"Kalau aku harus tinggal di rumah es ini, setidaknya aku bisa membuat suhu ruangan naik beberapa derajat," gumamnya seraya menatap dirinya di depan cermin besar di kamarnya tengah mengenakan gaun satin merah menyala yang hanya jatuh sampai setengah paha.
Lekukan tubuhnya terpampang dengan berani. Bahu telanjang. Punggung terbuka. Dan belahan dada yang nyaris tak menyisakan ruang untuk berimajinasi.
Ia membiarkan rambut panjangnya tergerai lembut, memoles bibir dengan lipstik merah gelap, lalu tersenyum kecil pada bayangannya sendiri.
Hari ini, River dijadwalkan menerima tamu bisnis di rumah. Biasanya, dia melarang siapa pun mengganggu saat pertemuan kerja. Tapi Alicia punya rencana lain.
Ketika suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu utama, Alicia turun perlahan dari tangga marmer, membiarkan setiap langkahnya menggema dengan dentingan hak tinggi yang menggoda.
Beberapa pria berdasi dan wanita kantoran langsung menoleh. Dan saat River melihatnya—matanya menyipit tajam. Alicia pura-pura tidak melihatnya. Ia berjalan dengan percaya diri, melewati meja besar di tengah ruangan dan mengambil sepotong anggur dari piring buah.
“Halo semuanya,” ucapnya manis, “aku Alicia Louis. Istri River, si penghuni rumah ini.”
Semua mata terbelalak memandang Alicia yang begitu mempesona juga seksi. Beberapa tamu saling menatap bingung, satu-dua tersenyum kikuk. Sementara River … nyaris menjatuhkan gelas kopinya.
“Alicia,” desisnya dari sela gigi. “Apa yang kau pakai ini, huh?”
Alicia menoleh dengan raut wajah yang pura-pura polos. “Gaun, tentu saja. Aku tidak bisa menyambut tamu penting dengan piyama, kan?”
Tawa ringan terdengar dari sudut ruangan. Seorang wanita pirang berbisik ke temannya, “Pantas dia menyembunyikan istrinya. Ternyata memang sangat cantik dan sangat seksi.”
Mendengar bisikan itu lantas membuat wajah River mengeras.
Ia segera menghentikan rapat lebih cepat dari jadwal dan menggiring semua orang keluar rumah dengan alasan ‘urgent call dari luar negeri’.
Setelah semua tamu pergi, Alicia duduk santai di sofa sambil mengangkat kaki, menyilangkan lututnya, dan mengambil satu butir anggur lagi.
River berdiri tak jauh darinya dengan rahang mengeras dan tangan bertolak pinggang.
“Kau sudah gila, huh?” geramnya kemudian. “Kau pikir ini tempat bermain?”
Alicia mengunyah anggurnya perlahan seraya menatap River dengan tatapan datarna. “Aku hanya ingin memperkenalkan diri. Bukankah itu wajar untuk seorang nyonya rumah?”
“Dengan pakaian seperti itu?!” Nada suara River naik satu oktaf.
“Kalau aku pakai daster dan masker lumpur, mungkin orang-orang akan berpikir aku pembantu, River. Lagi pula, semua orang sudah tahu kalau kau sudah menikah. Lalu, di mana letak masalahnya?” tanyanya seolah menantang River yang sedari tadi menahan amarah karena ulahnya.
River sontak mendekat dengan cepat, tapi Alicia tetap duduk santai. Matanya tak gentar menatap pria itu.
“Kau ingin perhatian, hm?” desis River, “kau ingin memancing reaksiku. Apa kau berharap aku akan tertarik padamu?” bisiknya dengan suara beratnya.
Alicia tersenyum tipis. “Aku hanya ingin kau sadar bahwa aku ada. Dan aku bukan boneka diam yang bisa kau parkirkan di kamar sambil berharap dia membusuk dengan sendirinya.”
“Dan kau pikir dengan mempermalukanku di depan kolega—”
“—Oh, maaf,” potong Alicia cepat. “Kupikir mereka justru bersyukur bisa melihat alasan kenapa River Arthur Louis bisa kalah dalam tawar-menawar warisan.”
Wajah River memucat mendengarnya. “Kau tidak tahu apa-apa tentang warisan itu, sialan.”
Alicia kemudian berdiri, posisinya hanya sejengkal dari River menatapnya dengan senyum sinis di bibirnya. “Kalau begitu beritahu aku. Atau kau lebih suka aku terus bermain-main sampai batas kesabaranmu habis?”
Mata River menatapnya tajam. Napasnya mulai berat, bukan karena hasrat, tapi karena frustasi yang menumpuk.
“Kau benar-benar gila, Alicia,” gumamnya nyaris seperti mengeluh pada dirinya sendiri. “Aku tahu kau membutuhkan uang besar dari nenekku, ayahmu yang butuh suntikan dana dari perusahaanku. Tapi … jangan lupakan bahwa aku tidak akan pernah tergoda sedikit pun. Dan memang benar. Kau hanya boneka yang berdiam diri di sini, yang mencoba menggodaku demi uang jutaan dollar.”
Tangan Alicia mengepal erat mendengar ucapan River tadi. Dia pikir usahanya yang terlihat ‘murahan’ di depan suaminya akan membuahkan hasil. Namun, justru yang dia dapatkan hanyalah hinaan yang membuat dadanya sangat perih.
“Cukup menjadi istri kecil yang penurut saja, Alicia. Tidak harus menggodaku, uang sudah mengalir ke rekeningmu.”
River kembali ke rumah menjelang senja. Langit di luar mulai berwarna jingga pucat, seperti cermin dari isi hatinya yang juga tidak karuan.Begitu membuka pintu kamar, pandangannya langsung tertuju pada sosok istrinya yang sedang duduk diam di sofa, memeluk lututnya sendiri.Lampu kamar belum dinyalakan. Hanya cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela besar, membuat bayangan lembut menyelimuti wajah Alicia.“River? Kau sudah pulang,” ucap Alicia sambil mengangkat kepala, bibir mungilnya membentuk senyum tipis, namun matanya masih menyimpan gurat pilu.River menutup pintu perlahan, lalu melangkah mendekat tanpa suara. Ia berhenti tepat di depan Alicia, memandang wajah perempuan itu dengan tatapan yang dalam dan jujur. Nafasnya terasa berat, tapi ia tahu, sudah waktunya bicara.“Aku tahu kenapa kau berubah jadi pendiam, Alicia,” katanya pelan, suara pria itu terdengar seperti gumaman berat yang baru keluar setelah sekian lama dipendam.“Kau… melihat pesan dari Elena, kan?”Alicia
Alicia sontak tertawa mendengarnya. Tawa itu ringan, namun ada sisa getir yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.“Dari mana kau tahu kalau aku sering menggoda River? Apa dia yang bilang padamu?” tanyanya setengah tidak percaya dengan ucapan Yonas tadi.Ia menatap pria itu dengan alis terangkat, bibirnya masih tersungging senyum meski matanya menyimpan tanda tanya.Yonas menganggukkan kepalanya mantap, wajahnya datar tapi matanya menyimpan sedikit godaan. “Ya. Dia yang memberitahuku bahwa kau adalah penggoda handal,” jawabnya ringan.“Dia bilang... dia tidak bisa berpaling darimu karena sudah tergila-gila. Bahkan ketika Elena pernah memberinya kepuasan, dia tetap kembali padamu. Karena kau yang membuatnya merasa hidup.”Tawa Alicia perlahan menghilang. Senyum di wajahnya menipis, berganti dengan ekspresi canggung yang sulit dijelaskan.Ia menelan salivanya dengan pelan, pandangannya turun menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan.Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ka
Langkah Alicia terasa pelan menyusuri jalur taman yang pernah ia datangi berkali-kali bersama mendiang ibunya.Jalur berbatu kecil yang diapit pohon trembesi dan bunga kamboja itu kini seperti lorong waktu yang membawanya kembali ke kenangan masa kecil—saat tangannya masih menggenggam erat jemari ibunya, sambil mendengarkan cerita-cerita sederhana yang kini terasa seperti harta karun yang tak tergantikan.Angin semilir mengusap pipinya, membelai rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Beberapa helainya berhamburan ke depan wajah, tetapi Alicia tak berniat menyingkirkan.Ia membiarkannya, seperti membiarkan waktu mengalir tanpa kendali. Udara pagi itu lembap, bercampur aroma tanah basah dan dedaunan gugur yang memenuhi jalur taman.Ia melangkah menuju bangku panjang di dekat kolam kecil. Kolam itu tak besar, hanya seluas beberapa meter, tapi cukup untuk menampung beberapa ekor ikan koi yang berenang malas di antara guguran daun.Di tempat itulah dulu ibunya sering duduk sambil menat
Dia tidak mau berprasangka buruk tentang suaminya itu. Dia tidak mau menjadi istri yang posesif, yang langsung menuduh. Tapi kata-kata Elena menusuk ke ruang yang paling dalam.“River tidak pernah membahas tentang orang ini. Apa yang terjadi dengan masa lalunya? Apakah aku harus bertanya, atau menunggunya bicara lebih dulu?” ucapnya dengan pelan. Suara air dari kamar mandi berhenti. Tak lama, pintu terbuka dan River keluar, rambutnya masih basah dan piyama santai melekat rapi di tubuhnya.“Kau belum tidur?” tanyanya dengan santai sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah itu. Alicia cepat-cepat menaruh kembali ponsel River ke meja. Ia memaksa tersenyum dan berlagak sibuk dengan kaus dalam River.“Ya. Aku masih mau packing,” ucapnya dengan pelan. River mengangguk-anggukkan kepalanya dan pergi ke walk in closet untuk mengambil baju tidur. Tak lama kemudian dia kembali dan menghampiri Alicia yang masih tampak campur aduk. Tapi, dia memilih untuk menyembunyikan rasa penasarannya
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika suara mobil terdengar di halaman rumah. Deru mesin yang perlahan berhenti disusul dengan suara pintu mobil tertutup membuat suasana rumah yang sebelumnya tenang mendadak terasa lebih hidup. Di dalam kamar, Alicia yang sedang sibuk mengatur pakaian ke dalam koper besar menoleh sebentar dari tumpukan baju. Tangannya masih memegang baju-baju yang terlipat rapi, namun kini perhatiannya teralihkan oleh suara yang sudah amat dikenalnya. Tak lama, pintu utama terbuka. Suara gesekan kunci disusul dengan langkah kaki berat yang menghentak-hentak pelan di lantai marmer. Alicia tak perlu menebak siapa. Ia tahu betul ritme langkah itu, berat dan mantap, dengan jeda yang khas setiap tiga langkah, seolah pemiliknya sedang berpikir sambil berjalan. Langkah kaki itu mendekat, melewati ruang tengah, kemudian berbelok ke lorong menuju kamar mereka.River muncul di ambang pintu kamar. Tubuh jangkungnya sedikit membungkuk, kemeja putih yang dikenakan
Waktu sudah menunjuk angka enam sore. Senja mulai tenggelam meninggalkan langit kota dengan semburat jingga yang memudar perlahan—seolah langit pun enggan mengucap selamat tinggal pada hari yang melelahkan.Gedung pusat perusahaan Thomas Corp masih terang benderang, menjulang seperti menara kesibukan yang tak pernah tidur. Cahaya-cahaya putih menyala dari ruangan-ruangan yang belum juga kosong, menjadi saksi diam dari ambisi manusia yang tak kenal lelah.Di lantai paling atas, ruang kantor eksekutif dengan interior modern minimalis tetap sunyi, hanya diisi bunyi ketikan keyboard dan dengung samar pendingin ruangan. Pintu kaca berlapis peredam suara membatasi ruang itu dari hiruk-pikuk luar.River masih duduk di balik mejanya, jas dilepas, dasi dilonggarkan. Layar laptop menyala menyorot wajahnya yang lelah, namun sorot matanya kosong.Tatapannya