Share

Bab 4

Satu minggu setelah pertemuannya dengan Arsen dan adik gilanya--Alvaro tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Rasa syukur ia panjatkan karena masalah antara dirinya dengan Olivia tidak menyebabkan bisnisnya hancur. Mereka para pembisnis rupanya paham mana berita yang harus ditelan dan mana yang harus diabaikan. Alvaro sendiri bingung pada industri percetakan yang memuat fotonya dengan Olivia, itu bukan masalah bisnis jadi mereka melanggar aturan terbitnya sendiri. Seharusnya, mereka didenda karena melakukan sebuah kesalahan. 

"Al!" 

Suara menggema itu berhasil mengusik ketenangannya. Melupakan jus alpukat yang baru saja ia buat, langkahnya menghampiri Erico yang hendak menuju ke lantai atas untuk mencari keberadaannya. "Aku di sini!" 

Segera Erico memutar tubuh untuk menghampiri Alvaro. "Olivia mencarimu. Dia di teras mansion." 

Kerutan di kening Alvaro terlihat jelas setelah Erico bersuara. Olivia? Untuk apa gadis itu mencarinya? Bukankah--Olivia takut berdekatan karena menganggapnya gay? 

"Usir saja--" 

"Tega sekali ingin mengusir wanita secantik aku!" 

Olivia datang menyela. Melenggang santai menghampiri Alvaro. Tidak peduli sekarang Alvaro menatapnya tajam. Olivia dapat melihat kilatan kebencian di mata Alvaro karena dirinya berani masuk ke dalam mansion tanpa izin. 

"Erico, kau bisa pulang sekarang. Aku ingin bicara empat mata dengan kakakmu!" 

Meski melotot tidak terima dengan titah Olivia yang seenaknya dan tidak tau terima kasih--padahal Erico sudah mengantarnya jauh-jauh kemari--Erico tetap beranjak. Membiarkan Olivia di sana. Biarkan saja gadis bodoh itu menjadi santapan kakaknya. Olivia tidak tau Alvaro semengerikan apa jika privasinya terusik. 

"Kembali ke depan. Aku tidak mengizinkanmu masuk!" 

Sudut bibir Olivia membentuk lengkungan tipis. Bukannya menuruti perintah Alvaro, ia justru semakin dekat. Alvaro bergeming ketika Olivia berjarak hanya beberapa senti darinya. Ketika kulit lengan mereka bersentuhan dan harum vanila dari tubuh Olivia tercium, baru Alvaro mundur menjauh. 

"Telingamu rusak?" tanya Alvaro ketus. Beruntung karena Olivia wanita. Jika bukan, Alvaro sudah meminta pengawalnya untuk datang dan menyeretnya keluar seperti binatang. 

"Ck, Alvaro. Aku datang kemari bukan untuk berdebat!" 

"Kita tidak sedekat itu sampai kau memanggilku seperti itu," ucap Alvaro. Ah, Alvaro lupa jika Olivia tidak memiliki sopan santun. Jadi, ia salah karena berharap Olivia akan menghormatinya sebagaimana orang lain bersikap padanya. 

"Baiklah, baiklah, kau ingin kupanggil dengan sebutan apa? Tuan Vederich, begitu? Oke, aku lakukan!" Tarikan nafas Olivia begitu kentara sebelum mengatakan dengan lugas, "Aku ingin kita menikah, Tuan Vederich!" 

Rentetan kalimat tersebut adalah lelucon terburuk yang pernah Alvaro dengar. Apa tadi? Menikah? Demi apa ia diajak menikah oleh gadis yang umurnya terpaut jauh? Arsen saja lebih muda 3 tahun darinya, bagaimana dengan Olivia? Selisih umur mereka bisa sampai 7 tahun. Alvaro tidak mau menikahi anak kecil. Terlebih anak kecil itu tidak punya sopan santun. 

Sedangkan Olivia menunggu dengan gugup balasan yang akan terlontar dari Alvaro. Ia sudah menyiapkan mental karena kemungkinan Alvaro hanya akan mencelanya. Waktu itu Olivia berkata buruk dan sekarang justru mengajaknya menikah. Mudah bagi Alvaro untuk menghina Olivia saat ini. 

Bukan tanpa alasan ia mengajak Alvaro menikah. Ini semua berhubungan dengan Arsen. Selama hidup bersama setelah kedua orang tuanya meninggal, baru minggu lalu Olivia melihat Arsen menitikan air mata. Membuat Olivia sadar bahwa selama ini, ia terlalu memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan sang kakak. 

Jika Arsen tidak mengatakannya, Olivia akan terus menggantungkan hidupnya yang penuh trauma pada Arsen. Menganggap bahwa hanya Arsen yang mampu menenangkannya ketika trauma itu datang. Pikiran Olivia tidak akan terbuka untuk memikirkan masa depan Arsen. 

Benar, sesayang apapun Arsen padanya, pria itu tetap butuh wanita yang mampu mencintainya hingga maut memisahkan. Arsen butuh seseorang untuk menjadi sandarannya. Menjadi tempat untuk bertukar cerita. Dan, Olivia tidak bisa berperan untuk hal itu. 

Jadi, setelah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir, Olivia memutuskan untuk menikah dengan Alvaro. Karena pria itu yang Arsen percaya. Masalah karirnya, Olivia akan memikirkan itu lain kali. Untuk sekarang, ia ingin memprioritaskan sang kakak. 

Dengan dirinya menikah, Arsen tidak perlu lagi memikirkannya dan bisa fokus mencintai wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Rasa bersalah Olivia pada Arsen akan berkurang. 

"Demi Arsen, Kau rela mempertaruhkan hidupmu untuk menikah dengan pria asing sepertiku?" 

Alvaro dengar semua pembicaraan Arsen dan Olivia di lorong gedung Harsa minggu lalu. Ia memilih abai karena tidak berhubungan dengan masalah mereka. Arsen memiliki kepercayaan tinggi untuk dirinya sampai ingin menitipkan adiknya pada Alvaro. Namun, Alvaro tidak bisa menerima Olivia. Sejak dulu, Alvaro beranggapan bahwa makhluk berjenis wanita pasti akan mempersulit hidupnya. 

"Kau bukan pria asing. Erico adalah sahabatku dan kau kakaknya! Erico baik, kau pasti sama 'kan?" 

Olivia adalah gadis keras kepala. Apa yang sudah menjadi keputusannya harus terjadi. Ia akan menghalalkan segala cara agar semuanya terwujud. Kali ini demi Arsen. 

"Kenapa kau memilih aku dari pada kekasih aktormu itu? Jika kalian menikah, kau bebas bermain film panas. Lagi pula, aku tidak mau menikahi wanita yang tubuhnya sudah menjadi santapan publik." 

Semua orang tau lekuk tubuh Olivia. Bahkan desah kenikmatan gadis itu telah terdengar oleh banyak telinga. Alvaro tidak mau memiliki istri yang telah menjadi sorotan publik. 

"Aku masih perawan!" geram Olivia. Tidak terima direndahkan oleh Alvaro. Padahal ia sudah mencoba bersabar, tapi apa yang terucap dari bibir Alvaro membuat kesabarannya melewati batas. Rasanya ingin sekali Olivia membungkam mulut Alvaro agar tidak bisa berbicara lagi. 

"Tetap saja, kau bekasan!" 

Kembali ke dapur, lebih baik Alvaro menghabiskan sandwich dan menikmati jus buatannya sendiri. Sayangnya, Olivia terus mengikuti. Membuat Alvaro menggeram kesal dan berbalik sampai Olivia menabrak dada bidangnya. Gadis itu mengaduh sembari mengusap hidungnya sendiri. 

"Pernikahan adalah salah satu hal yang sakral, Olivia. Kita tidak bisa mempermainkannya." Alvaro mengangkat jari telunjuknya di bibir Olivia. Tidak mengizinkan gadis itu menyela. "Jika kita menikah, kau tidak bisa melanjutkan karirmu." 

Kini Olivia yang bergeming. Ia tidak sedang mempermasalahkan karirnya. Toh, saat ini Arsen sedang mengurus pembatalan kontrak dengan industri film. Arsen rela mengeluarkan beberapa milyar agar film itu berhenti ditayangkan. Gila memang, tapi Olivia tidak bisa menghentikannya. 

Yang menjadi pikiran adalah kalimat awal Alvaro tadi. Pria itu mengatakan pernikahan tidak bisa dipermainkan. Padahal, Olivia hanya ingin pernikahan hitam di atas putih alias kontrak. Ah, hal ini bisa diurus nanti. Yang terpenting sekarang, Alvaro menikahinya. 

"Tidak masalah dengan karirku. Aku bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bahkan bisa juga menjadi ibu dari anak-anakmu. Kalau kau bukan gay, kau tau caranya menyentuh wanita untuk mendapatkan keturunan, bukan?" 

Netra Alvaro juling ke atas. Kata-kata yang terlontar dari mulut Olivia pasti membuatnya emosi. Ia tidak yakin akan tahan jika tinggal bersama gadis itu. Apalagi untuk kurun waktu yang lama. "Aku menyukai aktivitas seks sadisme dan masokhisme. Kau tau maksudku?" 

Olivia meneguk ludahnya kasar. Sedikit tidak percaya dengan apa yang diucapkan Alvaro. Namun karena tatapan tanpa ekspresi di wajah pria itu membuat perkataannya terdengar nyata. Jika benar seperti itu, menikahi Alvaro sama saja bersedia menjadi budak nafsunya. Olivia tidak bisa membayangkan akan mendapat kekerasan saat bercinta. Pasti sangat menyiksa, bukan? 

"Pintu keluarnya masih terbuka lebar untukmu. Kau tau, memutuskan masuk ke dalam hidupku sama saja menyerahkan hidupmu. Karena aku, tidak akan melepaskan siapapun yang telah mengusikku dengan mudah." 

Setelah berkata demikian, Alvaro melenggang santai. Duduk di mini bar dapurnya dengan mata lurus pada Olivia. Gadis itu sedang berpikir keras. Jika akal sehatnya masih berfungsi, Olivia seharusnya memikirkan dirinya terlebih dulu. 

"Kau hanya menakutiku," gumam Olivia masih bisa didengar oleh Alvaro. "Kak Arsen tidak mungkin salah mengenali orang. Dia bilang kau baik. Jika tidak, maka dia tidak mungkin memiliki niat untuk menitipkanku padamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status