Dipaksa nikah.
*** “Reina! Kamu harus menikah ldengan pria pilihan Ayah. Ayah sudah janji ke seseorang untuk menikahkan kamu dengannya.” Wanita muda yang cantik bernama Reina natasya tersedak mendengar ayahnya mengatakan hal itu. Seketika matanya melebar. Ia meletakkan gelas air yang sedang ia minum di atas meja. “Ayah … apaan sih, Yah! Aku kan masih SMA. Satu bulan lagi aku akan lulus. Aku akan mencari pekerjaan. Kok malah ngomongin soal nikah. Aneh-aneh saja Ayah ini.” Reina bersungut dan hendak pergi ke kamarnya. Tapi ibunya, Sita, memanggilnya untuk duduk kembali. “Reina! Kamu jangan pergi dulu! Tidak sopan meninggalkan orang tua yang belum selesai bicara!” Dengan terpaksa, Reina duduk kembali. Wajahnya tidak lagi cerah. Mahmud menarik napas dalam dan menghenpaskannya. “Sebenarnya Ayah juga nggak tega memaksamu untuk nikah dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Hutang kita sudah menumpuk. Kita sudah tidak punya tanah lagi untuk melunasi hutang ke beliau. Apalagi uang. Jika kamu mau menikah dengan beliau, beliau menjanjikan, semua hutang kita akan dianggap lunas.” Reina tertawa kecil. Tawa yang menyakitkan untuknya. Dia merasa antara percaya dan tidak percaya mendengar kata-kata ayahnya yang selama ini sangat menyayanginya. Ayah yang selalu menuruti keinginannya, walaupun dia hanya meminta apa yang bisa disanggupi ayahnya saja. Karena ia sadar ayahnya hanya seorang kuli bangunan. “Jadi, Ayah mau menjadikan aku sebagai pelunas hutang?!” Mata Reina mulai berkaca-kaca. “Ayah sebenarnya tidak tega! Tapi, kita tidak punya jalan lain, Nak. Maafkan Ayah.” Mahmud menundukkan kepalanya. Dia meremas jemarinya. Sedangkan Sita, sang istri mengelus bahu suaminya yang terlihat sangat menyesali tindakannya. Sebenarnya Sita juga kasihan kepada Reina. Putri pertama mereka harus berkorban demi melunasi hutang. Tapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa dia mendukung keputusan suaminya. Reina memperhatikan kedua orang tuanya. Nampak sangat jelas di matanya kalau kedua orang tuanya begitu putus asa. Tapi, ia juga tidak mau mengorbankan hidup dan sekolahnya demi membayar hutang kedua orang tuanya. Ia berpikir keras. Lalu bertanya kepada ayahnya, “Berapa hutang Ayah?” Tetapi, angka yang disebutkan ayahnya diluar prediksinya. “Lima ratus juta.” “Haaa! Li_lima ratus juta?! Hutang apaan itu?!” “Kamu gak usah banyak tanya, Re! Sebaiknya kamu persiapkan saja dirimu untuk menikah besok!” “Besok?! Reina harus menikah besok? Ayah akan menikahkan Reina, besok?! Dengan orang yang sama sekali belum Reina kenal?!” Ketiga adiknya juga menunjukkan keterkejutan mereka. Muka Reina merah padam. Matanya yang tadi hanya berkaca-kaca, sekarang dibanjiri air mata yang mengalir deras.” “Re! Ibu yakin, kalau orang yang dipilihkan ayahmu untuk menjadi jodohmu, pasti yang terbaik untukmu.” “Bu! Mungkin pilihan Ayah, yang terbaik menurut Ayah. Tapi bukan menurutku. Jodoh yang baik itu, jodoh yang datang dari Allah! Bukan jodoh yang datang karena hutang piutang.” “Mungkin ini jalan dari Allah Subhana huwata'ala, Nak.” Sita meyakinkan anaknya agar menuruti keinginan Mahmud. Reina masuk ke kamarnya dengan kesal. Dia menangis dengan menutup mulutnya dengan bantal. Sedangkan Sita dan Mahmud menyesali kemiskinan mereka. “Jika saja saya tidak punya banyak hutang, tentu kita tidak harus memaksa anak kita untuk menikah muda!” “Gak apa-apa, Mas! Reina itu bukan lagi anak kemarin sore. Dia sudah cukup umur untuk menikah. Dan orang yang akan kita nikahkan dengan Reina, bukanlah orang sembarangan. Hidupnya pasti akan terjamin jika dia menikah dengannya. Jadi, Mas gak perlu merasa menyesal. Seperti yang Aku bilang tadi, mungkin ini sudah jalan dari Yang Maha Kuasa.” “Semoga saja keputusan kita ini tidak salah ya, Dek?” Sita mengamini kata-kata suaminya. “Terima kasih, Dek. Selama ini, kamu selalu memberiku semangat dan mendukung semua keputusanku,” ucap Mahmud penuh haru. “Karena, aku yakin, keputusan Mas itu tidak pernah salah.” Reina menutup kedua telinganya dengan bantal. Dia tidak mau mendengar perbincangan kedua orang tuanya. Ingin memberontak pun percuma. Terpaksa dia menerima nasibnya. Setidaknya, ini adalah baktinya kepada ayah ibunya. Ketiga adiknya masuk ke kamarnya tanpa bersuara. Mereka tidak berani mengganggu kakak mereka yang sedang menangis. Buku pelajaran yang sudah selesai mereka baca, diletakkan di lemari belaja yang ada di samping tempat tidur mereka. Mereka tidur tanpa menghiraukan Reina. Entah berapa lamanya Reina menangis, hingga dia terlelap. Adzan subuh berkumandang. Sita membangunkan Reuni setelah ia selesai shalat subuh. Biasanya dia tidak perlu membangunkan Reina dan adik-adiknya. Mereka selalu terbangun saat suara adzan berkumandang. Tapi karena Reina habis menangis semalaman, membuat dia terlelap. Reina bangun dan langsung pergi berwudhu tanpa bicara dengan ibunya. Setelah melaksanakan shalat subuh, dia mencari buku pelajaran yang akan ia bawa ke sekolah. Menghapalnya sedikit, lalu menyimpan bukunya di dalam tas. Tak lupa ia menyapu rumah dan langsung mandi. Sedangkan ibunya menyiapkan sarapan. Setelah mandi, dia memakai seragam sekolahnya seperti biasa. Kemudian ia menyantap sarapan yang sudah ada di meja makan bersama ketiga adiknya, juga Sita dan Mahmud. Reina menyantap sarapannya tanpa bicara sepatah kata pun. Dia tidak peduli dengan keheranan orang tuanya, yang menatapnya dengan tatapan heran. Mahmud saling pandang dengan Sita lalu menatap Reina. Sedangkan ketiga adiknya menatap mereka bergantian. “Kenapa kamu masih pakai seragam, Nak?” tanya Sita di sela-sela suapannya. “Karena hari ini bukan hari libur,” jawabnya tanpa ekspresi. Dia memakan nasi goreng buatan ibunya dengan lahap. Setelah selesai, bergegas ia mengambil tas sekolahnya. “ Aku berangkat,” ucap Reina seraya mengucapkan salam. Sita ingin menghentikannya, tapi tangannya ditahan oleh Mahmud. Ketiga adik Reina berseru, “Tunggu, Kak!” mereka mencium punggung tangan kedua orang tua mereka lalu berlari menyusul Reina. Adiknya yang bungsu masih kelas empat sekolah dasar. Namanya Keysa. Adiknya yang di atas si bungsu, kelas tujuh SMP, namanya Caca. Sedangkan yang di bawah Reina, kelas sembilan SMP. Namanya Tasya. Arah ke sekolah mereka sama. Sita mengutarakan kecemasannya kepada sang suami. “Mas! Pernikahannya nanti sore. Kalau Reina masih berangkat ke sekolah, Aku takutnya dia akan melarikan diri nantinya. Kamu lihat kan? Bagaimana dia menolak perjodohan ini dengan keras?” Mahmud tersenyum. “Aku yakin, Dek. Putri kita tidak seperti itu. Dia pasti akan menuruti keinginan kita. Dia tidak akan membiarkan kita terlilit hutang.” “Bagaimana jika keyakinan Mas, salah?” “Aku tidak akan salah menilai putri kita. Aku sangat percaya, putri kita mempunyai jiwa yang luhur dan berbakti kepada kita. Jadi, dia tidak akan melarikan diri.” “Terserah Mas saja! Tapi kalau dia tidak pulang, jangan salahkan aku.” Sita beranjak meninggalkan meja makan dengan semua piringkotor untuk dibawanya ke tempat pencucian piring.Reina segera melepas rengkuhan tangan Andika dan menyambar handuk yang ada di gantungan kain lalu bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Saat melewati dapur, ternyata Sita sedang di dapur. Pada hari -hari sebelumnya, Sita memang selalu bangun sepagi itu, untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suaminya. Tidak hanya itu, dia selalu memanaskan air untuk mandi suaminya. Karena suaminya tidak kuat mandi dengan air dingin. “Reina! Ibu sudah panaskan air untuk mandi suamimu. Apa suamimu sudah bangun?” Andika yang tiba-tiba datang dari belakang Reina menyahuti, “Tidak usah repot-repot, Bu. Aku mandi pakai air dingin saja.” Reina terkejut saat Andika menyahuti kata-kata ibunya. Dia tidak tahu kalau Andika mengekor dari belakang. Dia merasa malu berdekatan dengannya di depan ibu dan ayahnya. Apalagi saat mengingat kejadian barusan, dia benar-benar merasa malu terhadap Andika. Dia pergi ke kamar mandi tanpa berkata apapun. “Gak repot kok nak Andika. Sekalian tad
Setelah shalat isya berjamaah, Reina mencium punggung tangan Andika. Andika memanjatkan do'a yang di Aamiinkan oleh Reina. Sita dan Mahmud tersenyum bahagia melihat mereka melaksanakan shalat wajib berjamaah. Sita merapatkan pintu kamar mereka yang masih terbuka separuh, lalu mengajak suaminya untuk kembali ke kamar mereka yang ada di sebelah kamar Reina. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar yang letaknya bersebelahan. Kamar yang pertama dihuni oleh Reina dan Andika. Kamar kedua dihuni oleh Mahmud dan Sita, kamar ke tiga dihuni oleh ketiga adik Reina. Sedangkan kamar mandinya hanya ada satu. Mereka menggunakannya secara bergantian. Setelah sampai di kamar mereka, Mahmud duduk di tempat tidurnya dengan tersenyum bahagia. Tetapi di sela senyumnya, ada bulir bening yang menetes dari bola matanya. “Kenapa Mas menitikkan air mata?” tanya Sita heran setengah berbisik, karena takut akan didengar oleh Reina dan menantunya. “Ini air mata bahagia, Bu. Mas bersyukur, akhirnya anak kita b
Malam Pertama *** Suara ponsel Andika berdering. Andika mohon pamit kepada Reina untuk mengangkat ponselnya. “Re! Mas keluar sebentar.” Reina mengengguk dengan tersenyum kecil. “Baru malam pertama menikah saja sudah mau sembunyi-sembunyi mengangkat teleponnya,” batin Reina.. Lagi-lagi ada rasa curiga di hati Reina melihat tingkah orang yang baru tadi sore menghalalkannya itu. Dengan sengaja dia mengikuti Andika secara diam-diam. Andika meletakkan ponselnya di telinga sambil bergegas berjalan ke luar. Setelah sampai di luar, dia kembali mematikan ponselnya. Terlihat Andika menemui seorang lelaki berpakaian seragam warna hitam. Orang itu menyerahkan beberapa bungkusan kepada Andika. Lalu dua orang yang memakai pakaian batik yang tadi mengatur kerumunan di acaranya juga ada di sana. Reina mengernyitkan dahinya heran. “Kenapa orang organizer masih ada di sini? Ini kan sudah malam,” batin Reina. Mereka terlihat menunduk memberi hormat sebelum meninggalkan Andika. Reina m
mencari kekurangannya *** Reina merasa pernikahan paksaan itu berujung dengan hatinya yang menghangat. Sekilas dia melihat wajah suaminya. Ternyata benar bisik-bisik tetangganya, bahwa pengantinnya tampan sekali. Belum pernah dia melihat lelaki setampan orang yang sudah menghalalkannya itu. Tanpa ia sadari, senyum bahagia tersungging di bibirnya. Tapi ada tanda tanya dalam hatinya yang belum terjawab. “Kenapa pria seganteng ini mau dijodohkan denganku? Tadinya aku pikir yang akan menikah denganku seorang kakek-kakek atau seorang yang cacat. Apa dia punya kekurangan yang belum aku lihat?” Acara ijab Qabul telah selesai. Namun ada rasa curiga yang masih tersimpan dalam benak Reina. “Apa kekurangan orang ini sehingga dia mau melunaskan hutang ayahku yang sebanyak itu hanya dengan menikahiku.” hatinya terus bertanya. Sekarang saatnya dia bersalaman dan berkenalan dengan keluarga dari orang yang baru menghalalkannya. Saat bersalaman dengan kedua orang tua si suami, Reina d
2 Ijab Qabul dadakan *** Dari jauh sudah tampak tenda pelaminan dan hiasan bunga-bunga terpajang dan bergantungan di depan rumah Reina. Dada Reina berdebar kencang. Ternyata kata-kata ayahnya bukan sebuah lelucon seperti yang diharapkan. Dia melangkahkan kakinya yang terasa ingin roboh ke tanah. Air matanya menetes mamandangi bunga yang bergelantungan di setiap sudut tenda di depan rumahnya, sampai ke dalam rumahnya. Berbeda dengannya, ketiga adiknya tampak sangat bersemangat dan bergembira. “Wah! Makan enak nih,” seru si bungsu sambil berlari ke dalam. Kedua kakaknya juga mengikutinya. Seseorang datang menuntunnya untuk segera masuk dan berganti pakaian. Dia adalah bibinya. Adik dari ibunya yang datang dari desa sebelah. Dia sengaja datang untuk menghadiri pernikahan Rena. “Bibi? Bibi di sini?” tanya Reina seperti orang bingung. “Iya, Sayang. Tadi pagi ibumu menelpon Bibi. Katanya kamu akan menikah hari ini. Makanya Bibi ada di sini.” perempuan itu memeluk Reina deng
Dipaksa nikah. *** “Reina! Kamu harus menikah ldengan pria pilihan Ayah. Ayah sudah janji ke seseorang untuk menikahkan kamu dengannya.” Wanita muda yang cantik bernama Reina natasya tersedak mendengar ayahnya mengatakan hal itu. Seketika matanya melebar. Ia meletakkan gelas air yang sedang ia minum di atas meja. “Ayah … apaan sih, Yah! Aku kan masih SMA. Satu bulan lagi aku akan lulus. Aku akan mencari pekerjaan. Kok malah ngomongin soal nikah. Aneh-aneh saja Ayah ini.” Reina bersungut dan hendak pergi ke kamarnya. Tapi ibunya, Sita, memanggilnya untuk duduk kembali. “Reina! Kamu jangan pergi dulu! Tidak sopan meninggalkan orang tua yang belum selesai bicara!” Dengan terpaksa, Reina duduk kembali. Wajahnya tidak lagi cerah. Mahmud menarik napas dalam dan menghenpaskannya. “Sebenarnya Ayah juga nggak tega memaksamu untuk nikah dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Hutang kita sudah menumpuk. Kita sudah tidak punya tanah lagi untuk melunasi hutang ke beliau. Apalagi uang