Share

Istri Kedua Om Tampan
Istri Kedua Om Tampan
Author: Evie Everly

Talak di Malam Valentine

Ruangan redup dengan musik stereo yang memanjakan telinga, begitu ramai malam Minggu itu. Demikian pula dengan malam-malam sebelumnya. Cozy Karaoke dan Bar itu selalu ramai dengan alunan musik, atau nyanyian sumbang dari mereka yang tengah melepas kepenatan dengan bernyanyi.

Ruang VIP nomor enam di lantai dua sesak dengan kepulan asap rokok, serta bau alkohol yang nyaris mengalahkan pengharum ruangan otomatis yang terpasang di sudut ruangan.

Seorang PL—Pemandu Lagu wanita berpakaian seksi, adalah orang yang berperan di balik lagu Mabuk Janda—karya Tuti Wibowo. Sang PL begitu cekatan menyanyikan bait-bait lagu dari layar lebar yang diarahkan proyektor, sesekali disambut sorak sorai empat lelaki yang menggerakkan tubuh mereka, meliuk beriringan dengan irama musik.

Dua gadis berpakaian terbuka lainnya sedang duduk bercengkrama di sofa merah besar yang empuk. Mereka duduk menyilangkan kaki, memamerkan kulit paha mulus di bawah gemerlap lampu aneka warna. Seolah menyuguhkan kemolekan mereka, dengan dada yang penuh berisi, juga bibir merah merona.

Sementara seorang lelaki tampak menyandarkan tubuh pada dinding bercat biru gelap di sudut ruangan, ditemani seorang wanita yang menggamit sebatang rokok menyala di sela jemari kecilnya.

"Jadi kamu baru lima bulan menjanda?" Pria itu bertanya dengan langgam santai, sesekali meniupkan kepulan asap dari bibirnya yang memesona. "Ah, siapa tadi namamu?"

"Annabelle." Wanita itu tersenyum geli saat mengoreksi ucapan pria berjaket kulit hitam dan mengenakan topi baseball yang juga hitam. "Ya, aku baru bercerai Februari lalu, tepat tanggal 13—"

"Dan kamu merayakan malam valentine dengan selembar surat berisikan pernyataan bahwa kamu baru saja dijatuhi talak tiga?" tukas pria itu sambil tertawa tak habis pikir setelah mendengar sedikit cerita tentang Annabelle.

"Oh, ayolah, Om Samuel. Berhenti mengejekku," sahut Annabelle sambil menjatuhkan puntung rokok dan menginjak dengan flat shoes krem yang dipakai. "Aku tahu, beberapa orang berpendapat bahwa status janda itu memalukan, bahkan sebagian orang berasumsi perceraian merupakan aib terbesar. Tapi, kurasa tak semua wanita bisa sesabar perempuan dalam sinetron Indosiar saat mendapati suaminya berselingkuh dengan mantan istrinya, mereka jelas-jelas dibayar …."

Gelak tawa Samuel berhasil menghentikan kalimat Annabelle yang kini menatapnya dengan serius. Melihat wanita yang memakai jaket jeans biru pudar itu ikut tertawa, Samuel langsung berhenti, lalu menyadari betapa natural tawa yang terukir di bibir ranum Annabelle.

"Apa kamu punya anak?" Samuel tiba-tiba melontarkan pertanyaan dengan serius. Ketika menyadari ekspresi Annabelle berubah sedikit ganjil seiring tawanya yang meredup, Samuel kembali menambahkan, "Tadi kamu ngomong udah berumah tangga dua tahun, kupikir kamu—"

"Tidak, aku nggak punya anak." Annabelle melambaikan tangan, berupaya memungkas ucapan Samuel.

Seolah menyembunyikan sesuatu, Annabelle memalingkan tatapannya dari Samuel ke arah PL yang kini mengalunkan lagu Secangkir Kopi. Lalu menjaga suaranya agar tetap tenang saat melanjutkan, "Usiaku sembilan belas tahun saat menikah. Berhubung dulu aku menikahi seorang duda yang memiliki dua anak, jadi aku memutuskan untuk KB."

"Tapi kamu bisa punya anak 'kan?" Samuel menyentuh bahu Annabelle agar wanita itu kembali menatapnya.

Sesaat, Annabelle tampak membeku mendengar pertanyaan itu. Namun, karena mereka baru pertama kali bertemu, dan itu bukan sesi wawancara untuk mencari jodoh, Annabelle berpikir bahwa dia tak merasa wajib menjawab pertanyaan Samuel.

Seolah tak ingin berlama-lama lagi membuang waktu bersama pelanggan barunya, Annabelle merogoh BlackBerry Gemini putih dari saku jeans yang dipakai.

"Uda jam satu, Om. Aku nggak bisa lama-lama, bentar lagi mau pulang," kata Annabelle serius sambil mendongak menatap pria di hadapannya.

Alis tebal Samuel saling bertautan, tampak tak senang mendengar Annabelle terburu-buru. Dia ingin mengatakan bahwa mereka baru tiga puluh menit berada di tempat karaoke itu, tetapi Samuel tak yakin wanita itu bersedia membuang waktunya lagi.

Mungkin Samuel tak pernah tahu, Annabelle memiliki waktu terbatas sebelum jam dua malam—karena dia harus segera ada di rumah sebelum orang tuanya bangun agar tak menyadari bahwa dia keluar tengah malam.

Harga diri Samuel sedikit tersinggung, biasanya wanita yang dia order dari seorang germo selalu bersedia menghabiskan waktu lebih lama. Paradua wanita malam yang dia bayar per jam biasanya lebih senang jika berlama-lama dengannya.

Karena selain bayaran yang akan mereka dapat jadi lebih besar, Samuel pun terkenal dengan gaya hidupnya yang royal.

Jika dia puas dengan pelayanan mereka, Samuel tak akan ragu untuk memberikan bonus lebih besar—tak peduli jika dia harus mengeluarkan uang lebih banyak saat menghabiskan malam dengan satu wanita.

Sebagai salah satu orang yang sukses mengelola enam villa keluarga, empat penginapan dengan masing-masing dua puluh kamar di kota metropolitan itu, menghabiskan uang jutaan per malam tentu sudah biasa Samuel lakukan demi melampiaskan kekecewaan hidup yang dia alami.

"Tungguin bentar," kata Samuel sambil merogoh dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu sebelum memberikan pada salah satu pria yang masih menari dengan PL.

Annabelle tak menghiraukan pria yang jelas-jelas jauh lebih tua dari usianya itu. Dia berpura-pura tak melihat saat Samuel terlibat percakapan dengan beberapa pria lain dalam ruangan itu.

Annabelle berpikir, mungkin Samuel orang yang menjamin hiburan malam Minggu itu untuk teman-teman dan asistennya.

Jadi, tak heran saat Annabelle sempat melihat beberapa orang tampak manggut-manggut patuh saat dia berpamitan. Terutama ketika Samuel memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sebagai bonus pada wanita pemandu lagu.

Ketika Annabelle mengalihkan perhatian pada status-status kontak dalam BlackBerry-nya, tiba-tiba sebuah tangan kokoh merangkul pundaknya, lalu terdengar bariton berat Samuel yang berkata, "Langsung ke tempat tadi lagi, ya?"

"Oh, kost-kostan yang—"

"Bukan, itu bukan kostan. Itu salah satu penginapan," potong Samuel sambil membawa Annabelle berjalan keluar dan menuruni anak tangga.

Annabelle menoleh dan melirik Samuel dengan tatapan terheran. Andai dia tahu bahwa tempat itu penginapan, yang di mana dia bisa langsung melayani orang itu, mungkin Annabelle akan langsung pada intinya, dan tak perlu membuang-buang waktu lebih lama lagi.

Mengingat bahwa dia sudah membuang waktu percuma selama tiga puluh menit, ekspresi Annabelle berubah tak senang saat Samuel memarkir motor ninja hitam di area parkir.

"Ayo, naik. Tadi bilang nggak bisa lama-lama 'kan?" Suara Samuel beriringan dengan deru mesin motor yang ditunggangi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status