Keesokan harinya. Alicia mengenakan gaun beludru berwarna maroon, bagian punggungnya terbuka dan lehernya dihiasi kalung mutiara lembut pemberian Monica—nenek River—yang secara khusus mengundangnya untuk makan malam keluarga di mansion keluarga Louis yang megah itu.
River berdiri di hadapannya dengan tatapan datarnya. “Masih ingat, apa yang harus kau lakukan di hadapan keluarga besarku, Alicia?” tanyanya dengan nada dinginnya.
Alicia menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ya. Berakting seolah kita adalah pasangan yang serasi, suami-istri yang tampak bahagia, pasangan baru yang akan menjadi inspirasi bagi keluargamu yang belum menikah.”
“Good!” River hanya berucap seperti itu kemudian meminta Alicia untuk menyilangkan tangannya pada lengannya.
“Pantas saja Nenek memilihmu. Rupanya kau memang cepat tanggap saat diberi perintah. Oh! Aku lupa. Kau bahkan berani menggodaku atas perintah Nenek padahal kau sama sekali tidak mengerti cara menjadi penggoda yang handal.”
Alicia menyunggingkan bibirnya lalu mendengkus pelan. “Mulutmu masih saja tajam. Masih saja mengungkit hal itu!” gerutunya kemudian.
“Aku tidak akan pernah melupakannya!” ucapnya dengan suara dinginnya.
Alicia hanya diam enggan menjawab lagi karena baginya sangat percuma. Dia sudah kalah sejak memutuskan untuk menyerah saat River menyerangnya balik.
Mereka berjalan menyusuri lorong mansion tersebut. Monica langsung menyambut mereka dengan hangat.
“Lihatlah mereka. Pasangan ini … benar-benar serasi.” Ucapan itu diiringi tepuk tangan kecil dari tante-tante tua yang duduk tak jauh dari kursi utama.
Thomas, paman River yang berkumis tebal dan bermata tajam, hanya mendengus kecil. Namun senyum sinis di wajahnya muncul saat Monica berkata, “Akhirnya … kupikir River sudah mulai membuka hatinya lagi. Aku lega melihat cucuku sudah melupakan masa lalunya.”
Alicia hanya tersenyum garing mendengar ucapan Monica tadi. Namun, Alicia sudah tidak peduli. Datang ke sana dan disambut baik bahkan dipuji saja sudah membuat Alicia bisa bernapas lega. Itu artinya, aktingnya berhasil.
Hampir semua memuji kecantikan Alicia dan juga mengatakan bahwa dia memang pantas bersanding dengan River. Tugasnya malam ini memang itu—membuat River menjadi kebanggaan kelurga Louis.
Seketika, udara berubah saat Steven baru saja tiba—namun, pria itu datang seorang diri tanpa pendamping—Deasy. Pria yang merebut kekasih lama River, membuat River jatuh di titik terendah hidupnya, hingga membangun dinding setebal benteng besi—tak mau lagi mengenal cinta.
Alicia bisa merasakan tangan River menegang di pahanya. Namun River tak berkata apa pun. Alicia yang masih belum tahu apa pun hanya diam memandang wajah River yang sangat tegang dan menatap tajam ke arah Steven.
Obrolan makan malam terus berlanjut, hingga suara satu pria membuat Alicia membelalakkan mata.
“Licia?”
Alicia menoleh—dan nyaris tersedak wine-nya. “Yonas?!” serunya kaget seraya menatap pria jangkung berjas krem yang baru datang dan langsung disambut hangat oleh Monica.
Yonas tersenyum lebar dan menghampiri Alicia. “Ya Tuhan, kau di sini juga? Jadi benar kau istrinya River? Dunia memang sangat sempit! Bisa-bisanya kau menikah dengan sepupuku.”
“Sepupu?” Mata Alicia langsung membulat mendengarnya. “Kau benar. Dunia sangat sempit, Yonas. Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan nada ramah.
Mereka segera larut dalam tawa dan perbincangan. Yonas adalah teman kuliah Alicia—pria pintar, lucu, dan selalu membuat suasana jadi lebih ringan. Senyum Alicia kembali muncul untuk pertama kalinya malam itu, dan tawanya mengalir bebas saat Yonas mulai membahas kenangan lama.
Tapi River ....
River hanya diam. Sorot matanya semakin gelap setiap detik berlalu. Ketika Yonas tertawa dan menyentuh lengan Alicia tanpa sengaja—halus tapi cukup untuk membuat River memicingkan mata—itu menjadi detik terakhir kesabarannya.
“Maaf,” ujar River tiba-tiba, dengan suara datarnya. “Aku pinjam istriku sebentar.”
Sebelum Yonas bisa menjawab, River menarik pergelangan tangan Alicia. Semua mata tertuju. Alicia mencoba menahan, tapi River lebih cepat—dan sebelum siapa pun bisa menebak—
River mencium bibirnya.
Dalam.
Lama.
Penuh hasrat.
Dan agresif.
Tawa yang semula terdengar di ruangan itu mendadak membeku. Bahkan Monica terbatuk kecil. Alicia terkejut—matanya membelalak, tangannya mencengkeram lengan River, tapi tidak mendorongnya. Begitu River melepas bibirnya, ia menatap lurus ke mata Yonas.
“Maaf, aku tidak bisa menahan diri sampai-sampai harus mencium istriku di hadapan kalian,” ujar River datar tanpa peduli dengan reaksi semua orang yang ada di sana.
Yonas tertawa pendek. “I know. Kau memang tidak bisa menahan diri dengan wanita mana pun. Apalagi dengan istrimu sendiri. Tentu tidak ada ruang privasi yang akan kau sembunyikan.”
River tak menggubris. Ia kemudian menarik Alicia keluar dari ruangan, berpamitan pada semua orang dengan alasan sudah malam, Alicia tidak bisa bergadang dan harus segera pulang sebelum pukul dua belas malam. Apakah dia berpikir Alicia adalah putri tidur? Yang akan pingsan jika jarum menunjuk angka dua belas berdentang?
“River, hei! Apa yang kau—”
“Diam.”
Begitu sampai di halaman depan, ia membuka pintu mobil dan menyuruh Alicia masuk.
Di dalam mobil, Alicia duduk dengan jantung berdegup.
“Apa begitu caramu tertawa hanya untuk basa-basi?” ucap River dengan nada dinginnya.
Alicia menatapnya dengan bingung. “Kau cemburu?” tanyanya kemudian. “Cemburu pada sepupumu sendiri? Yang benar saja, River.”
River membuang napas kasar. “Aku tidak cemburu. Jaga mulutmu, Alicia!”
Alicia mendengus pelan. “Tapi kau menciumku. Di depan semua orang. Termasuk Steven dan pamanmu. Kau pikir itu tidak berarti apa-apa? Bahkan mereka menatap sinis pada kita setelah kau melepaskan ciuman itu.”
River tak menjawab, hanya memperlihatkan rahangnya yang mengeras dengan cengkeraman tangannya pada kemudi mobil.
“Kau memang pria aneh, River. Kadang dingin. Kadang membakar. Tapi satu hal yang kutahu ... kau tidak suka aku dekat dengan pria lain.”
River menoleh perlahan. Sorot matanya liar seolah tengah menelanjangi Alicia yang duduk di sampingnya itu.
“Aku akan menunjukkan padamu betapa bencinya aku melihatmu tersenyum untuk pria lain.”
Alicia mengerutkan keningnya seraya menahan napas. Ada sesuatu yang lebih berbahaya dari amarah di mata River malam ini: obsesi.
“Jadi itu maksud kedatanganmu ke sini?” suara Steven bergetar tapi sarat akan amarah.“Hanya untuk membelaku—atau lebih tepatnya membela River seperti biasanya? Tidak heran! Dari dulu, apa pun yang terjadi, kau selalu di pihaknya. Tidak pernah sekalipun di pihakku!”Monica menatapnya tajam, tidak tergoyahkan sedikit pun oleh ledakan emosinya.“Dan bagaimana aku bisa berpihak padamu, Steven, kalau semua yang kau lakukan hanya membuat River murka? Kau tidak pernah berhenti menusuknya dari belakang, memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntunganmu sendiri.”Steven menghempaskan gelas ke meja. Cairan merah berceceran di atas kayu, tapi dia tidak peduli.“Aku juga cucumu, Monica! Cucu! Bukan hanya River seorang! Apa kau pikir dunia ini hanya berputar di sekitar dia? Kau selalu menyanjungnya, mengangkatnya sebagai pewaris segalanya, seolah aku ini sampah yang tidak layak dihitung!”Nada suaranya meninggi, matanya merah penuh dendam.Monica berdiri perlahan, tubuh tuanya memancarkan wibaw
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menembus tirai ruang tamu rumah River, tapi suasana di dalam rumah sama sekali tidak mencerminkan ketenangan.Alicia duduk di sofa, kedua tangannya menutupi wajah yang masih sembab. Malam tadi masih berputar di kepalanya—ucapan Steven, tatapan kecewa River, dan keputusannya yang menyesal.Pintu pagar depan berbunyi. Tak lama, ketukan terdengar di pintu utama.Alicia buru-buru bangkit dan mengusap sisa air matanya lalu membuka pintu.Sosok Monica berdiri di sana dengan penampilan rapi seperti biasa, tas tangan di lengan kirinya.“Alicia,” sapa Monica dengan senyum tipis, meski matanya langsung menyapu ruangan tengah mencari seseorang. “River ada?”Alicia tercekat lalu menundukkan wajahnya. “Nenek … River … dia tidak ada di rumah.”Monica mengernyit. “Tidak ada? Pagi-pagi begini ke mana dia?” tanyanya kemudian.Pertanyaan itu menusuk hati Alicia. Sejenak ia ragu, tetapi rasa bersalah menekannya. Wajahnya memucat dan bibirnya bergetar.“Kami … berteng
“Kalau aku terus di sini,” gumamnya dalam hati, “…aku takut aku akan mengucapkan hal-hal yang tak seharusnya.”Dengan langkah pelan namun mantap, River memutar tubuhnya menuju pintu.Alicia memperhatikannya dari tepi tempat tidur. Wajahnya tetap kaku, seolah tak ingin menunjukkan sedikit pun kelembutan.Ia tidak bertanya mau ke mana, tidak memanggil, tidak mencoba menghentikan.Tangan River menyentuh kenop pintu. Untuk sesaat, dia hampir membalikkan badan, hampir berkata sesuatu untuk terakhir kali.Tapi kemudian dia menelan semua kata itu, menggantinya dengan diam yang terasa berat.Klik.Pintu kamar terbuka, dan River melangkah keluar.Langkahnya bergema di lorong rumah yang sepi. Tak ada suara yang mengikutinya, tak ada panggilan dari Alicia. Hanya desahan napasnya sendiri yang terdengar.Begitu ia membuka pintu depan, udara malam yang dingin menyapu wajahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba membiarkan rasa sesak di dadanya terurai.Namun rasa itu justru makin menekan, seperti aw
Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras saat River masuk dengan langkah besar, napasnya masih tersengal karena terburu-buru.Jas yang tadi rapi kini tergantung di lengannya. Matanya langsung menyapu ruang tamu tengah mencari sosok istrinya.Alicia sedang berdiri di dekat jendela sedang menatap keluar seolah tidak peduli siapa yang masuk.Tapi tubuhnya tegang. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan sesuatu yang jelas-jelas membara di dadanya.“Alicia?” River menghampiri istrinya dengan langkah hati-hati.“Di mana kau tadi?” tanya Alicia dengan suara datarnya.River menaikan alisnya kemudian menjawab, “Di kantor. Kau tahu itu—”“Aku tanya,” potong Alicia dan menoleh perlahan ke arah River.Tatapannya tajam, matanya memerah, entah karena marah atau menahan air mata.“Apa kau masih berhubungan dengan Elena? Atau mungkin lebih dari sekadar rekan kerja? Jawab aku dengan jujur kalau kau memang mencintaiku.”River menghela napas berat kemuidan mendekat. “Alicia, dengarkan aku. Elen
“Aku tidak peduli dengan semua yang kau katakan padaku, Steven.” Alicia kemudian meninggalkan pria itu dan berjalan dengan cepat ke dalam rumahnya.Alicia membuka pintu rumah dengan lemas. Bahkan langkah kakinya terasa berat, seolah seluruh tenaga terkuras hanya untuk sampai di sini.Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, dunia seakan menjadi hening.Ia meletakkan tas di atas meja kecil di dekat pintu lalu berjalan tanpa arah menuju sofa.Begitu duduk, tubuhnya langsung terasa lunglai. Tangannya menutupi wajah, dan air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung.Isak kecil lolos dari bibirnya. “Aku … harus percaya siapa?” gumamnya dengan suara parau.Kata-kata Steven kembali bergema di kepalanya, jelas, menusuk, dan memecah keyakinannya."River tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Kau hanya akan jadi tameng dan fantasi seksnya."Alicia menggeleng kuat, mencoba menepis suara itu. Namun semakin dia mencoba, semakin nyata rasa ragu yang menyusup. Semua y
Alicia baru saja menutup pintu mobilnya ketika suara langkah seseorang terdengar mendekat.Ia mendongak dan mendapati Steven berdiri hanya beberapa meter darinya. Tatapan pria itu penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—entah ejekan, atau sekadar kepuasan aneh melihatnya.“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Alicia datar dengan kedua tangannya menahan tali tas yang tergantung di bahunya.Steven tersenyum miring, seperti orang yang baru saja menemukan celah untuk menusuk lawan.“Aku cuma ingin bicara. Dan … aku tahu sesuatu,” ujarnya santai tapi nadanya mengandung racun.Alis Alicia sedikit berkerut. “Sesuatu?” ulangnya kemudian. “Apa yang kau tahu, Steven?”Steven mengangguk dan melangkah beberapa langkah ke arah Alicia.“Aku tahu kau melihatnya,” lanjut Steven kemudian memperlihatkan foto saat Alicia melihat River tengah menggendong Elena menuju klinik.