Lek Tejo menarik tali, tiga kuda itu pun berhenti, dan dia tersenyum sambil menoleh ke dalam. “Tidak biasa Aden mengajak saya ke pasar? Bukankah kita sudah punya pelayan yang belanja?” tanyanya.Prapto tersenyum juga, “Ada yang harus kubeli dan rasanya pelayan itu juga tidak akan mengerti dengan yang kumaksudkan. Lek Tejo, mau ikut?” tawarnya.“Tidak, Aden Prapto. Biar aku di sini saja.” Lek Tejo memilih untuk membeli kopi dan makan gorengan di warung depan pasar. Bertemu dengan kusir lain, menceritakan banyak hal mengenai kuda dan pakannya, cukup lama hingga kopi di depannya tinggal separuh pendek.“Ayo!” Prapto yang tahu di mana warung yang dituju lek Tejo tadi, mengejutkan lek Tejo yang masih seru.“Mari!” lek Tejo pamit ke semua kusir di sana dan membayar apa yang sudah masuk perut. “Sudah ketemu, Aden?” tanyanya sembari naik ke kemudi dokar.Prapto terkekeh, “Sudah. Oiya, apa selama ini Lek Tejo tidak pernah bertemu dengan mbok Jum? Apa dia juga tidak pernah ke pasar?”“Tidak. Pe
Prapto terkekeh. Dia sedang menikmati lintingan tembakau buatannya sendiri di teras. Sumi mendekat dengan putranya, Prapto segera mematikan lintingan tembakau itu dan berdiri, “Tole sayang, nyari Romo, ya?” meminta putranya dari tangan Sumi.“Dari mana kamu, Kakang?” tanya Sumi sambil duduk di sebelah Prapto. Semarah apa, tak bisa dia terus memusuhi Prapto.“Aku nyari angin, sudah dapat ya pulang, kenapa?” Prapto tak menoleh ke Sumi, terus menimang putranya yang mulai digendong dengan posisi duduk.“Dia nangis terus, nyari kamu, tadi waktu pulang juga kamu tidak langsung masuk, dia tak mau diam.” Sumi mengambil minuman di meja untuk membasahi tenggorokannya.Prapto tertawa, “Dia memang putraku, mana mungkin tenang kalau Romonya tidak di rumah, hm?!” Sumi hanya mengangguk samar, “Oiya, aku besok ke pasar, kamu mau ikut?” tanya Prapto, dia yakin Sumi bosan di rumah.Sumi tersenyum, “Kalau memang boleh, aku akan ke pasar, sepertinya Tole harus membeli surjan baru.”“Belikan juga dia kalu
Tahu kalau semua jagung sudah masuk ke dokar, pekerja juga sudah berkemas, Ratih pun menjawab ucapan Prapto, “Matur nuwun, Mas Prapto. Tapi kurasa tidak usah. Apa yang Mas Prapto beri sudah lebih dari cukup. Aku pulang dulu. Ayo!” Ratih menoleh ke pekerjanya, mengangguk agar cepat memutar dokar dan pulang.Prapto dengan cepat menahan tangan Ratih, memandang dengan tatapan penuh pertanyaan, Ratih seolah angkuh, tak sedikit pun memperlihatkan perasaan yang sama dengan yang tengah dia rasakan selama ini.Ratih menoleh ke Bima, “Ayo lita pulang, Bima. Ibu dan bapak sudah menungguku. Maaf, Mas Prapto. Aku harus segera pulang setelah jagung ini habis.”“Kau mau pulang tanpa membawa uang?” tanya Prapto.“Ladang yang kamu belikan untukku, cukup untuk menghidup ibu dan juga bapak, matur nuwun.” Ratih menyatukan tangan untuk berterima kasih.“Kau sangat tahu apa maksudku, Ratih.” Prapto tak paham dengan Ratih.“Aku harus segera pulang, Mas.” Ratih melepas cengkeraman Prapto dan segera ke dokar
Sumi sedang menggendong putranya saat ini. “Kakang, mau ke mana?” tanyanya heran. Sepulang dari pasar, Prapto langsung mandi, bahkan saat ini sedang mencukur kumis itu agar lebih tipis.Prapto yang melihat Sumi dari pantulan cermin, tersenyum, “Tidak. Aku hanya gatal. Setelah makan siang nanti aku mau istirahat, kan tidak ada pekerjaan di ladang.” Prapto berbalik ke Sumi, “Biar dia bersamaku, siapkan saja makan siangnya.”Sumi mengangguk. Dia ke dapur untuk melihat para pelayan. “Apa ada kelapa muda? Aku tidak mau putraku merengek karena tidak ada buah itu.” tanya Sumi. Memang putranya sangat menggemari air kelapa muda dan dia pun selalu memberikannya di siang hari jika terus rewel.“Masih di kandang, Ndoro Sumi. Mungkin masih dikupas.” Jawab salah satu pelayan.Sumi langsung ke kandang, sebentar lagi makan siang, dia tak ingin menunggu lama. Di kandang, dia hanya melihat satu pekerja, mungkin karena yang lain sedang merumput, “Kamu sakit?”Pekerja pria itu menjingkat, “Ngapunten, Ndo
Sumi menangis, memeluk putranya, ketakutannya sangat besar. Ratih di rumah ini, bisa saja wanita jahat itu meminta kembali putra kesayangannya ini. Untung putranya masih tidur, jadi dia tak membutuhkan seorang pun untuk membantunya. Pintu terbuka, langkah kaki terdengar mendekat, dan Sumi semakin mengeratkan pelukan.Prapto duduk tepat di sebelah Sumi, menghela napas, “Bukan aku yang jahat, tapi putra kita sering rewel, aku tak tega melihatmu seperti itu.”“Lalu?” Sumi segera menoleh, “Kakang, mau mengembalikan putraku? Mengambil putraku dari pangkuanku sendiri?” menggeleng dengan cepat.“Tidak, Sumi.” Prapto memeluk Sumi, mengusap punggung Sumi, tak suka melihat istrinya menangis seperti ini, “Ratih berbeda denganmu, bagaimana kalau dia menjadi pengasuh di sini? Dia tetap putra kita, tapi setidaknya putra kita tak akan rewel lagi. Kupastikan Ratih tak akan berani mengambil putra kita lagi.”Sumi tak menjawab, dia ingin marah, tapi tak berdaya. Saat Prapto mengurai pelukan, “Beri aku
Sumi dan Prapto se-dokar, mereka akan ke pasar, “Kenapa Ratih pulang? Dia tidak tahan menjadi babu di sini?”Prapto terkekeh, “Tidak, dia hanya pamit ke ibu dan bapak. Kamu sudah mencatat semua yang harus kita beli?”Sumi mengangguk, dia memang akan belanja untuk keperluan putranya, Prapto mengajak syukuran minggu depan.Ratih... turun dari dokar. Dia ingin segera pamit dan kembali agar tetap bisa melihat putranya nanti malam, tapi Bima malah menyambutnya di teras. “Kamu di sini?” tanya Ratih. Bapak dan ibunya juga ikut menyambut, sepertinya Bima bertamu tadi.“Iya, biasanya tiga hari ibumu menyewa cokar kami, hari ini malah tidak ada pekerja yang datang. Kupikir kamu sakit atau apa pun. Dari mana?” tanya Bima setelah ibu dan bapak Ratih masuk rumah.“Aku dari rumah mas Prapto, kami—““Kau kembali padanya? Setelah semua ini?” Bima menyela ucapan Ratih yang belum selesai, “Setelah semua harga dirimu diinjak-injak? Apa yang kamu harapkan dari kang Prapto, Ratih?” Bima tidak terima.Rati
Ratih diam sepanjang perjalanan. Bibirnya tertutup rapat. Sebuah kalimat yang terlalu lama ingin dia dengar dan kini semua seolah terlalu terlambat.“Ndoro Ratih.” Panggil pekerja pria yang mengusiri dokar Ratih.Ratih tersadar dari lamunan. Hampir senja saat dia sampai rumah besar ini, tanpa dia sangka, semua perjalanan datang terlalu cepat, “Tolong, bawakan ini, Pak.” Pintanya karena semua baju itu terlalu banyak. Dia sendiri juga membawa satu buntalan cukup besar, berjalan pelan menuju ke kamar yang kini ditinggali putranya. Ada kamar kecil di sana, dulu itu kamar Siti, dan sekarang dialah yang harus tinggal di sana.“Kamu lama sekali?” Sumi yang tahu Ratih sudah kembali, segera datang, putranya yang dia gendong tak mau diam dari tadi, dan dia tak peduli dengan Ratih yang mungkin lelah, segera menyerahkan putranya yang rewel itu.“Inggih, Mbak Sumi. Ibu sama bapak mengajak makan dulu tadi.” Dusta Ratih, dia menimang putranya, seperti memiliki sihir, putranya malah tersenyum sambil
***Ratih kaget. Segera bangun untuk duduk saat merasakan tubuhnya terguncang cukup keras.“Kau tidur di sini semalaman?” tanya Sumi. Dia baru saja bangun, berniat memandikan putranya sebelum sarapan dimulai.Ratih mengangguk, “Aku hanya menjaganya dengan baik.”Sumi mengangguk, “Mandilah. Aku tidak mau putraku dirawat oleh orang yang kotor.”Ratih pun segera beranjak ke kamarnya. Semalam dia memang tak berniat pergi. Setelah ketahuan Prapto dan tak ada sepatah kata pun, Ratih semakin enggan meninggalkan putranya di sini sendiri. Ratih mandi dengan cepat, kembali ke kamar putranya, ternyata Sumi baru saja selesai memandikan, “Butuh sesuatu?” tanya Ratih.Sumi menggeleng, “Bantu saja pelayan di dapur. Sebentar lagi kita sarapan. Banyak pekerjaan hari ini, Iis dan Fitri akan ke sini, apa kau lupa?”Ratih tersenyum, “Tidak, Mbak.” Ratih mengekor Sumi, membiarkan Sumi menuju ke kamar Prapto, sedangkan dirinya ke dapur untuk melihat persiapan sarapan. Setelah semuanya siap, “Biar aku saja