Alicia berbaring di sofa panjang ruang baca, menyelubungi dirinya dengan selimut tipis. Sudah dua hari sejak insiden malam itu—malam ketika River menciumnya untuk pertama kalinya dan ia sendiri malah panik.
Ia meneguk teh hangat saat suara langkah kaki berat terdengar. River muncul dari balik pintu—rambutnya masih acak-acakan, mengenakan kaus hitam polos dan celana training. Matanya tak lagi sedingin es. Tapi juga bukan lembut. Melainkan lebih seperti bara yang mulai menyala.
“Ada acara khusus malam ini?” tanya Alicia dengan cepat seraya menatap wajah River.
River tak menjawab. Ia hanya melangkah ke meja kecil dan membuka lemari kayu tempat wine merah tua tersimpan. Mengambil dua gelas wine dan menuangnya di atas meja kayu di hadapannya.
“Minumlah,” titah River dan memberikan satu gelas berisi wine kepada Alicia.
Alicia tampak ragu sejenak, lalu berdiri dan mengambil gelas itu. “Hanya satu gelas.”
River mengangkat alisnya lalu mengangkat gelasnya. “Untuk sebuah pernikahan yang absurd,” ucapnya datar.
Alicia tidak menanggapi ucapan River yang sepertinya sedang menyindirnya karena sudah membuat River kesal setelah mati-matian menahan diri untuk tidak menyentuh Alicia. Namun, yang Alicia lakukan justru malah menolak sentuhan itu dengan alasan takut.
Mereka sama-sama meneguk anggur tersebut. Rasa wine itu manis dan sedikit pahit di akhir—seperti hubungan mereka. Alicia tak menyadari bahwa gelasnya telah diisi ulang oleh River dan ia terlalu lengah untuk menghitung seberapa banyak ia sudah meneguk.
“River ... kau sengaja menuangkan wine lagi dan lagi ke dalam gelasku?” gumamnya dengan pelan setelah merasakan sedikit pening di kepalanya.
River hanya menatap tanpa berniat menjawab pertanyaan istrinya. Lalu perlahan melangkah mendekat. Suasana berubah drastis. Sunyi. Mencekam. Dan erotis.
River mengambil botol wine itu lagi dan menuangkan sedikit isinya ke leher Alicia. Cairan merah tua itu mengalir lambat di kulit putihnya, menyusuri tulang selangka.
Alicia menjerit pelan, “River! Apa yang kau—”
Belum sempat selesai, River mendekat dan menjilatnya perlahan.
“Aku sudah bersabar selama ini. Tapi kau terlalu suka bermain api,” bisik River serak, tepat di telinganya. “Sekarang giliran aku yang akan membakar jiwamu, Alicia.”
Alicia menggigit bibirnya. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena ketegangan yang menusuk setiap inci sarafnya.
River mendorongnya perlahan ke sofa. Tubuhnya kini berada di atas Alicia. Tapi tak menyentuh terlalu dalam. Ia hanya bicara pelan, namun nada suaranya tegas, dominan, dan penuh godaan. “Kau yang memulainya malam itu. Dengan lingerie tipis. Dengan bibir merahmu. Dengan tantanganmu.”
Tangannya menyentuh dagu Alicia dan mengangkatnya sedikit. “Kau membuatku gila, Alicia.”
Alicia membuang napas berat. “Aku … aku tidak menyangka kau akan membalik keadaan seperti ini.”
River menyunggingkan senyum sinis. “Kau pikir aku hanya tahu cara menolak? Kau salah. Aku hanya menunggu saatnya tiba.”
Wajah mereka kini hanya terpisah beberapa sentimeter. Napas mereka saling menyentuh. Alicia menoleh sedikit, tapi River menahan dagunya.
“Kau takut?” bisik River dengan suara rendahnya.
Alicia hanya menatapnya cukup lama. Matanya kabur oleh pengaruh wine, tapi pikirannya masih cukup sadar untuk tahu—bahwa ini lebih dari sekadar permainan tubuh.
“Aku takut ... kehilangan diriku sendiri kalau aku menyerah padamu,” jawabnya dengan nada lirih.
River terdiam sejenak. Lalu tersenyum miring. “Dan aku tidak peduli dengan hal itu.”
Ia menunduk lalu mencium bibir Alicia—kali ini perlahan, lebih dalam dari sebelumnya. Namun saat tangannya mulai menyusuri bahu Alicia dan menyentuh tali tipis baju tidurnya…
“Tu-tunggu!” Alicia tiba-tiba menarik napas tajam dengan tubuh yang menegang. Napasnya tak beraturan karena ulah River yang membuatnya menjadi serba salah bahkan ketakutan.
River menghentikan gerakannya dan menatap mata itu sekali lagi.
Alicia menoleh. “Aku … belum siap, River. Bukan karena aku tak mau. Tapi … bukan seperti ini caranya. Kau membuatku mabuk. Kau menjilat aku seakan aku … makananmu.”
River menyunggingkan senyum mendengar ucapan Alicia tadi. “Kau benar-benar wanita yang sangat polos, Alicia.” River kemudian menatap Alicia dengan tatapan lekatnya.
Kilat nafsu dalam matanya tidak bisa lagi disembunyikan. Sangat terlihat dan nyata. “Kau penggoda yang handal. Tapi, ternyata tidak tahu caranya bercinta yang panas membara itu seperti apa,” cibirnya kemudian menjauh dari Alicia.
River menatap datar wajah Alicia yang masih terduduk kaku di sofa. “Jangan pernah menggodaku lagi jika tidak tahu apa yang harus kau lakukan.”
River berbalik hendak meninggalkan Alicia yang masih belum bergerak sedikit pun. "Besok, akan ada acara makan malam di rumah nenekku. Datanglah dan berakting dengan benar. Jangan sampai ayahmu menanggung akibatnya jika kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan di sana!"
Cahaya lilin bergetar lembut di atas meja makan, menciptakan bayangan panjang di dinding kabin yang terbuat dari kayu pinus.Aroma wine merah dan saus krim keju masih menggantung samar di udara. Piring-piring kosong sudah tersisih ke sisi meja, menyisakan hanya dua gelas yang tinggal separuh isi.Alicia duduk di ujung meja, mengenakan gaun tidur satin hitam dengan belahan tinggi, rambutnya digerai, bibirnya masih memerah oleh anggur yang baru saja diteguk.Matanya tajam, namun tak bisa menyembunyikan sinar menggelitik yang menyala tiap kali menatap River."Jadi, apakah makan malamku memuaskan, Tuan Louis?" tanyanya dengan nada menggoda.River menyandarkan diri pada kursinya, menatap istrinya dari atas hingga bawah.Kemeja putihnya terbuka tiga kancing, menggoda dengan cara yang sangat sengaja.“Makanan tadi enak. Tapi bukan itu yang paling menggugah selera malam ini.”Alicia menaikkan satu alis. “Oh ya? Apa it
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai kamar hotel yang mewah.Alicia terbangun dengan tubuh yang masih dibalut sisa-sisa kelelahan malam sebelumnya.Ketika matanya terbuka perlahan, ia mendapati River sudah duduk di pinggir ranjang, mengenakan kemeja linen putih yang sedikit terbuka di bagian dada.Rambutnya yang acak-acakan justru membuat pria itu tampak semakin menggoda."Bangun, kitten. Kita punya banyak yang harus dibeli hari ini," bisik River sambil mengelus lembut pipinya.Alicia menggeliat pelan dan tersenyum mengantuk. “Belanja? Pagi-pagi begini?”River menyeringai. "Kita butuh perlengkapan. Baju baru untukmu. Dan... beberapa barang khusus."Mata Alicia sedikit membelalak. Tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu dalam nada suara River yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Setelah mandi dan bersiap, mereka turun k
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi.Udara pagi di Pegunungan Rocky terasa menusuk tulang, tapi kabin mewah mereka tetap hangat.Dari jendela besar yang menghadap pegunungan bersalju, sinar matahari menyelinap pelan dan menyapa wajah Alicia yang masih tertidur di dada telanjang River.Lelaki itu sudah terjaga lebih dulu, matanya menatap istrinya dengan intensitas yang tenang namun dalam.Rambut Alicia berantakan dengan cara yang membuatnya terlihat semakin memesona.Di balik selimut bulu angsa itu, tubuh mereka masih telanjang, saling menyatu sejak semalam, tak terpisahkan oleh apapun.River mencium pelipis Alicia dengan lembut. “Pagi, Mrs. Louis,” bisiknya dengan suara serak penuh sisa gairah.Alicia menggumam kecil, lalu mengangkat wajahnya. Bibirnya memerah dan basah, mata cokelatnya masih setengah mengantuk. “Mmm ... pagi. Apa tadi malam nyata? Tubuhku … benar-benar seperti baru saja ditimpa oleh batu
Perjalanan menuju tempat bulan madu mereka dimulai tepat setelah makan malam.Langit Kanada semakin gelap, namun lampu-lampu kota memancarkan kehangatan di balik udara yang mulai menggigit.Alicia duduk di dalam mobil hitam elegan yang membawa mereka menuju lokasi yang belum diberitahu oleh River.Ia sesekali melirik ke arah suaminya yang duduk diam di samping, tampak sibuk dengan ponselnya. Namun di sela-sela kesibukannya, River masih sempat menggenggam tangan Alicia.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanya Alicia penasaran.River menoleh dan tersenyum samar. “Sedikit lagi. Bersabarlah.”Alicia hanya bisa mengangguk. Dalam hatinya, ia setengah gugup, setengah bersemangat.Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya ini akan menjadi malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya.Malam di mana River mungkin akan lebih terbuka. Malam di mana jarak mereka perlahan mencair.Sekitar tiga puluh menit kem
Pagi itu, udara Kanada masih menyisakan kesejukan. Salju tipis yang mencair di sepanjang jalan terlihat berkilau tertimpa cahaya matahari.Alicia bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun krem elegan tanpa lengan yang jatuh rapi hingga mata kaki.Rambutnya digulung rapi ke atas, menyisakan beberapa helai lembut yang menggantung di sisi pipinya. Ia terlihat menawan—dan kali ini, ia benar-benar menyadarinya.River hanya menatapnya sebentar dari balik koran yang dibacanya sambil duduk di sofa.Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau semakin mirip istri CEO sekarang,” komentarnya.Alicia menoleh dengan alis terangkat. “Jangan-jangan kau baru sadar aku memang istrimu?”River terkekeh pelan. “Oh, aku sadar. Hanya saja baru sekarang kau terlihat seperti akan menggantikan posisi CEO.”“Berlebihan.”“Sedikit.”Mereka berangkat menuju kantor cabang baru River yang berada di jantung kota, tepat di gedung pencakar langit yang menghadap Danau Ontario.Hari ini adal
Langit Kanada menjuntai cerah dengan bias matahari yang lembut memantul di atas hamparan salju yang mulai mencair.Perjalanan dari London ke Toronto berlangsung cukup tenang, dan kali ini Alicia tampak lebih tenang daripada sebelumnya.Ia mencoba menghibur dirinya sendiri. Senyum tipis sering menghiasi wajahnya meski hatinya belum sepenuhnya pulih dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.River yang duduk di sampingnya sesekali melirik ke arah Alicia. Ia menyadari bahwa istrinya tengah berusaha keras untuk menyesuaikan diri.Dan meskipun hatinya ingin berkata banyak, ia tetap memilih diam. Mungkin karena kebiasaan. Mungkin karena takut jika penjelasan justru membuka luka baru.Setibanya di Kanada, mereka disambut oleh udara sejuk dan langit biru jernih.River yang biasanya kaku, untuk pertama kalinya mengajak Alicia berjalan santai di pusat kota, berkeliling di kawasan tua Quebec dengan bangunan-bangunan Eropa yang megah dan jalanan berb