Share

Bab 7 - Memperkenalkan Calon Istri

“Halo! Saya Alya,” ucap Alya sambil membungkukkan badannya, ia langsung memperkenalkan diri pada seorang wanita yang datang menghampirinya.

Yudha tersentuh melihat sikap sopan yang ditunjukkan oleh perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, ia juga semakin kagum pada sosok gadis berusia 19 tahun itu.

Wanita yang baru datang itu pun mengerutkan keningnya sembari memperhatikan penampilan Alya dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu siapanya Yudha? Kok, kalian bisa bersama seperti ini? Dari mana kamu kenal dia?” tanyanya penuh selidik.

“Itu ....” Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Yudha sudah lebih dulu bersuara.

“Kak Jen, cukup! Ini bukan urusan Kakak,” ujar Yudha yang langsung menyela ucapan wanita yang menginterogasi Alya.

“Yudha, ini nggak salah? Kamu jalan sama perempuan? Mana anak kecil lagi,” kata wanita itu seraya menatap Alya dengan sinis.

Kedua bola mata Alya langsung membulat sempurna ketika mendengar seseorang menyebut dirinya anak kecil. Namun, ia sama sekali tidak berniat membalas ucapan wanita itu.

 Sudah terlalu banyak masalah yang Alya hadapi selama ini, makanya dia tidak mau membuat masalah baru yang hanya akan membuat jalan hidupnya semakin rumit.

“Kita pergi dari sini!” kata Yudha sambil menarik pergelangan tangan Alya, lalu membawanya keluar dari tempat itu. Karena ia tidak ingin kakak sepupunya mengajukan pertanyaan lebih banyak lagi terhadap Alya.

“Yudha, tunggu! Kakak belum selesai,” ujar sang wanita yang tidak lain adalah kakak sepupu Yudha. Ia pun kaget melihat cara Yudah memperlakukan Alya, karena biasanya pria itu sama sekali tidak suka bersentuhan dengan sembarangan perempuan.

Alya tidak peduli siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Yudha. Akan tetapi, ia yakin jika wanita itu adalah salah satu kerabat dari laki-laki yang saat ini sedang menarik pergelangan tangannya.

“Om, wanita itu siapa? Kakaknya Om, ya?” tanya Alya sambil berusaha melepas pergelangan tangannya yang terus ditarik oleh Yudha.

“Kamu bisa nggak, jangan panggil saya dengan sebutan itu! Ada banyak panggilan lain selain itu, ‘kan?” protes Yudha sembari menoleh sekilas ke arah samping kirinya.

“Ya, terus saya harus panggil apa? Saya rasa, panggilan itu cocok. Usia Om sekarang berapa?” tanya Alya seraya mendongak menatap pria bertubuh jangkung yang memiliki tinggi badan 195 cm.

“Tiga puluh sembilan,” jawab Yudha dengan cepat dan tegas.

“What’s? Ti-tiga puluh sembilan? Om pasti bercanda,” ujar Alya, tak percaya dengan jawaban yang diberikan Yudha.

“Saya tidak bercanda, memang segitu usia saya sekarang. Kenapa? Kamu berubah pikiran setelah tahu berapa usia saya sebenarnya?” tanya Yudha. Saat ini mereka sudah berada di basement apartemen.

“Tiga puluh sembilan tahun, sedangkan umurku sekarang baru menginjak 19 tahun. Itu artinya kita berdua terpaut usia 20 tahun? Ya Tuhan ...,” ucap Alya sambil menelan ludah dengan susah payah.

Tak pernah terpikirkan oleh Alya, bahwa ia akan menikah dengan laki-laki yang berjarak dua puluh tahun lebih tua darinya. Meskipun ia memang mengimpikan seorang suami yang lebih dewasa, tetapi tidak sampai 20 tahun jarak usianya.

Yudha menghela napas berat setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Alya. Ia jadi khawatir akan membawa gadis itu untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.

Entah apa tanggapan keluarganya saat nanti dia memperkenalkan gadis berusia 19 tahun itu sebagai calon istrinya. Namun, Yudha tidak akan merubah keputusan dan membatalkan semua rencana yang sudah disiapkan secara matang.

Tak ingin membuang-buang waktu, Yudha akhirnya memutuskan untuk segera membawa Alya menemui kedua orang tuanya. Ia tidak ingin ada orang lain yang lebih dulu memberitahu mereka dan menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang dirinya.

“Sekarang kamu siap-siap! Kita akan bertemu dengan orang tua saya,” kata Yudha sembari masuk ke dalam mobil.

“Hah? Yang benar saja? Anda jangan bercanda, ya. Saya baru bangun tidur dan belum sempat mencuci muka,” ujar Alya berterus terang, karena memang ia belum sempat mencuci muka setelah bangun dari tidur siang.

“Astaga ...,” ucap Yudha sambil menepuk jidatnya. “Apa kamu memang mempunyai kebiasaan buruk seperti ini?” tanyanya.

Alya memberengut kesal mendengar pertanyaan Yudha. “Jangan suka menuduh orang sembarangan! Tadi saya buru-buru, makanya nggak sempat cuci muka dulu. Saya juga kaget pas lihat jam udah setengah tiga,” tuturnya.

“Oh,” sahut Yudha menanggapi. “Tidak apa-apa, nanti kamu cuci muka di butik. Kalau perlu, kamu bisa mandi sekalian. Reno juga sebentar lagi sampai di sana,” jelasnya.

Alya mendesah berat, hatinya tiba-tiba gelisah setelah Yudha mengatakan akan memperkenalkan dia dengan kedua orang tuanya. Ia hanya berharap bisa diterima dengan baik di keluarga calon suaminya nanti. 

*** 

Waktu sudah menunjuk di angka lima sore saat mobil yang dikendarai Yudha sampai di depan sebuah bangunan dua lantai yang memiliki halaman sangat luas. Di bagian depan bangunan itu terdapat tulisan Anjani Boutique.

“Tempat ini. Ini ‘kan, butik Tante Anjani?” Alya tercengang saat melihat salah satu tempat bersejarah baginya, ia jadi teringat dengan almarhumah ibunya.

Tanpa sadar air matanya pun meluncur begitu saja ketika mengingat kenangan bersama sang ibu di tempat tersebut.

“Kamu sudah kenal sama pemilik butik ini?” tanya Yudha sambil membuka sabuk pengaman.

Alya mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. “Iya. Beliau adalah sahabat almarhumah Mama saya,” jawabnya dengan sendu.

Yudha terdiam sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari mobil. “Baguslah kalau kamu sudah kenal, sekarang kita masuk dan temui pemilik butik ini.”

Mereka berdua pun masuk ke dalam butik dan langsung disambut oleh seseorang yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu.

“Pak Bos,” sapa Reno seraya membungkukkan badan. “Bu Anjani sudah menunggu Pak Bos dan juga Nona Alya,” ujarnya melanjutkan.

“Kamu urus semuanya! Saya mau keluar sebentar,” kata Yudha, dibalas anggukan oleh sang asisten.

“Pak Reno, apa orangnya sudah da ....” Sang pemilik butik menghentikan kalimatnya saat melihat seseorang yang sudah tidak asing di matanya. “Ka-kamu,” ucapnya dengan terbata-bata, matanya pun berkaca-kaca melihat siapa orang yang berdiri di hadapannya saat ini.

“Tante Anjani, apa kabar? Tante masih ingat sama aku?” tanya Alya sambil menyeka kasar air matanya.

“Alya ... kamu beneran Alya? Ya Tuhan ...,” ucap Anjani seraya berjalan ke arah Alya. “Sekarang kamu sudah besar, tambah cantik lagi!” Anjani langsung memeluk Alya dengan erat.

Ia tidak menyangka akan dipertemukan dengan putri dari sahabatnya dengan cara seperti ini. Anjani merasa sangat bahagia bisa bertemu dengan Alya setelah sekian tahun lamanya. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah kedua orang tua Alya meninggal.

Reno kaget melihat kedekatan Alya dengan sang pemilik butik, ia lupa jika gadis itu dulunya adalah seorang tuan putri. Reno memang belum tahu banyak soal latar belakang Alya, karena ia baru beberapa tahun ini bekerja sebagai asisten pribadi Yudha. 

“Jadi, kalian berdua sudah saling kenal? Ah, saya banyak ketinggalan informasi kalau begitu. Pak Bos juga tidak memberitahu saya soal ini,” kata Reno. 

“Iya, saya sangat mengenal gadis ini. Dia sudah seperti putri bagi saya,” sahut Anjani seraya melerai pelukannya. “Yaudah, sekarang kamu coba dulu dres yang sudah Tante siapkan. Kamu pasti semakin cantik dengan pakaian itu,” ujarnya sambil mengelus lembut pipi Alya. 

“Terima kasih, Tante,” ucap Alya sambil tersenyum lembut. 

Tak ingin berlama-lama, Anjani langsung membawa Alya menuju ruang pribadinya. Karena ia tahu jika seorang Yudha Kusuma tidak suka membuang-buang waktu. 

Setelah memastikan penampilan Alya terlihat sempurna, bahkan nyaris tanpa cela sedikitpun. Gadis itu pun segera dibawa keluar dari ruangannya dan siap untuk diperlihatkan pada dua orang pria yang sudah menunggunya di depan ruangan itu. 

“Sudah siap!” ucap Anjani. 

Yudha langsung mendongak dan menoleh ke arah sumber suara. Matanya tak berkedip melihat penampilan Alya. Pun demikian dengan Reno, pemuda itu menelan saliva dengan susah payah. Ia seakan melihat sosok bidadari yang sedang berdiri di hadapannya. 

“Cantik!” Kalimat itu pun spontan terucap dari bibir Yudha. 

“Iya, Pak Bos. Cantik pake banget,” sahut Reno. “Ya Tuhan … tolong sisakan satu yang seperti ini untuk saya,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Alya. 

Anjani tersenyum mendengar ucapan Reno, kemudian tatapannya beralih ke arah seseorang yang sedari tadi memperhatikan Alya tanpa berkedip. 

“Yudha,” panggil Anjani, seketika membuyarkan lamunan seseorang yang dipanggilnya. 

“Iya, Mbak.” Yudha jadi salah tingkah karena ketahuan terlalu lama memperhatikan Alya. 

“Dia cantik, ‘kan? Cantik seperti ibunya. Tolong jaga dia, ya, Yud. Kalau sampai kamu sia-siakan, maka Mbak adalah orang pertama yang akan membuat perhitungan sama kamu!” ujar Anjani dengan nada penuh ancaman. 

“Tentu, Mbak. Terima kasih atas bantuannya. Kami permisi dulu,” ucap Yudha seraya berdiri dari tempat duduknya.

Anjani mengangguk pelan sambil tersenyum lembut, ia bahagia melihat Alya sudah berada di tangan laki-laki yang tepat. Sebagai sahabat dari almarhumah ibunya Alya dan juga sahabat dari kakak perempuan Yudha, tentu saja ia ikut bahagia. 

“Tante, Alya pergi dulu, ya. Lain kali Alya datang lagi ke sini,” kata Alya. 

“Iya, Sayang, hati-hati. Tante tunggu,” balas Anjani. 

Sebuah mobil sport berwarna hitam pekat sudah bergerak meninggalkan pekarangan butik, melaju dengan santai menuju rumah utama keluarga Kusuma. 

Reno fokus menyetir sambil sesekali melihat ke arah kaca spion dalam mobil, memperhatikan gerak-gerik Alya yang tampak gelisah sejak keluar dari butik. 

“Pak Bos,” panggil Reno sembari  ekor matanya melirik ke arah kursi bagian tengah. 

Yudha ikut menoleh ke belakang dan mendapati Alya sedang meremas ujung jarinya. Ia yakin kalau gadis itu saat ini merasa gugup dan takut karena akan dipertemukan dengan kedua orang tuanya. 

“Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Yudha, membuat Alya terkesiap dan langsung mengangguk cepat. 

“Iya. Saya baik-baik saja,” jawab Alya. Bibirnya mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan raut wajahnya. 

“Tenang saja, jangan terlalu dipikirkan. Ini hanya perkenalan,” ujar Yudha, berusaha menenangkan hati Alya yang saat ini sedang gelisah. 

Alya tersenyum paksa sambil mengangguk pelan. Meski sudah berusaha untuk terlihat tenang, tetapi hati dan perasaannya tidak bisa dibohongi. 

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Reno sudah memasuki halaman rumah mewah seperti istana kerajaan di dunia dongeng. Namun, ini adalah versi nyata. 

“Pak Bos, silahkan!” ucap Reno setelah membukakan pintu mobil untuk sang majikan. 

“Ayo!” seru Yudha sambil menoleh ke kursi belakangnya. 

Alya lagi-lagi hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Perasaannya semakin berkecamuk setelah melihat rumah mewah yang ada di hadapannya saat ini. 

Ia tidak menyangka jika laki-laki yang akan menjadi suaminya adalah orang yang sangat kaya, rumahnya sangat mewah dengan penjagaan yang ketat. Ada begitu banyak penjaga yang berkeliaran di setiap sudut rumah itu.

“Ini aku yang kurang update informasi atau bagaimana? Siapa pria ini sebenarnya? Kenapa dia harus memilih aku sebagai calon istrinya?” Alya bergumam sangat pelan sambil keluar dari mobil, lalu mengikuti dua orang yang ada di hadapannya. 

Para pelayan tampak berjejeran menyambut kedatangan sang tuan muda, mulai dari teras hingga ke dalam rumah, semuanya pun membungkukkan badan pada saat Yudha melewati mereka semua. 

“Mama,” panggil Yudha saat melihat seorang perempuan sedang duduk di sofa. 

“Yudha, ada angin apa yang membawa kamu sampai ke sini? Mama kira kamu sudah lupa jalan pulang ke rumah ini,” ujar wanita itu sambil melepas kacamatanya. 

“Ma, aku sudah punya calon istri seperti yang Mama minta. Jadi mulai sekarang, Mama tidak perlu lagi mencarikan jodoh untukku. Aku sengaja datang ke sini karena ingin memperkenalkan dia sama Mama,” kata Yudha sambil mengulas senyum. 

“Apa …? Kamu ke sini membawa calon istri?” Suara bariton seseorang yang berasal dari arah tangga, mengalihkan perhatian Yudha dan juga sang ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status