“Apa yang kau lakukan di sini?” ucap River tajam ketika melihat sosok Deasy berdiri di depan pintu ruang kerjanya pagi itu.
Wanita itu berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel krem tipis di atas blus putih yang tampak terlalu formal untuk sekadar kunjungan pribadi. Rambutnya yang dulu selalu tertata sempurna kini terlihat sedikit acak, dan tatapan matanya penuh kegelisahan.
“Aku hanya ingin bicara denganmu. Lima menit saja, aku mohon,” ucapnya dengan suara lirih, seperti seseorang yang sudah mengulang kalimat itu berulang kali dalam kepalanya sepanjang perjalanan ke gedung Louis Corporation.
River mengeraskan rahangnya. Dadanya terangkat saat dia menarik napas panjang, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai muncul di balik wajah dinginnya.
“Keluar!” bentaknya kemudian, dengan tangan
Dia tidak mau berprasangka buruk tentang suaminya itu. Dia tidak mau menjadi istri yang posesif, yang langsung menuduh. Tapi kata-kata Elena menusuk ke ruang yang paling dalam.“River tidak pernah membahas tentang orang ini. Apa yang terjadi dengan masa lalunya? Apakah aku harus bertanya, atau menunggunya bicara lebih dulu?” ucapnya dengan pelan. Suara air dari kamar mandi berhenti. Tak lama, pintu terbuka dan River keluar, rambutnya masih basah dan piyama santai melekat rapi di tubuhnya.“Kau belum tidur?” tanyanya dengan santai sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah itu. Alicia cepat-cepat menaruh kembali ponsel River ke meja. Ia memaksa tersenyum dan berlagak sibuk dengan kaus dalam River.“Ya. Aku masih mau packing,” ucapnya dengan pelan. River mengangguk-anggukkan kepalanya dan pergi ke walk in closet untuk mengambil baju tidur. Tak lama kemudian dia kembali dan menghampiri Alicia yang masih tampak campur aduk. Tapi, dia memilih untuk menyembunyikan rasa penasarannya
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika suara mobil terdengar di halaman rumah. Deru mesin yang perlahan berhenti disusul dengan suara pintu mobil tertutup membuat suasana rumah yang sebelumnya tenang mendadak terasa lebih hidup. Di dalam kamar, Alicia yang sedang sibuk mengatur pakaian ke dalam koper besar menoleh sebentar dari tumpukan baju. Tangannya masih memegang baju-baju yang terlipat rapi, namun kini perhatiannya teralihkan oleh suara yang sudah amat dikenalnya. Tak lama, pintu utama terbuka. Suara gesekan kunci disusul dengan langkah kaki berat yang menghentak-hentak pelan di lantai marmer. Alicia tak perlu menebak siapa. Ia tahu betul ritme langkah itu, berat dan mantap, dengan jeda yang khas setiap tiga langkah, seolah pemiliknya sedang berpikir sambil berjalan. Langkah kaki itu mendekat, melewati ruang tengah, kemudian berbelok ke lorong menuju kamar mereka.River muncul di ambang pintu kamar. Tubuh jangkungnya sedikit membungkuk, kemeja putih yang dikenakan
Waktu sudah menunjuk angka enam sore. Senja mulai tenggelam meninggalkan langit kota dengan semburat jingga yang memudar perlahan—seolah langit pun enggan mengucap selamat tinggal pada hari yang melelahkan.Gedung pusat perusahaan Thomas Corp masih terang benderang, menjulang seperti menara kesibukan yang tak pernah tidur. Cahaya-cahaya putih menyala dari ruangan-ruangan yang belum juga kosong, menjadi saksi diam dari ambisi manusia yang tak kenal lelah.Di lantai paling atas, ruang kantor eksekutif dengan interior modern minimalis tetap sunyi, hanya diisi bunyi ketikan keyboard dan dengung samar pendingin ruangan. Pintu kaca berlapis peredam suara membatasi ruang itu dari hiruk-pikuk luar.River masih duduk di balik mejanya, jas dilepas, dasi dilonggarkan. Layar laptop menyala menyorot wajahnya yang lelah, namun sorot matanya kosong.Tatapannya
“Apa yang kau lakukan di sini?” ucap River tajam ketika melihat sosok Deasy berdiri di depan pintu ruang kerjanya pagi itu.Wanita itu berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel krem tipis di atas blus putih yang tampak terlalu formal untuk sekadar kunjungan pribadi. Rambutnya yang dulu selalu tertata sempurna kini terlihat sedikit acak, dan tatapan matanya penuh kegelisahan.“Aku hanya ingin bicara denganmu. Lima menit saja, aku mohon,” ucapnya dengan suara lirih, seperti seseorang yang sudah mengulang kalimat itu berulang kali dalam kepalanya sepanjang perjalanan ke gedung Louis Corporation.River mengeraskan rahangnya. Dadanya terangkat saat dia menarik napas panjang, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai muncul di balik wajah dinginnya.“Keluar!” bentaknya kemudian, dengan tangan
Setibanya di mall.Alicia berjalan cepat di samping River, langkahnya ringan, hampir seperti melayang. Sepasang sneakers putihnya nyaris tak menimbulkan suara di atas marmer mengilap.Matanya berbinar penuh antusias saat menatap etalase butik-butik mewah yang berjajar bagaikan surga dunia mode. Chanel, Dior, Saint Laurent—semuanya menampilkan koleksi terbaru dalam pajangan elegan di balik kaca tebal.Ia memeluk lengan River erat, tanpa sedikit pun rasa malu. Pandangan orang-orang yang mengenali pria itu sebagai CEO Louis Corporation hanya dianggap angin lalu.Beberapa wanita menatap mereka dengan iri, beberapa pria mengangguk mengenali, namun Alicia seolah hidup dalam dunianya sendiri bersama pria yang kini menggenggam dunianya.Saat mereka memasuki sebuah butik tas ternama, suasana di dalamnya langsung berubah. Pelayan butik yang mengenali Rive
Alicia pamit ke dapur, membiarkan Monica dan River duduk berdua di sofa panjang yang empuk.Monica duduk dengan posisi tegak, tubuhnya anggun dalam balutan blus berwarna krem dan rok selutut. Tas branded di pangkuannya terlihat seperti lambang kekuasaan yang tidak perlu dijelaskan.River, di sisi lain, menyandarkan punggung ke sofa dengan satu lengan diletakkan santai di sandaran belakang, tatapannya tak bisa ditebak.“Aku tidak datang hanya untuk melihatmu mencium istrimu,” buka Monica dengan tenang.River menyeringai. “Tapi kau puas melihatnya, kan?”Monica mengabaikan candaan itu. “Aku datang untuk membicarakan ekspansi perusahaan. Aku ingin membuka cabang Louis Corporation di London dan Kanada.”River langsung duduk lebih tegak. “Itu rencana jangka panjang yang pernah kau singgung, kan? Kukira belum waktunya.”“Aku ingin mewujudkannya tahun ini. Gedung utama di London dan Vanco