Share

Bab 11: Merasa bosan

Usai melaksanakan kewajibannya, Rayyana pun duduk ditepi ranjang menunggu kepulangan sang suami. Netra Rayyana menangkap sebuah buku kedokteran milik sang suami.

Gadis cantik nan mungil itupun segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan untuk mengambil buku tersebut.

"Anatomi manusia?" gumam Rayyana yang penasaran pada isi dari buku tersebut. Ia pun membawanya ke tepi ranjang untuk membaca buku tersebut.

Satu persatu lembar buku tebal yang ada ditangannya terbuka. Gadis cantik itu membaca bukunya dengan cermat dan saksama. Hingga tanpa sadar ternyata ibu mertuanya tengah memanggilnya dari ambang pintu.

"Rayyana... Umi masuk ya nak?" ucap Umi Laila yang sudah entah ke berapa kali mengetuk pintu kamar putra dan menantunya itu.

Wanita cantik dengan menggunakan gamis berwarna pastel itupun membuka pintu kamar tersebut dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya sang menantu tengah asik membaca buku.

"Assalamu'alaikum Ana, dari tadi Umi panggilin kok gak dijawab, nduk?" tanya Umi Laila berjalan menghampiri Rayyana dengan membawa nampan berisikan makan malam untuk sang menantu.

Sebab tadi putra bungsunya memintanya untuk mengantarkan makan malam ke kamarnya karena Rayyana sedang sakit.

Mendengar suara sang ibu mertua, membuat Rayyana menghentikan aktivitas membacanya. Betapa terkejutnya gadis cantik itu saat menyadari bahwa saat ini sang mertua sedang ada di hadapannya. Cepat-cepat Rayyana menutup buku yang ada ditangannya dan meminta sang mertua untuk duduk.

"Umi? Maaf Umi, tadi Ana gak denger karena asik baca buku. Ana gak bermaksud untuk mengacuhkan Umi kok." jelas Rayyana panik. Ia takut jika sang ibu mertua marah padanya.

Umi Laila mengulas senyum simpulnya. Menurutnya, menantunya ini begitu polos dan sangat imut.

"Gak apa-apa, nak. Umi paham kok!" sahut Umi Laila mengelus lembut pipi Rayyana. "Oh iya, kata Akram kamu sakit? Sakit apa nak?" sambungnya bertanya.

"Ana kurang enak badan, Umi. Tapi sekarang, alhamdulillah udah baik-baik aja kok!" jawab Rayyana kikuk. Ia masih canggung saat berbicara dengan mertuanya.

Meskipun ibu mertuanya sangat baik padanya, tapi tetap saja Rayyana masih canggung dan segan.

"Alhamdulillah kalau memang sudah merasa enakan. Oh iya, tadi Akram minta Umi untuk mengantarkan makan malam untukmu. Dimakan gih, nanti keburu dingin!" titah Umi Laila memberikan sepiring nasi beserta dengan lauk pauk yang telah ia masak kepada Rayyana.

Rayyana menerimanya dengan baik disertai juga senyum simpulnya. Semakin menambah aura kecantikan diwajahnya. "Iya Umi, nanti Ana makan. Nunggu kak ustadz," tutur Rayyana malu-malu.

Dahi Umi Laila berkerut. "Kenapa harus nunggu Akram? Seingat Umi, malam ini ada kajian rutin di masjid pesantren. Jadi kemungkinan Akram pulang telat. Nah kamu makan saja duluan, gak perlu nunggu Akram. Lagipula tadi Akram berpesan sama Umi untuk memastikan kamu makan tepat waktu!" tukas Umi Laila menjelaskan.

Rayyana mengangguk pelan. "Iya Umi," timpal Rayyana dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Ia memang memiliki kebiasaan untuk makan bersama dengan Akram. Itulah alasan mengapa ia menunggu sang suami.

Umi Laila mengulas senyum tipisnya. "Yaudah Umi ke dapur dulu ya? Jangan lupa dimakan makanannya! Kalau gak dimakan, nanti Umi marah sama kamu!" titah Umi Laila mengancam Rayyana. Namun dari nada bicaranya, wanita itu hanya sekedar untuk menakut-nakuti Rayyana saja.

Rayyana hanya mengangguk kecil saja untuk membalas perintah Umi Laila. Kemudian, Umi Laila pun berjalan keluar dari kamar Akram dan Rayyana. Tinggallah Rayyana seorang diri di dalam kamar itu.

Tatapan Rayyana menatap langit-langit kamarnya. Lalu, ia menatap ke arah piring yang berada di tangannya. Rayyana melakukan kegiatannya selama berulangkali hingga membuat kepalanya terasa pusing.

Entah mengapa, Rayyana tiba-tiba merasa bosan tanpa kehadiran Akram. Mungkin karena tidak ada yang bisa diajak bicara dengannya.

"Kak Akram masih lama ya?" gumam Rayyana menggembungkan pipinya. Detik berikutnya, ia memukul dahinya pelan. "Ana! Ana! Kenapa kamu malah memikirkan ustadz galak itu sih?!!” gerutu Rayyana kesal pada dirinya sendiri.

Rayyana pun memakan makanan yang telah diantarkan oleh ibu mertuanya tadi. Ia memakannya dengan lahap dan juga tergesa-gesa.

Usai menyantap makan malamnya. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang terbit di benaknya. Ia menarik ujung bibirnya dan tersenyum nakal. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekati meja kerja sang suami untuk memakai laptopnya.

"Sudah lama aku tidak bermain laptop! Mumpung ustadz galak itu gak ada disini!" gumam Rayyana meraih laptop Akram dan membawanya kembali ke atas ranjang. "Salah siapa handphone ku disita!" sambungnya lagi.

Ya. Handphone Rayyana memang ada pada Akram. Hal itu dikarenakan Akram ingin Rayyana fokus pada pendidikannya dan tidak bermain ponsel. Lagipula aturan di pesantren juga tidak mengizinkan para santri dan santriwati untuk bermain ponsel.

Rayyana membuka serta menghidupkan laptop Akram. Namun sialnya, laptopnya terkunci menggunakan sandi dan juga sidik jari.

"Dasar ustadz galak! Emangnya ada apa sih di laptop ini? Sampai harus pakai sidik jari segala!!!" gerutu Rayyana kesal. Padahal, niatnya ingin bermain laptop sebentar saja.

Sangking kesalnya, Rayyana sampai membanting laptop Akram ke sisi ranjang sebelahnya. Beruntungnya, ia membanting nya dengan tidak terlalu keras.

Gadis itu pun kembali meraih buku milik Akram dan membacanya. Daripada ia mati kebosanan, lebih baik dirinya membaca buku bukan?

Waktu demi waktu berlalu. Entah sudah berapa halaman yang Rayyana baca dan pelajari dari buku kedokteran milik Akram. Hingga akhirnya, gadis mungil nan cantik itu tertidur dengan posisi kepala yang berada diatas buku milik Akram.

Kondisi ranjang Rayyana dan Akram saat ini terlihat berantakan karena ulah Rayyana. Bagaimana tidak berantakan? Gadis itu meletakkan laptop milik Akram ke sembarang arah. Ia juga mengacak-acak buku-buku milik Akram dan ia pindahkan ke ranjangnya.

Entah bagaimana reaksi Akram nanti kala melihat kamarnya berantakan karena ulah istrinya. Sebab, Akram paling tidak suka jika kamarnya berantakan. Ia memiliki sifat yang perfeksionis dan tidak bisa melihat sesuatu yang berantakan.

****

Tepat pukul sepuluh malam, Akram kembali ke ndalem usai menghadiri kajian rutin di masjid pesantren. Ia berjalan seorang diri menuju ndalem.

"Ustadz..." panggil seseorang dari arah belakang Akram yang membuat lelaki itu menghentikan langkahnya.

Akram pun berbalik arah untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Assalamu'alaikum ustadz, maaf mengganggu waktunya. Ada yang ingin saya sampaikan ke ustadz," ucap seorang santri yang tadi memanggil Akram.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah, ada apa Ari?" tanya Akram pada santri tersebut.

"Tadi pengurus bagian keamanan melaporkan ke saya kalau ada sejumlah santri yang membawa ponsel ke asrama putra, apakah harus disidang malam ini atau besok pagi saja, Ustadz?" tanya Ari yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena hanya Akram atau Haiqal lah yang bisa memutuskan hukuman di pesantren, selain Kyai Hasby.

"Besok pagi saja, lagipula ini sudah malam! Kamu istirahatlah, dan untuk ponsel-ponsel itu letakkan di ruang keamanan. Besok ba'da subuh saya sendiri yang akan menyidang mereka." jawab Akram memberikan keputusannya.

"Baik ustadz," sahut Ari mengangguk paham.

"Jika sudah tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Akram berjalan mendahului Ari yang masih berdiri di tempatnya.

Sesampainya di ndalem, Akram langsung berjalan menuju kamarnya. Ia tidak makan malam terlebih dahulu karena dirinya masih kenyang.

Akram berjalan tergesa-gesa menaiki satu persatu anak tangga. Setibanya di depan pintu kamarnya, Akram langsung membukanya. Betapa terkejutnya Akram saat menyadari kamarnya berantakan.

"Rayya...." gumam Akram menghembuskan napas kasarnya.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status