oh Tuhan—dia bahkan dijuluki Iblis Bisnis oleh para karyawannya!" Lucy menatap layar ponselnya, merasa geram dengan ekspresi yang ditunjukkan sepupunya.

Bagaimana mungkin wanita itu masih bisa tenang, padahal Alaric adalah sosok dingin, dan menyebalkan. Meskipun wajahnya begitu tampan yang mampu menyihir kalangan wanita. Tetapi, dengan sikap angkuh dan dinginnya itu, Lucy akan berpikir seratus kali untuk menikah dengan lelaki itu.

"Dia kejam, kau tahu."

"Aku tahu." Aruna menjawabnya enteng, seperti tidak ada beban di sana.

"Lalu, masih kau terima? Astaga, di mana otak cerdasmu kau sembunyikan, huh!"

Kalau saja Lucy ada di sampingnya, dia akan membenturkan kepala Runa, agar wanita itu sadar. Jika menikah dengan Alaric adalah opsi terburuk yang dia pilih.

"Kau tahu alasannya, kalau dia

...Ah sudahlah."

Ia menatap bayangan dirinya di cermin besar ruang tamunya—rambut hitam bergelombang yang dibiarkan tergerai, wajah pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata, dan senyum yang terasa lelah, menghias wajah cantiknya pagi ini.

"Mataku seperti mata panda," ujarnya mendesah, sebelum kembali fokus dengan percakapannya pada Lucy di telepon.

"Intinya aku harus menikah dengannya."

Lucy diam sejenak di seberang sana. Ia tahu alasan itu—alasan yang tak ingin Runa ucapkan secara gamblang karena hanya akan membuat luka lama kembali terbuka.

"Tapi Runa, ini gila. Kau tahu seperti apa Alaric itu—"

"Sudahlah," potong Runa pelan. Ia meraih tas kecilnya. "Aku akan menerima semua konsekuensinya. Tolong jaga dia untukku, ya? Aku harus pergi kerja." Aruna mengakhiri panggilannya, lalu memasukkan benda pintar itu ke dalam tas.

Wanita itu berdiri, menatap jendela besar apartemennya. Langit pagi kota Shane mulai merona cerah, dan pantulan cahaya menari di kaca jendela tinggi. Ia menghela napas panjang, mencoba menelan kekhawatiran yang terus menumpuk di dada.

"Sudah kuputuskan, dan aku tidak bisa menolak takdirku. Ini adalah keputusan yang kuinginkan."

Aruna bergegas keluar dari kamarnya, tujuannya adalah basemet apartemen.

Tak lama, wanita itu sampai di sana, dan segera masuk ke dalam mobil miliknya.

Beberapa menit kemudian, mobil hitamnya meluncur meninggalkan pelataran apartemen, menembus hiruk pikuk jalanan kota.

***

Suara benda keras membentur meja kerja dari marmer terdengar nyaring. Sebuah bingkai foto terlempar dan jatuh, pecah di lantai.

"Menikah?" Alaric Deveraux Smitt menatap ayahnya dengan pandangan tak percaya. Rahangnya menegang, tangan kanannya mengepal di sisi tubuhnya. "Papa sudah gila, ya? Aku tidak akan menikah dengan wanita jelek itu!"

Foto yang tadi dilempar masih tergeletak di lantai, menampilkan wajah seorang wanita berkacamata tebal dengan gigi yang sedikit berantakan, tompel di pipi kanan, dan jerawat yang menghiasi seluruh wajahnya.

"Dia bahkan tidak bisa berdandan! Dan Papa ingin aku menikahinya? Apa Papa sedang main-main denganku?"

Ricard Deveraux Smitt, pria paruh baya berusia lima puluhan itu, hanya menatap anak sulungnya dengan tenang di balik kursi kulit hitamnya.

"Setidaknya wanita itu bukan gadis murahan yang hanya mengejar uangmu," ucap Ricard dingin. "Aku sudah cukup muak melihat kau bergonta-ganti pasangan tiap bulan, Al."

"Papa bicara seolah aku tidak punya pilihan lain!"

"Memang." Suara Ricard tegas dan tanpa emosi. "Jika kau menolak, kau boleh angkat kaki dari rumah ini. Nama Smitt akan kuhapus dari identitasmu. Lihat seberapa jauh kau bisa hidup tanpa nama keluarga kita."

Ancaman itu membuat Alaric mengepalkan tangannya. Sungguh, ayahnya tidak hanya menggertak dengan omong kosong. Jika pria itu mengatakan akan mencoret namanya, hal itu pasti akan dilakukan.

Akan tetapi, dia memang tidak mau menikah. Dia hanya ingin menikah dengan wanita yang dia temui sepuluh tahun yang lalu, yang pernah dia tuduh sebagai jalang, dan ternyata bukan.

Alaric jatuh cinta padanya, namun sosok itu seolah lenyap ditelan bumi.

"Siapa namanya?" tanyanya pada akhirnya.

"Axelia Aruna," jawab sang ayah datar.

Alaric tertawa miring, nadanya sarkastik. "Apa wanita di dunia ini sudah punah sampai Papa menyeretku untuk menikahi wanita... seperti dia?" Ia memungut foto itu lagi, menatapnya dengan jijik, lalu meremasnya hingga kusut sebelum melemparkannya kembali ke lantai.

"Aku tidak akan menikah, Pa. Itu sudah keputusanku." Dia bergegas melangkah pergi, terlalu muak dengan sikap ayahnya yang diktator itu.

Namun suara Ricard memotong langkahnya. "Ingat ucapanku, Alaric. Jika kau menolak, kau bukan lagi bagian dari keluarga Smitt."

Tangan Alaric berhenti di gagang pintu. Ia terdiam lama, menatap lantai dengan rahang mengeras. Kata-kata ayahnya menggema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu betul, nama Smitt bukan hanya sekadar nama—itu adalah kekuasaan, pengaruh, dan kemewahan yang menopang hidupnya sejak lahir.

Alaric mengepalkan tangan. Urat-urat kehijauan mulai menonjol di pergelangannya.

"Baik," katanya dengan nada muak. "Aku akan menikah. Tapi jangan salahkan aku jika wanita itu menyesal karena berani memaksa seorang Alaric Deveraux Smitt."

Ia berbalik menatap ayahnya, menahan amarah yang siap meledak. "Aku akan buat dia sendiri yang meminta cerai. Cepat atau lambat."

Dengan itu, Alaric melangkah keluar, meninggalkan ruang kerja yang kini terasa sesak oleh hawa dingin dan ego yang saling berbenturan.

Begitu pintu tertutup, Ricard hanya menghela napas panjang. Ia menatap foto yang hancur di lantai—foto seorang wanita yang mungkin akan mengubah hidup putranya lebih dari yang ia duga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 8. Penyiksaan Batin

    "Kau ini kenapa? Baru menikah tapi wajahmu kusut begitu?" Alaric mendongakkan kepala. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu tadi. Tiba-tiba saja Dean Dimitri—sahabat sekaligus manajer perencanaan di perusahaannya—sudah berdiri di ambang pintu, lalu masuk tanpa menunggu jawaban. "Kau rupanya? Sejak kapan kau masuk?" Alaric buru-buru memperbaiki posisi duduknya dan berpura-pura sibuk dengan tumpukan berkas di atas meja agar tak terlihat seperti orang tengah frustasi. Dean mendecak sambil melangkah masuk. "Sejak dinosaurus masih berkeliaran, Mr. Smitt." "Jangan bercanda. Ada apa?" Alih-alih menjawab, Dean mengangkat bahu dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa cokelat mewah di sudut ruangan itu. "Harusnya aku yang bertanya. Baru beberapa hari menikah tapi kau terlihat seperti orang yang kehilangan separuh hidupmu saja. Bukankah seharusnya kau pergi bulan madu dengan istrimu, huh? Ayolah, Ric. Nikmati hidupmu, jangan berkencan dengan tumpukan berkas bodohmu itu." Alaric

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 7. Aruna Yang Sebenarnya

    Suasana pagi itu ramai menyelimuti kantor polisi pusat kota Shane. Aktivitas rutin yang memang rutin terjadi di tempat ini. Laporan kasus, dan berkas olah tkp bertebaran di tempat ini. Beberapa polisi yang sedang lalu-lalang spontan menegakkan badan mereka, menundukkan kepala hormat ketika seorang wanita berparas menawan melangkah masuk dengan seragam kebanggaan kepolisian negara itu. Dia adalah Inspektur Axelia Aruna Weird — kepala divisi kriminal di kepolisian pusat kota Shane. Enam tahun sudah ia mengabdi di institusi itu sejak menamatkan pendidikannya di akademi kepolisian. Hanya sedikit orang yang tahu, bahkan suaminya sendiri—Alaric Deveraux—tak pernah menyadari bahwa wanita yang dinikahinya adalah seorang kepala divisi di markas besar kepolisian. Dulu, saat pertama kali Aruna menapaki dunia kepolisian, banyak rekan-rekannya yang meremehkan. Mereka menganggapnya hanya wanita lemah yang tak akan tahan dengan kerasnya dunia hukum. Ejekan dan hinaan menjadi makanan sehari

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 6. Hinaan

    Aruna menata beberapa helai pakaian ke dalam lemari besar di kamar bernuansa putih itu. Ruangan tersebut tampak hangat dan elegan, dengan dinding berhias lukisan-lukisan pemandangan dan beberapa karya abstrak yang ia bawa dari rumah keluarganya. Senyum lembut sesekali tersungging di sudut bibirnya yang merah alami, terutama ketika pandangannya jatuh pada lukisan taman bunga magnolia—hasil tangannya sendiri—yang kini menghiasi dinding kamar pribadinya. Kamar itu bukan kamar utama, sebab Alaric memutuskan mereka tidur di ruangan terpisah. Mereka kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota Shane—hadiah pernikahan dari Tuan Smitt. Letaknya tidak jauh dari kantor ADS Group, perusahaan besar milik keluarga Smitt yang kini dipimpin oleh Alaric Deveraux, putra sulung keluarga itu. Sejak ayahnya memilih untuk bekerja di balik layar, Alaric menjadi presiden direktur di usia muda, meski sifatnya jauh dari kata hangat. "Senang dengan kamar barumu, wanita aneh?" Belum apa-apa, tapi Al

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 5. Malam Pertama Yang Tak Diharapkan

    Suara kicau burung gereja membuat kedua mata sipit itu terbuka. Meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, dan terasa pegal menjalar di seluruh persendiannya. Pandangannya mengedar ke seluruh kamar besar yang terasa dingin. Dilihatnya sosok Alaric yang masih bergelung di dalam selimut tebal dengan mulut terbuka. Kakinya beranjak turun dari atas sofa menghampiri sosok yang kemarin resmi menjadi pasangan hidupnya."Tidurnya nyenyak sekali, huh! Pria berkarisma, tetapi tidurnya seperti itu," gumamnya seorang diri seraya melirik jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk pukul 8 pagi. Tanpa mau repot membangunkan suaminya, sosok berkacamata itu telah menghilang di balik pintu kaca transparan, setelah dirinya menyambar bathtrobe yang disediakan oleh pihak hotel di dalam lemari.Lima belas menit, waktu yang teramat singkat—karena biasanya ia menghabiskan lebih dari 30 menit di dalam kamar mandi—tetapi karena dia tak sendirian dikamar ini, secepat mungkin ia menyelesaikan acara mandinya, t

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 4. Pernikahan Tanpa Cinta

    Suara bising beberapa menit yang lalu kembali menjadi hening saat dentingan piano menggema memenuhi gereja katedral yang berada di kota Shane. Semua orang berpakaian mahal berdiri dengan khidmat. Berpuluh mata memandang pada pintu masuk gereja—di sana berdiri seorang wanita dengan gaun putih pengantin membalut tubuhnya, ditemani seorang pria paruh baya yang ikut berdiri di sampingnya. Langkah-langkah kecil mulai bergema dari enam pasang sepatu di belakang mereka berdua membawa buket bunga mawar dan beberapa bunga tulip yang merupakan bunga favorit mempelai wanita. Saat alunan musik klasik mulai dilantukan, wanita bergaun putih beserta pria paruh baya—yang adalah ayahnya melangkah menyusuri altar dengan hiasan bermacam bunga di sampingnya, dengan karpet merah membentang di depannya hingga menuju singgahsana di mana calon mempelainya telah menunggu kedatangannya. Raut wajah itu terpancar datar, tanpa senyum khas seorang pengantin, tak berbeda dengan calon mempelainya yang saat

  • Istri Jelekku Ternyata Komandan Polisi   Bab 3. Pertemuan Pertama

    Hujan baru saja berhenti sore itu.Aroma tanah basah menyatu dengan dinginnya udara kota Shane, sementara langit yang kelabu perlahan memudar menjadi oranye pucat. Di pelataran rumah besar keluarga Smitt, beberapa pelayan berlalu-lalang menyiapkan meja dan hidangan. Tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi sore ini, tapi suasana tegang terasa bahkan sejak di gerbang depan.Axelia Aruna turun dari mobil hitamnya dengan langkah perlahan.Gaun sederhana berwarna biru lembut membalut tubuhnya, rambut panjangnya diikat rapi ke belakang. Ia tampak sopan, namun tidak memperlihatkan kecantikan wajahnya yang justru dia tutupi dengan topeng penyamaran."Aku akan memperjuangkanmu, lihat saja pria itu harus bertanggung jawab," ujarnya.Seorang pelayan datang menyambut, menundukkan kepala dengan hormat. "Selamat datang, Nona Axelia. Tuan Besar sudah menunggu di ruang utama."Aruna tersenyum kecil. "Terima kasih," ucapnya lembut. Lalu ia berjalan mengikuti pelayan itu menyusuri lorong panjan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status