Malam tiba, semua orang sudah tidur, mbok Jum bahkan telah memastikannya lebih dulu. Bibirnya menyungging, dia masuk ke kamar yang empunya tengah tertidur pulas, “Bangun.” Ucapnya lirih seraya mengguncang pelan tubuh itu.Pelayan itu membuka mata, mengucek juga karena terasa sepet sekali, “Iya, ada apa?” tanyanya.Mbok Jum memberikan bubur ramuan, “Berikan ini ke Ratih, bagaimana pun caranya, pastikan kamu melihat Ratih menelannya dengan mata kepalamu sendiri.”Pelayan itu menghela napas, “Apa ini pahit? Akan sulit kalau rasanya terlalu kuat.”“Pahit atau tidak bukan urusanku, asal Ratih bisa minum ramuan ini, maka hidup kita akan makmur, jadi pastikan saja bocah ingusan itu menelannya, apa kamu paham?” mbok Jum memastikan sekali lagi.Pelayan itu pun menghela napas, “Ya, aku akan memberikan ramuan ini besok setelah semua orang pergi, aku tidak mau tertangkap dan membuat diriku sendiri dalam bahaya.”Mbok Jum mengangguk, dia lalu ke luar dari kamar pelayan itu.***Hari yang ditunggu
Ratih terbangun untuk ke dua kalinya, tapi saat ini dia bingung karena tak menemukan Prapto di sebelahnya, “Apa aku bermimpi?” tanyanya ke diri sendiri. Setelah cukup sadar, Ratih memilih untuk mandi, dia yakin sebentar lagi pelayan akan mengajaknya untuk sarapan, dan benar saja saat dia ke luar kamar mandi bertepatan dengan pelayan yang memanggilnya. “Aku akan segera ke luar.” Ucapnya yang saat ini masih menyisir rambut basahnya.Saat Ratih di ruang makan, semua orang sudah berkumpul, termasuk Prapto juga. Dia tak menyapa, hanya duduk di tempatnya, lalu sarapan seperti biasa.“Kalian tidak bertanya bagaimana kontes kemarin?” tanya Prapto di sela sarapan.Fitri tersenyum, “Semalam Kakang terlihat bahagia, rasanya sapi kita menang lagi, aku menunggu Kakang yang menceritakan pengalaman seru itu.”Prapto tertawa, “Ya, kamu benar. Bima yang datang ke sini dulu, sapinya juara dua, padahal aku sudah kawatir akan kalah. Hahahaha.” Prapto melahap makanannya lagi.“Tidak mungkin, Kakang. Bukan
Hampir pagi, Prapto tetap duduk di kamarnya, di tempat biasa dia mencatat semua laporan keuangan. Meski tak melakukan apa pun, Prapto juga tak bisa tidur dengan benar, memikirkan semua yang diceritakan Sumi barusan.***Hari berganti, semua orang sudah siap di kursinya, menunggu Prapto yang belum bergabung di ruang makan.“Mbak Sumi, aku keburu lapar, apa lagi sebentar lagi aku mau ke pasar beli kebaya, kakang Prapto lama sekali.” Iis terus menggerutu sedari tadi.Sumi membuang napas kasar, dia berdiri dan berniat memanggil Prapto, tapi urung karena baru saja berbalik, Prapto sudah masuk ke ruang makan.“Aku bangun terlambat, sekarang ambilkan saja sarapan untukku.” pinta Prapto sambil duduk di tempatnya. Sarapan pun berlangsung canggung, tak ada yang saling bicara setelah melihat wajah Prapto pagi ini, hingga saat dirinya selesai, Prapto berdiri, “Mbok Jum, sudah lama kita tidak ke pasar bersama-sama, ada yang mencarimu di pasar, kita ke sana hari ini.” Ucapnya yang diangguki oleh mb
“Boleh aku bergabung?” tanya Prapto mengejutkan mbok Jum dan Sumi.Ke duanya saling lempar pandang, Sumi yang ingin cuci tangan, segera mendekat ke Prapto, “Mari, Kakang. Aku dan Mbok Jum tak membicarakan hal penting.” Ditolehnya mbok Jum, anggukan itu dia harap mampu menggiring Prapto ke tempat lain.Prapto terkekeh, “Aku yakin kalian membicarakan ramuan itu, katakan, siapa yang awalnya ingin membuat ramuan semacam itu? Sumi, bukankah semalam kamu yang mengatakan kalau Mbok Jum yang sejak awal memberikan ramuan itu ke semua istriku? Apa artinya ini, Mbok Jum?” ya, memang semalam Sumi sudah mengakui semuanya, di rumahnya sendiri, Prapto telah dikhianati.“Bohong!” mbok Jum memekik, “Sejak awal, sejak keguguran yang beberapa kali dialami Ndoro Sumi, sejak kedatangan ndoro Iis di rumah ini, Ndoro Sumi-lah yang ingin aku membuat ramuan itu agar tak ada yang berhasil melahirkan anak untukmu, Aden Prapto. Karena dengan begitu Ndoro Sumi tetap akan menjadi kesayanganmu.”Sangat mencengangka
“Tidak, Mas!” Ratih segera memekik, dia juga menggeleng cepat, “Aku tak minum apa pun, apa lagi sampai anak yang kukandung dalam bahaya, tidak akan!” Ratih menepis tangan tabib itu, bangun perlahan, dia tak terima dituduh seperti itu.Apa yang diucapkan tabib itu membuat Prapto emosi, ditambah dengan jawaban Ratih, bingung dan tak paham seolah menjadi satu. “Dari mana Tabib bisa mengatakan hal itu?” memilih bertanya ke tabib dari pada berdebat dengan Ratih.“Aku sangat paham dengan semua yang datang, banyak wanita hamil ke sini dan ingin menggugurkan kandungannya, aku bisa membuat ramuan semacam itu, jadi aku sangat tahu seperti apa kondisi perut setelah mengonsumsi ramuan tersebut.” Tabib itu menoleh ke Ratih, “Ndoro Ratih, coba Ndoro katakan, apa Ndoro baru saja makan atau bahkan minum sesuatu?” tanyanya.Ratih menggeleng tegas.“Apa mbok Jum memberimu sesuatu?” Prapto hanya bertanya, beberapa hari ini penuh drama, semua terpecah ke banyak tempat, dan itu membuat Prapto bingung.Rat
Malam ini, setelah makan malam, Prapto yang merasa sudah cukup mengantuk, pergi ke kamar Ratih, dia ingin tidur di sana. Melihat ada pelayan yang mondar mandir di depan kamar Ratih, Prapto pun berdehem.“Aden Prapto, Njenengan belum tidur?” tanya pelayan itu.“Kamu? Kenapa tidak tidur?” tanya Prapto balik.“Hm,” pelayan itu nyengir, “saya dengar ndoro Ratih terbangun tadi, jadi saya berjaga di sini.”“Tidurlah. Biar aku yang menjaga istriku sendiri.” Prapto menunggu hingga pelayan itu masuk ke kamar, baru setelahnya dia menyusul Ratih. Ucapan pelayan itu bohong, buktinya Ratih tidur nyenyak saat ini. Prapto mencuci kaki dan tangan, naik ke ranjang dan memeluk Ratih, melihat Ratih tidak terganggu, kecurigaannya semakin menjadi, “Apa yang direncanakan pelayan tadi? Pelayan yang dimaksud Ratih memakai kalung juga pelayan itu, siapa dia?” merasa tak akan menemukan jawaban malam ini, Prapto pun memejamkan mata mengikuti Ratih.***Masih terlalu pagi, tapi di dapur suaranya sudah ramai pela
Sumi tak ingin kekacauan ini menarik perhatian banyak orang. Dia pun mengalah, duduk di depan Ratih, dan menarik napas sebelum bicara. Sumi menoleh ke Ratih, “Apa selama ini ada yang memberimu sesuatu?”Prapto terkekeh, “Apa kamu peduli?”Ratih kembali meremas tangan Prapto agar tak terus mengintimidasi Sumi. “Ada, Mbak. Teh, minuman segar, makanan berkuah, hanya saja aku lebih suka buah dan air putih. Mbak, menanyakan aku nyidam apa?” tanya Ratih balik.Sumi menggeleng, “Hati-hati, ada bahaya yang mengintai anak itu, aku tidak tahu apa dia masih memiliki lebih banyak pendukung dari pada kita.”Prapto tertawa sinis, “Apa kamu membicarakan dirimu sendiri?”“Mas?” Ratih heran dengan sikap Prapto.“Kenapa? Bukankah selama ini dia yang membuatmu hampir keguguran?” Prapto mengingat dengan jelas ucapan tabib tempo hari.“Kita tidak punya bukti, Mas. Jangan sembarangan menuduh Mbak Sumi.” Ratih masih meyakini mbok Jum dalangnya.Sumi menghela napas, “Terserah, Kakang mau bilang apa, aku hany
Ratih sudah tidur, sedangkan Prapto malah tidak bisa tidur setelah pertempuran barusan. Dia ke luar, memakai jarit ala kadarnya, dan surjan yang tak semua kancingnya di tempat yang benar. Membawa wadah kobot, melinting dan menyulutnya, baru setelahnya menikmati lintingan kobot itu seorang diri. Angan di depan sana sangat indah, Prapto sesekali tersenyum, membayangkan pangkuannya tak kosong lagi setelah ini.“Njenengan belum tidur, Aden Prapto?”Prapto menoleh, tak menyangka yang menyapanya adalah pelayan pribadi Ratih, “Kamu sendiri?”Pelayan itu tersenyum, “Saya haus, Aden. Jadi ke belakang sebentar untuk mengisi kendi. Njenengan butuh sesuatu?”Prapto menggeleng, “Tidur saja, aku ingin sendiri.”Pelayan itu tersenyum, dengan lancang duduk di sebelah Prapto, tangannya dengan sigap mengusap lengan Prapto tanpa tahu diri. “Aden, banyak hal yang kutahu, keselamatan, kebahagiaan, bahkan aku merasa bisa menggenggam hidup seseorang.” Prapto meliriknya tajam, tapi pelayan itu malah terkekeh