“Tidak, Mas!” Ratih segera memekik, dia juga menggeleng cepat, “Aku tak minum apa pun, apa lagi sampai anak yang kukandung dalam bahaya, tidak akan!” Ratih menepis tangan tabib itu, bangun perlahan, dia tak terima dituduh seperti itu.Apa yang diucapkan tabib itu membuat Prapto emosi, ditambah dengan jawaban Ratih, bingung dan tak paham seolah menjadi satu. “Dari mana Tabib bisa mengatakan hal itu?” memilih bertanya ke tabib dari pada berdebat dengan Ratih.“Aku sangat paham dengan semua yang datang, banyak wanita hamil ke sini dan ingin menggugurkan kandungannya, aku bisa membuat ramuan semacam itu, jadi aku sangat tahu seperti apa kondisi perut setelah mengonsumsi ramuan tersebut.” Tabib itu menoleh ke Ratih, “Ndoro Ratih, coba Ndoro katakan, apa Ndoro baru saja makan atau bahkan minum sesuatu?” tanyanya.Ratih menggeleng tegas.“Apa mbok Jum memberimu sesuatu?” Prapto hanya bertanya, beberapa hari ini penuh drama, semua terpecah ke banyak tempat, dan itu membuat Prapto bingung.Rat
Malam ini, setelah makan malam, Prapto yang merasa sudah cukup mengantuk, pergi ke kamar Ratih, dia ingin tidur di sana. Melihat ada pelayan yang mondar mandir di depan kamar Ratih, Prapto pun berdehem.“Aden Prapto, Njenengan belum tidur?” tanya pelayan itu.“Kamu? Kenapa tidak tidur?” tanya Prapto balik.“Hm,” pelayan itu nyengir, “saya dengar ndoro Ratih terbangun tadi, jadi saya berjaga di sini.”“Tidurlah. Biar aku yang menjaga istriku sendiri.” Prapto menunggu hingga pelayan itu masuk ke kamar, baru setelahnya dia menyusul Ratih. Ucapan pelayan itu bohong, buktinya Ratih tidur nyenyak saat ini. Prapto mencuci kaki dan tangan, naik ke ranjang dan memeluk Ratih, melihat Ratih tidak terganggu, kecurigaannya semakin menjadi, “Apa yang direncanakan pelayan tadi? Pelayan yang dimaksud Ratih memakai kalung juga pelayan itu, siapa dia?” merasa tak akan menemukan jawaban malam ini, Prapto pun memejamkan mata mengikuti Ratih.***Masih terlalu pagi, tapi di dapur suaranya sudah ramai pela
Sumi tak ingin kekacauan ini menarik perhatian banyak orang. Dia pun mengalah, duduk di depan Ratih, dan menarik napas sebelum bicara. Sumi menoleh ke Ratih, “Apa selama ini ada yang memberimu sesuatu?”Prapto terkekeh, “Apa kamu peduli?”Ratih kembali meremas tangan Prapto agar tak terus mengintimidasi Sumi. “Ada, Mbak. Teh, minuman segar, makanan berkuah, hanya saja aku lebih suka buah dan air putih. Mbak, menanyakan aku nyidam apa?” tanya Ratih balik.Sumi menggeleng, “Hati-hati, ada bahaya yang mengintai anak itu, aku tidak tahu apa dia masih memiliki lebih banyak pendukung dari pada kita.”Prapto tertawa sinis, “Apa kamu membicarakan dirimu sendiri?”“Mas?” Ratih heran dengan sikap Prapto.“Kenapa? Bukankah selama ini dia yang membuatmu hampir keguguran?” Prapto mengingat dengan jelas ucapan tabib tempo hari.“Kita tidak punya bukti, Mas. Jangan sembarangan menuduh Mbak Sumi.” Ratih masih meyakini mbok Jum dalangnya.Sumi menghela napas, “Terserah, Kakang mau bilang apa, aku hany
Ratih sudah tidur, sedangkan Prapto malah tidak bisa tidur setelah pertempuran barusan. Dia ke luar, memakai jarit ala kadarnya, dan surjan yang tak semua kancingnya di tempat yang benar. Membawa wadah kobot, melinting dan menyulutnya, baru setelahnya menikmati lintingan kobot itu seorang diri. Angan di depan sana sangat indah, Prapto sesekali tersenyum, membayangkan pangkuannya tak kosong lagi setelah ini.“Njenengan belum tidur, Aden Prapto?”Prapto menoleh, tak menyangka yang menyapanya adalah pelayan pribadi Ratih, “Kamu sendiri?”Pelayan itu tersenyum, “Saya haus, Aden. Jadi ke belakang sebentar untuk mengisi kendi. Njenengan butuh sesuatu?”Prapto menggeleng, “Tidur saja, aku ingin sendiri.”Pelayan itu tersenyum, dengan lancang duduk di sebelah Prapto, tangannya dengan sigap mengusap lengan Prapto tanpa tahu diri. “Aden, banyak hal yang kutahu, keselamatan, kebahagiaan, bahkan aku merasa bisa menggenggam hidup seseorang.” Prapto meliriknya tajam, tapi pelayan itu malah terkekeh
Prapto bangun. Ratih di depannya dengan rambut yang masih basah. Di luar matahari lumayan tinggi, Prapto bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat, dan ke luar. Surjan dan jarit senada disiapkan di ranjang, mungkin ini pekerjaan Ratih. Prapto tersenyum, dia semakin memahami kalau Ratih begitu perhatian.Selesai menyisir rambut dan mengenakan parfum, Prapto pun segera ke luar, bergabung dengan semua orang di meja makan, dan memberikan piring kosongnya ke Ratih. “Hari ini aku cukup sibuk, ada beberapa hal yang harus kukerjakan, di pasar juga aku menunggu pembeliku dulu yang dari kampung seberang, mungkin dia datang lebih siang.” ucapnya. Setelah Ratih mengembalikan piring itu, Prapto pun menikmati sarapan pagi ini.Dia mengingat satu hal, sepertinya tak mungkin menunggu nanti sore hanya untuk mengatakan hal ini, “Sumi,”Mendengar namanya disebut, Sumi pun menoleh ke Prapto sambil mengangguk.“... ada panen di ladang, biasanya Fitri yang mengurus semuanya, Ratih juga tak mu
Ratih ke luar dari kamarnya saat melihat Sumi pulang dari ladang.“Taruh sini saja. Besok baru dijemur. Kalian istirahat, setelah ini kita makan siang.” kata Sumi.“Inggih, Ndoro Sumi.” Jawab pekerja pria serentak.Sumi mengangguk dan masuk. Baru akan masuk, Ratih menghalangi jalannya, Sumi menatap Ratih, “Kau ingin ke luar?”Ratih menggeleng, “Apa kita bisa bicara sebentar?”Sumi terkekeh, “Tidakkah kamu tahu aku masih lelah? Keringatku belum kering karena aku baru saja tiba dari kebun. Jangan kau pikir kehamilanmu membuatku tunduk dan ikut memperlakukanmu dengan istimewa.”Ratih menghela napas, minggir untuk membiarkan Sumi masuk, sedangkan dirinya sendiri duduk di teras samping rumah. Melihat kupu-kupu yang terbang indah di kebun, membuatnya sedikit tenang, tak terus termakan emosi Sumi.Mbok Jum tersenyum, “Persaingan sangat ketat. Harusnya kamu menggunakan kesempatan yang kamu miliki dengan baik.”“Maksud, Mbok Jum?” Ratih tak paham dengan ucapan itu.“Bukankah Prapto sudah tahu
Siti berdiri, siapa yang ditunggunya sejak tadi akhirnya datang juga, disertai senyum yang berbinar, Siti merapikan kebaya yang dikenakannya.“Tunggu di sini, Lek Tejo.” Prapto turun dari dokar, “Aku akan masuk sendiri, tidak akan lama.” Imbuhnya dan segera masuk ke warung goyang.“Kupikir kamu tidak akan datang, aku cukup lama menunggumu di sini.” Siti beberapa kali menarik napas, menenangkan degup jantungnya sendiri, Prapto terlihat begitu tampan siang ini.Prapto terkekeh, “Ya, pembeli di pasar hari ini lebih sibuk dari biasanya, mereka menawar terlalu murah, jadi aku tak ingin melepas sapi itu begitu saja. Oiya, kamu hanya memesan minuman rasa mangga ini?” di atas meja hanya ada perasan mangga berwarna kuning pekat, gelas yang berisi separuh, sepertinya memang benar Siti sudah menunggunya sejak tadi.Siti mengangguk, “Aku rasa tidak akan enak kalau minum sendirian.”Prapto mengangguk, dia memesan makanan dan minuman, lalu kembali menoleh ke Siti. “Apa kamu ingat kenapa ingin bicar
Siti tersenyum, naik tubuh Prapto dengan percaya diri sambil bersiap memasukkan milik Prapto ke miliknya, meski ini adalah yang pertama Siti tak gentar sedikit pun. “Akh!” Dengan cepat Prapto membalik keadaan, Siti di bawah Prapto dengan leher tercekik saat ini.Prapto menyeringai, “Apa menurutmu akan semudah itu, hm?! Katakan, apa yang kamu tahu tentang keadaan anakku?”Siti terkekeh, meski sangat sulit bernapas, dia tetap tak ketakutan, “Ada orang yang tak mau Ratih melahirkan anak untukmu. Selain Ratih keturunan dari keluarga miskin, semua kehidupan harusnya diatur oleh orang yang sama selama ini.”Prapto semakin mengeratkan cekikannya, “Siapa?”“Ak-aku akan mem-beri tahu-mu setelah aku me-rasakan mi-milikmu dulu.” Ucap Siti dengan terbata. Dia masih ingin hidup setelah semua kejadian ini selesai.Prapto melepas cekikannya, membiarkan Siti mengambil napas dan mengusap lehernya sendiri. “Banyak pilihan di dunia ini, Siti. Kau lebih suka yang mudah atau yang curam untuk kau lalui. Sa