“Apa?” Kening Alicia mengkerut mendengarnya. “Aku tahu kau tidak menginginkan pernikahan ini, tapi aku juga bukan robot yang bisa kau abaikan begitu saja, River.”
River akhirnya menatap mata Alicia. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya diam sejenak sebelum akhirnya bicara, “Kalau kau ingin uangnya lebih cepat, pura-pura saja kau sedang honeymoon dengan pria sempurna. Di depan media, kita pasangan bahagia. Di belakang, kau bukan siapa-siapa. Hanya itu saja.”
Deg.
Ucapan itu seperti palu yang menghantam jiwanya. Mata Alicia membelalak—bukan karena kaget, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Ucapan itu benar-benar menusuk relung hatinya yang paling dalam.
“Jadi bagimu, aku ini cuma istri kontrak?” tanyanya dengan nada sinis.
“Lebih tepatnya, tamu dengan batas waktu tinggal. Dan kuingatkan sekali lagi padamu, jangan mengganggu hidupku. Aku tidak butuh drama, tidak butuh air mata, dan terutama—tidak butuh istri cerewet yang mencoba masuk dalam urusanku.”
Alicia berdiri. Wajahnya merah padam mendengarnya. “Lalu kenapa kau mau menikah? Kalau hidupmu begitu sempurna, kenapa susah sekali menolak permintaan nenekmu itu?!”
Rahang River mengetat mendengar ucapan Alicia tadi. Dia kemudian mendekat bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan karena jarak itu terlalu dekat.
“Kau pikir aku punya pilihan?” gumamnya dengan nada rendah. “Kau bukan satu-satunya pion dalam permainan ini, Alicia.”
Setelah itu, ia berjalan keluar kamar dan membanting pintu dengan suara keras yang menggetarkan dinding.
Sementara Alicia mengerang kesal, lalu meraih bantal dan melemparkannya ke pintu. "Sialan! Pernikahan macam apa yang akan kujalani ini?” gumamnya lalu mengembuskan napasnya dengan kasar.
Tak lama kemudian, notifikasi ponselnya berbunyi. Dia meraih dengan kasar ponsel tersebut dan mengerutkan keningnya melihat pesan masuk.
‘Kau harus menaklukan hatinya, Alicia. Jika kau berhasil membuatnya jatuh cinta, apa pun yang kau inginkan hanya tinggal menjetikkan jari. Ingat, Alicia. Bahkan nyawa perusaahan ayahmu bergantung padamu!’
Alicia langsung menggigit bibir bawahnya melihat pesan masuk tersebut. Dia menikah dengan River karena perjanjian gila yang terpaksa dia sepakati.
“Pantas saja wanita tua itu memintaku menggodanya. Ternyata cucu kesayangannya ini sangat dingin dan tidak mudah ditaklukan.”
Akan menjadi PR utama Alicia dalam menjalani pernikahan ini—membuat River jatuh cinta dan tergila-gila padanya.
**
Sayangnya, usaha Alicia masih belum membuahkan hasil. Sudah dua hari sejak dia sah menjadi istri River, dia belum juga berhasil menaklukan pria itu.
Meski River tak pernah pulang sebelum larut malam. Akan tetapi, setiap kali datang, ia langsung masuk ke kamar kerja di lantai dua dan tak keluar sampai pagi. Ia bahkan tidak pernah mau makan malam bersama dengan Alicia.
Alicia pun hidup seperti hantu di rumah besar itu—makan sendiri, duduk sendiri, bicara sendiri. Para pelayan menghormatinya, tapi ia tahu semua itu hanya karena status ‘Nyonya Louis’ yang disematkan dengan dingin di daftar kepala rumah tangga.
Sampai suatu siang, Alicia mulai jengah. Ia turun ke ruang kerja River sambil membawa nampan makan siang. “Kalau kau tidak makan, setidaknya jangan mati kelaparan dan membuatku jadi janda terlalu cepat,” serunya dari balik pintu.
Tidak ada jawaban dari makhluk hidup yang berada di dalam ruangan tersebut. Alicia mendapati River duduk di belakang meja kerjanya yang mewah tengah menatap layar laptop dengan tatapan serius.
“Lagi-lagi proyek? Atau mencoba mencari cara menceraikan istrimu yang menyebalkan ini?” ejek Alicia kemudian mencoba tersenyum walau hatinya pedih.
Rivern mengangkat kepalanya dengan pelan lalu menatapnya datar. “Apa kau tidak punya hobi selain menggangguku, huh?”
Alicia lantas masuk dan meletakkan nampan di atas mejanya dengan sengaja menggeser tumpukan berkas sedikit. “Ya. Aku akan membuat hobi dengan menyabotase hidupmu. Sepertinya sangat menyenangkan.”
River bangkit berdiri dengan ekspresi jengah. “Dengarkan aku baik-baik, Alicia. Aku tidak membutuhkan perhatianmu. Aku tidak meminta pelayanan darimu. Dan aku tidak peduli seberapa keras kau mencoba terlihat seperti istri yang baik di hadapanku.”
Alicia mendekat seolah menantang suaminya itu. “Kalau kau ingin aku berhenti, usir aku. Laporkan pada nenekmu itu. Putuskan kontrak. Tapi jangan—jangan menyuruhku bertingkah seolah aku tidak hidup di rumah ini. Aku bukan bayangan, River.”
Mata River menyala sejenak. Ia maju cepat, hingga tubuh mereka hanya berjarak sejengkal.
“Kalau kau bukan bayangan, buktikan. Bertahanlah di bawah tekanan. Karena aku tidak akan memberimu satu pun ruang untuk bernapas di sini.”
Alicia tersenyum sinis. “Kau pikir aku takut? Aku tumbuh dari keluarga yang nyaris bangkrut, River. Ditolak, disalahpahami, dan diabaikan itu sudah menjadi sarapan pagiku.”
Seketika mata River bergerak menelusuri wajah Alicia. Ada sesuatu di sana—bukan rasa kagum, bukan juga simpati. Tapi mungkin, ketertarikan yang masih ia ingkari.
Ia mundur satu langkah. Lalu berbisik dingin, “Jangan terlalu dekat, Alicia. Karena saat kau jatuh, aku tidak akan menangkapmu.”
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai kamar hotel yang mewah.Alicia terbangun dengan tubuh yang masih dibalut sisa-sisa kelelahan malam sebelumnya.Ketika matanya terbuka perlahan, ia mendapati River sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan kemeja linen putih yang sedikit terbuka di bagian dada.Rambutnya yang acak-acakan justru membuat pria itu tampak semakin menggoda."Bangun, kitten. Kita punya banyak yang harus dibeli hari ini," bisik River sambil mengelus lembut pipinya.Alicia menggeliat pelan dan tersenyum mengantuk. “Belanja? Pagi-pagi begini?”River menyeringai. "Kita butuh perlengkapan. Baju baru untukmu. Dan... beberapa barang khusus."Mata Alicia sedikit membelalak. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu dalam nada suara River yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Setelah mandi dan bersiap, mereka turun k
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Udara pagi di Pegunungan Rocky terasa menusuk tulang, tapi kabin mewah mereka tetap hangat.Dari jendela besar yang menghadap pegunungan bersalju, sinar matahari menyelinap pelan dan menyapa wajah Alicia yang masih tertidur di dada telanjang River.Lelaki itu sudah terjaga lebih dulu, matanya menatap istrinya dengan intensitas yang tenang namun dalam.Rambut Alicia berantakan dengan cara yang membuatnya terlihat semakin memesona.Di balik selimut bulu angsa itu, tubuh mereka masih telanjang, saling menyatu sejak semalam, tak terpisahkan oleh apapun.River mencium pelipis Alicia dengan lembut. “Pagi, Mrs. Louis,” bisiknya dengan suara serak penuh sisa gairah.Alicia menggumam kecil, lalu mengangkat wajahnya. Bibirnya memerah dan basah, mata cokelatnya masih setengah mengantuk. “Mmm ... pagi. Apa tadi malam nyata? Tubuhku … benar-benar seperti baru saja ditimpa oleh batu
Perjalanan menuju tempat bulan madu mereka dimulai tepat setelah makan malam.Langit Kanada semakin gelap, namun lampu-lampu kota memancarkan kehangatan di balik udara yang mulai menggigit.Alicia duduk di dalam mobil hitam elegan yang membawa mereka menuju lokasi yang belum diberitahu oleh River.Ia sesekali melirik ke arah suaminya yang duduk diam di samping, tampak sibuk dengan ponselnya. Namun di sela-sela kesibukannya, River masih sempat menggenggam tangan Alicia.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanya Alicia penasaran.River menoleh dan tersenyum samar. “Sedikit lagi. Bersabarlah.”Alicia hanya bisa mengangguk. Dalam hatinya, ia setengah gugup, setengah bersemangat.Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya ini akan menjadi malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya.Malam di mana River mungkin akan lebih terbuka. Malam di mana jarak mereka perlahan mencair.Sekitar tiga puluh menit kem
Pagi itu, udara Kanada masih menyisakan kesejukan. Salju tipis yang mencair di sepanjang jalan terlihat berkilau tertimpa cahaya matahari.Alicia bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun krem elegan tanpa lengan yang jatuh rapi hingga mata kaki.Rambutnya digulung rapi ke atas, menyisakan beberapa helai lembut yang menggantung di sisi pipinya. Ia terlihat menawan—dan kali ini, ia benar-benar menyadarinya.River hanya menatapnya sebentar dari balik koran yang dibacanya sambil duduk di sofa.Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau semakin mirip istri CEO sekarang,” komentarnya.Alicia menoleh dengan alis terangkat. “Jangan-jangan kau baru sadar aku memang istrimu?”River terkekeh pelan. “Oh, aku sadar. Hanya saja baru sekarang kau terlihat seperti akan menggantikan posisi CEO.”“Berlebihan.”“Sedikit.”Mereka berangkat menuju kantor cabang baru River yang berada di jantung kota, tepat di gedung pencakar langit yang menghadap Danau Ontario.Hari ini adal
Langit Kanada menjuntai cerah dengan bias matahari yang lembut memantul di atas hamparan salju yang mulai mencair.Perjalanan dari London ke Toronto berlangsung cukup tenang, dan kali ini Alicia tampak lebih tenang daripada sebelumnya.Ia mencoba menghibur dirinya sendiri. Senyum tipis sering menghiasi wajahnya meski hatinya belum sepenuhnya pulih dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.River yang duduk di sampingnya sesekali melirik ke arah Alicia. Ia menyadari bahwa istrinya tengah berusaha keras untuk menyesuaikan diri.Dan meskipun hatinya ingin berkata banyak, ia tetap memilih diam. Mungkin karena kebiasaan. Mungkin karena takut jika penjelasan justru membuka luka baru.Setibanya di Kanada, mereka disambut oleh udara sejuk dan langit biru jernih.River yang biasanya kaku, untuk pertama kalinya mengajak Alicia berjalan santai di pusat kota, berkeliling di kawasan tua Quebec dengan bangunan-bangunan Eropa yang megah dan jalanan berb
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Langit London berwarna kelabu, nyaris tanpa cahaya matahari.Embun masih menempel di kaca jendela suite hotel saat Alicia terbangun lebih dulu. Ia menoleh ke sisi tempat tidur, mendapati River sudah tidak ada di sana. Hanya sisa kehangatan di ranjang yang menandakan sang suami baru saja pergi.Ia duduk perlahan, menarik selimut hingga ke dada, memandangi ruang kosong yang sunyi.Tidak ada secangkir teh di meja nakas, tidak ada jejak kebersamaan yang tersisa dari semalam. Hanya hening. Dingin. Dan jarak yang rasanya makin membesar, tak terlihat, tapi menyakitkan.Sesaat kemudian, pintu kamar terbuka. River masuk dengan tablet di tangan, masih mengenakan kemeja putih yang belum sepenuhnya dikancing. Wajahnya serius, seperti sedang memikirkan banyak hal.“Kau sudah bangun?” tanyanya singkat bahkan tanpa senyum di bibirnya.Alicia mengangguk pelan. “Kau baru saja keluar?” tanyanya kemudian.“Ya. Meme