2 Ijab Qabul dadakan
*** Dari jauh sudah tampak tenda pelaminan dan hiasan bunga-bunga terpajang dan bergantungan di depan rumah Reina. Dada Reina berdebar kencang. Ternyata kata-kata ayahnya bukan sebuah lelucon seperti yang diharapkan. Dia melangkahkan kakinya yang terasa ingin roboh ke tanah. Air matanya menetes mamandangi bunga yang bergelantungan di setiap sudut tenda di depan rumahnya, sampai ke dalam rumahnya. Berbeda dengannya, ketiga adiknya tampak sangat bersemangat dan bergembira. “Wah! Makan enak nih,” seru si bungsu sambil berlari ke dalam. Kedua kakaknya juga mengikutinya. Seseorang datang menuntunnya untuk segera masuk dan berganti pakaian. Dia adalah bibinya. Adik dari ibunya yang datang dari desa sebelah. Dia sengaja datang untuk menghadiri pernikahan Rena. “Bibi? Bibi di sini?” tanya Reina seperti orang bingung. “Iya, Sayang. Tadi pagi ibumu menelpon Bibi. Katanya kamu akan menikah hari ini. Makanya Bibi ada di sini.” perempuan itu memeluk Reina dengan penuh kasih sayang. Di dalam rumahnya, suasana sudah ramai oleh para tetangga yang menyiapkan hidangan. Sedangkan dekorasi, dikerjakan oleh orang-orang yang profesional. Terlihat dari rapi dan cepatnya mereka mengerjakan pekerjaan mereka. “Pergilah mandi dan shalat Zuhur dulu, Re. Setelah itu, kamu makan dan berganti pakaian,” suruh bibinya setelah mereka di dalam. Reina tidak menjawab. Dia justru menanyakan keberadaan ibunya yang tidak tampak diantara orang banyak. “Ibu mana, Bi?” “Ibu di sini,” seru ibunya yang datang dari arah dapur. Tanpa ba-bi-bu, Reuni menarik tangan ibunya ke dalam kamar. Lagi-lagi Reina terpana melihat isi kamarnya yang sudah berubah. Dari kasur butut sudah menjadi Spring bed baru yang besar dengan sprei mahal. Dari lemari butut yang pintunya sudah patah, menjadi lemari besar yang terlihat mewah, dan dihiasi dengan dekorasi yang indah. Dia tidak mau berlama-lama mengagumi kamarnya. Dia langsung bicara kepada ibunya. “Bu! Aku tidak mau menikah! Aku masih mau sekolah, Bu.” “Nanti kamu bicarakan dengan suamimu. Jika kamu sudah menikah, semua keputusan yang kamu ambil, harus seizin suamimu.Termasuk sekolah.” “Tapi aku tidak mau menikah, Bu!” seru Reina dengan suara tercekat. Sita menghempaskan napasnya sebelum menjawab kata-kata anaknya. “Baiklah! Terserah kamu, Re. Ibu tidak akan memaksamu lagi. Semua hiasan, tenda dan hidangan termasuk tempat tidur dan lemari baru yang kamu lihat ini dibiayai oleh calon suamimu. Ibu dan ayahmu tidak rugi apa-apa. Ibu ikhlas jika ayahmu masuk penjara.” Air mata Sita jatuh membasahi pipinya. Dia keluar dan menutup pintu kamar Reina. Reina terduduk di ranjang empuk yang baru dia lihat di kamarnya. Sudah lama ia menginginkan ranjang baru seperti ini. Tapi sekarang, saat ia mendapatkannya, dia tidak menginginkannya sama sekali. Kata-kata ibunya yang mengatakan ayahnya akan dipenjara jika ia menolak pernikahan ini, membuatnya harus mengambil keputusan yang berat dalam hidupnya. Dia harus mau menikah karena dia tidak ingin ayahnya masuk penjara hanya gara-gara dia menolak dinikahkan. “Re … kamu cantik sekali! Calon suamimu pasti pangling melihatmu,” ucap bibinya yang bernama Dani. Dia menatap keponakan kesayangannya dengan rasa kagum. “... Akan lebih cantik lagi jika kamu tidak menangis.” Dia memegang bahu Reina dari belakang. Reina yang duduk menatap dirinya di cermin, sudah berusaha keras untuk tidak menangis. Tapi, sekuat apapun ia menahan air mata, sekuat itu pula air bening itu berontak untuk keluar. Melihat Reina menangis, bibinya menarik napas dan tersenyum. “Kamu tahu Re! Tadi ibumu juga menangis tidak henti-henti. Hanya di depanmu dan ayahmu dia terlihat tegar. Di belakangmu dia sangat rapuh. Jika kamu seperti ini, dia akan menyesali keputusannya karena sudah memaksamu menikah.” Reina menghapus air matanya menggunakan tissue secara perlahan agar tidak merusak make upnya. “Ibu tidak akan menyesal, Bi. Ibu sangat menyayangi ayah. Dia rela menjualku demi ayah. Baginya lebih baik mereka menjualku dari pada membiarkan ayah masuk penjara.” “Lalu? Apa kamu mau membiarkan ayahmu masuk penjara?” Reina menggeleng sambil terisak. Dani mengelus bahu Reina. Kembali ia menghempaskan napasnya. “Re! Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, apalagi menjualnya. Suatu saat nanti, kamu akan mengerti, dan kamu akan berterima kasih kepada ayah dan ibumu.” Dalam hati, Reina berkata, “Sudah pasti ayah dan ibu menjodohkan aku dengan seorang kakek-kakek. Apa aku harus berterima kasih karena telah dijodohkan dengan kakek-kakek?” “Pengantin pria dan penghulu sudah menunggu,” ucap seorang tetangga menjemput Reina. “Sudah, Nak. Sekarang kamu tarik napas, dan terima takdir ini dengan ikhlas. Maka hatimu, akan tenang,” bisik Dani di telinga Reina.. Reina keluar didampingi oleh Dani dan tetangganya. Bisik-bisik tetangganya yang lain membuat Reina penasaran dengan wajah calon suami yang mereka gadang-gadang sangat tampan. “Beruntung sekali Reina, ya? Dapat suami setampan itu.” “Iya! Seperti seorang pangeran dari kahyangan. Jika aku mendapatkan menantu seperti dia, aku akan puasa setiap Senin dan Kamis.” “Apa iya, dia setampan itu?” batin Reina.. Reuni terus berjalan perlahan. Karena ia memakai kebaya, kakinya tidak bisa melangkah lebar. Dia berusaha mencari celah untuk melihat wajah calon suaminya. Tapi, kerumunan orang yang hadir membuat Reuni kesulitan untuk melihat wajah calon suaminya. “Tolong beri jalan untuk pengantin,” seru dua orang pemuda berseragam batik. Reina belum pernah melihat mereka sebelumnya. “Mungkin mereka berdua anggota pelaksana acara,” batin Reina. Padahal, diluar sepengetahuan Reina, dua orang itu adalah ajudan Andika Permana, calon suaminya sendiri. Akhirnya Reina dapat melihat punggung calon suaminya. Punggung yang kekar sedang duduk bersila membelakanginya di depan penghulu. Reina dituntun duduk di sisi kiri calon suaminya. Reina ingin menoleh ke arah pengantin pria, untuk mengobati rasa penasarannya. Tapi entah kenapa ia merasa malu. Bulu romanya merinding saat duduk berdekatan dengan pria yang akan menjadi suaminya itu. Aroma tubuhnya yang wangi, seolah menghipnotis Reina. Sehingga ia merasa nyaman untuk duduk berdekatan dengan pria yang ada di sampingnya. Akhirnya ijab Qabul pun dibacakan oleh penghulu. Andika menjawab dengan satu tarikan napas tanpa ada kesalahan. “Saya terima nikah dan kawinnya Reina natasya binti Mahmud, dengan mas kawin satu hektar tanah, satu set perhiasan emas, sebuah cincin berlian dan uang lima ratus juta dibayar tunai!” Semua saksi yang hadir mengucapkan kata sah. Reina dapat mendengar helaan napas lega dari mempelai pria. Selain itu ia juga heran dengan mahar yang diberikan oleh lelaki yang sudah menghalalkannya. Dia sudah melunasi hutang ayahnya yang setara dengan uang mahar. Tetapi kenapa lelaki itu masih memberinya mahar begitu banyak? Kembali bisik-bisik tetangga riuh di belakangnya. Semua orang memuji dan mengagumi lelaki yang sudah menghalalkan Reina. Mereka juga memuji nasib baik Reina. “Beruntung sekali Reina, ya?” “Iya! Gak nyangka maharnya sebesar itu. Gak kaleng-kaleng.” “Mana orangnya tampan banget. Tajir melintir lagi.” “Cium punggung tangan suamimu,” bisik Dani di telinga Reina. Reina dan lelaki yang bernama Andika Permana itu mengubah posisi duduknya sehingga saling berhadapan. Reina menjabat tangan Andika yang sudah disodorkannya sebelum Reuni. Mencium punggung tangan yang hangat dan lembut itu dengan khidmat. Tanpa dia sadari, ternyata keningnya dipegang dengan tangan kiri dan dibacakan do'a, lalu dicium dengan penuh rasa syukur dan kasih sayang. Saat bibir lelaki itu menyentuh keningnya, Reuni merasa ada kehangatan di sana. Andika tersenyum ramah lalu mengedipkan sebelah matanya, menggoda Reuni. Semua yang melihat pun riuh menyoraki dengan penuh kegembiraan. Reuni bergegas menunduk dan menyembunyikan mukanya yang merona karena malu. iniLetty menikukkan pandangan merendahkan Reina. Dengan tersenyum miring dia berkata, "Reina. Kamu itu lebih cocok jadi pembantu mas Andika dari pada menjadi istrinya. Jadi aku sarankan jangan terlalu percaya diri."Mata Reina tak sengaja melebar saat dia direndahkan oleh Letty. Mulutnyapun ternganga. Tape terlihat lucu dan menggemaskan oleh Andika. Tapi kemudian Reina tersenyum sebelum menjawab perkataan Letty."Oh ya? Kamu menganggapku lebih cocok jadi pembantu Mas Andika? Kamu tahu? Jika aku saja yang lebih cocok jadi pembantu justru dilamar jadi seorang ratu, dengan mahar pantastis, oleh Mas Andika, sebaiknya kamu lebih menyadari kedudukan kamu di mata Mas Andika." Kata-kata Reina penuh penekanan.Letty merasa direndahkan oleh gadis kecil yang dianggapnya hanya pantas menjadi seorang pembantu. Dia mencoba mencari pembelaan dari Andika."Mas! Berani sekali wanita ini menghinaku."Tangannya hendak memangku Andika. Tetapi Andika segera berpindah posisi ke samping Reina. Hampir saja Lett
Sita heran melihat karyawan yang ternyata seorang menejer di mall itu sangat sopan kepadanya. Begitu juga dengan petugas keamanan. Baik Sita maupun Mahmud merasa aneh dengan pelayanan yang ia terima berbeda dengan pelayanan terhadap pengunjung yang lain.Sita pun bertanya untuk mengobati rasa penasarannya."Eh, em, Pak. Maaf. Saya mau tanya.""Silakan, Buk. Tanya saja.""Apa Bapak kenal dengan menantu saya?""Maksud Ibuk Tuan Andika?""Iya. Benar.""Tuan Andika adalah pemilik mall ini.""Apa?!" Sita dan Mahmud serentak berkata.Dia tidak menyangka kalau menantunya ternyata sekaya itu. Dan yang lebih membuatnya heran, kenapa menantunya tidak seperti orang kaya lainnya yang suka memamerkan kekayaannya. Andika terlihat ramah seperti orang biasa."Tidak aku sangka anakku mempunyai suami yang setajir ini," batin Sita.Sita memegang pergelangan tangan suaminya."Ibu tidak apa-apa?" tanya menejer hotel tersebut.Sita yang sempoyongan merasa tenggorokannya kering. Dia meraba lehernya."Cepat
Mobil mulai melaju di jalanan beton sampai ke jalanan aspal. Keseruan masih terjadi di dalam mobil yang sudah penuh oleh keluarga Reina.Reina terpesona melihat keakraban antara Andika dengan seluruh keluarganya. Seperti tidak ada batasan menantu dan mertua, Andika juga begitu akrab dengan ayah dan ibunya.Tidak ada kekurangan Andika yang bisa membuatnya tidak menyukai Andika. Tapi entah kenapa di hatinya masih ada dilema. Diantaranya, adik iparnya yang ternyata orang yang pernah mengucapkan janji kepadanya untuk mempersuntingnya kelak, pernikahannya yang dibangun atas dasar kebohongan, dan juga mantan kekasih Andika yang tiba-tiba datang ke rumah baru yang katanya sengaja disediakan Andika untuknya."Ah. Kenapa aku kepikiran mantan pacarnya mas Andika? Apa aku cemburu?" batin Reina. Dia segera menghilangkan rasa itu.Mobil yang dikendarai Andika sudah sampai di parkiran mall. Seorang petugas keamanan memberi hormat kepada Andika. Reina dan keluarganya heran melihatnya.Setelah menyer
Sita terkejut mendengar Tasya, Caca dan Keisya bersorak kegirangan menyambut Andika dan Reina. Dia juga ikut senang melihat kegembiraan ketiga putrinya menyambut kakak mereka."Hore! Bang Andika dan Kak Reina sudah pulang.""Iya! Kita jadi dong pergi ke mall beli baju baru."Sita dan Mahmud keluar untuk menyambut mereka. Tetapi melihat wajah Reuni yang kusut kegembiraan mereka berubah menjadi ketegangan. Sita menyuruh ketiga anaknya untuk masuk ke kamar mereka."Kalian bertiga pergilah ke kamar kalian dulu. Nanti kalau mau pergi, akan Ibu panggil," suruhnya.Andika dan Mahmud saling pandang penuh arti. Mahmud menaikkan sedikit alisnya untuk bertanya menggunakan kode itu. Andika membalas dengan anggukan. Seketika wajah Mahmud menjadi pucat. Sita mendekati Reina untuk bertanya."Ada apa, Nak? Semuanya baik-baik saja kan?""Tidak ada yang baik-baik saja, Bu."Sita menoleh ke arah Andika yang menundukkan pandangannya."Ayo duduk dulu, dan ceritakan apa yang terjadi." Mereka semua duduk d
Reina terkejut melihat Letty yang tiba-tiba pingsan dan dipapah oleh Andika. Andika segera meletakkannya di atas sofa.Andika menyuruh Bi Mumun mengambil segelas air. Kemudian dia mengambil air sedikit dan mencipratkannya ke muka Letty. Letty tersadar dan segera memeluk Andika.“Sayang! Aku tadi bermimpi buruk,” rengeknya dengan manja.Andika melepaskan tangan Letty dari tubuhnya. “Letty! Sadarlah. Ini adalah kenyataan. Kenyataan bahwa aku sudah menikah, dan kita juga sudah putus sebelum aku menikahi Reina.”“Tidak, Sayang! Kamu adalah calon suamiku. Aku datang untuk melanjutkan hubungan kita kembali.”“Sudah terlambat. Sekarang aku suami Reina. Lebih baik sekarang kamu lanjutkan hidupmu dengan orang lain.”“Aku tidak mau!” Air bening mulai membasahi pipinya yang mulus.“ … Kamu adalah masa depanku. Kalaupun aku mau, aku tidak bisa melupakanmu, Mas!”“Mas Andika akan jadi milikmu sampai kami bercerai nanti,” timpal Reina yang sudah muak mendengar perdebatan mereka. Seketika Andika da
Reina mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan. Suasana kamar yang sejuk hampir saja membuatnya terbuai dalam asmara yang belum pernah dia alami sebelumnya. Hal yang ditunggunya tidak jadi terjadi.Tetapi bukannya senang, dia justru bertanya-tanya dan menduga, kemungkinan suaminya ini tidak punya selera untuk berhubungan dengan wanita.“Apa karena itu, dia mau menerima perjodohan denganku? Apa itu kekurangannya? Kalau memang itu, pantas saja dia memberikan mahar yang cukup besar kepadaku dan bersedia melunaskan hutang ayahku hanya dengan menikahiku,” batinnya. “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu janji tidak akan marah, Sayang?”“Iya. Aku janji.”“Semua hutang ayahmu adalah kebohongan. Kami sengaja membohongimu agar kamu mau menikah denganku.”“Apa?! Jadi Mas dan ayahku bersekongkol membohongiku?!”“Bukankah kamu sudah janji untuk tidak marah?” tanyanya seperti anak kecil.“Tapi ini penipuan!” Su