Share

Kenyataan Pahit.

Ayahnya pergi entah kemana, dia tampak marah sekali dan beberapa kali menghancurkan barang. Tidak ada yang melukai Ariana secara fisik, tapi hati gadis itu jelas babak belur. Sudah diduganya semua akan kesal, meski Jareth berkata tidak apa-apa karena Ariana berhak juga memiliki pendapat.

"Kau, anak yang tidak tahu diuntung," kata Elina menuang lagi minumannya. Asap rokok itu terlihat lagi setelah terhembus dari bibir itu.

"Ini hidupku Ibu," kata Ariana dengan kesal.

"Tahu apa kamu tentang hidup? Sebaiknya kamu menurut saja. Lihat kakak kamu semua, mereka bahagia dengan pilihan kami," kata Elina dengan percaya diri.

"Tapi mereka tidak dijodohkan dengan kakek-kakek," kata Ariana memekik.

"Jangan berteriak di depanku, Nona muda. Aku melahirkan kamu." Elina kembali menghisap tembakau itu dan meracuni tubuhnya. "Aku menikah dengan pilihanku sendiri, waktu itu aku cukup buta untuk tahu bagaimana kelakuan orang yang menjadi suamiku, astaga aku menyesal."

"Ibu, jangan bicara yang buruk tentang ayah. Yang bermasalah sekarang bukankah hanya Ibu? Yang terus saja minum dan menghisap tembakau, pergi ke pesta demi pesta, bagus sekali ketika penggerebekan itu Ibu bisa selamat, kapan Ibu akan berhenti?" tanya Ariana yang kesal. "Apakah Ibu tidak kasihan dengan ayah?" tanyanya.

Elina mengumpat sekali. "Buat apa aku kasihan dengan bajingan tua itu? Kamu ... sebaiknya segera menikah saja dan keluar dari rumah ini, aku sudah tidak tahan lagi," katanya dengan kasar.

Kedua orang tuanya kadang rukun dan romantis, tapi beberapa kali saling mengumpat memaki. Tidak pernah mereka bersikap begini sebelumnya, entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang pasti, Ariana melihat ibunya semakin tenggelam dalam minum, menghadiri pesta demi pesta sementara ayahnya lebih suka menghabiskan waktu di luar. Mungkin ibunya sakit hati, Ariana mencoba untuk maklum.

"Nanti aku mau pergi, dengan Cassy juga Leona. Mungkin pulang malam," pamit Ariana, daripada hanya berdiam di rumah saja dan membuat kepala semakin sakit. "Ibu, apapun yang terjadi di antara kalian. Kurangilah minum itu, ibu harus sayang dengan tubuh sendiri," tambahnya.

Elina mengangguk dengan sinis, sudah tipsy. "Baiklah, baiklah. Aku mendengarmu," ujarnya.

"Ibu harus jaga kesehatan." Ariana kembali bicara tapi sepertinya ibunya sudah tidak ingin peduli.

"Kalau mau pergi sebaiknya cepatlah. Beritahu aku kalau kamu tidak pulang," balasnya setelah mengangguk beberapa kali.

Ariana tidak betah juga sebenarnya berada di rumah ini, hanya tinggal dia sendiri. Kakaknya telah menikah dan beberapa tinggal di luar negeri. Hanya dirinya yang tersisa, menjadi saksi dari rumah tangga yang semakin lama terlihat panas ini. Tapi mau keluar pun caranya bagaimana.

Menikah dengan uncle Jareth? Yang benar saja.

***

"Aku kira kita akan kemana, setelah berputar kenapa malah berhenti di restoran?" tanya Cassy mencibir Leona yang menggagas acara ini.

"Kita gadis baik-baik, jadi kita di sini saja bukan berada di club' malam bercengkerama dengan para pria." Leona menggerakkan tangannya dengan manis.

"Bicaramu seperti perawan saja. Kalau Ariana sepertinya sih, yakin masih," sahut Cassy yang berada di depan Ariana.

Leona menyatukan alis sebelum bicara, "Kalau dia, memang yakin. Dia itu kilometer zero."

"Bicara apa kalian? Astaga aku ini sangat lapar. Leona, apakah kamu akan membiarkan aku kelaparan? Aku ini sudah kurus," kata Ariana kesal, sudah kemana-mana di sini pun bukannya memesan makanan malah hanya berbincang.

Gadis dengan rambut cenderung keriting itu kemudian memanggil pelayan dan menyebutkan apa saja yang dia inginkan. Bagaimana pun dia sangat hapal makanan yang disukai oleh dua temannya itu. Mereka telah lelah berpesta, sesekali kala bertemu ingin melewati waktu dengan santai saja seperti ini.

"Restoran di dekat lobby, dari sini bisa dilihat jelas tamu yang datang hilir mudik itu." Leona mengangkat gelasnya.

"Yang memakai setelan itu, mungkin datang kemari karena meeting. Yang memakai gaun merah itu, penampilan dan tingkahnya terlihat murahan, mungkin dia pelacur yang disewa orang." Cassy dengan kurang ajar memberikan penilaian.

"Dan yang memakai kemeja putih itu, dia terlihat seperti orang kantoran, berani taruhan dia akan memesan single room yang tidak terlalu mahal." Leona dengan terkikik kembali menilai.

"Oh astaga, bicara apa kalian berdua. Bagaimana bisa kalian menilai orang berdasarkan dari beberapa detik mata kalian memandang?" tanya Ariana tidak habis pikir, meski yang disebutkan oleh dua temannya itu sepertinya benar.

"Ini naluri seorang wanita, kita dengan mudah mengendus apa saja yang tidak beres. Bukankah insting wanita itu tajam?" tanya Leona setelah terbahak hingga lelah.

"Lebih tajam bibir tetangga, omongan netizens, juga ibumu ketika kau habis melakukan kesalahan." Cassy dengan tegas mengucapkan deretan fakta.

Ariana menyungging senyum yang hanya segaris tampak di bibirnya itu. "Ya Tuhan, lihatlah yang barusan datang itu. Sepertinya tampan dan kaya, astaga apakah dia seorang sugar daddy? Aku mau satu."

Cassy dan Leona serentak menoleh. "Hey jaga bicaramu."

"Kenapa?" tanya Ariana dengan polosnya.

"Kenapa? Ayolah kita ini wanita yang bermartabat tinggi. Apakah kita akan menjual diri hanya untuk mendapatkan uang sebesar harga mobil? Ayolah aku dengan mudah meminta ayahku tanpa harus menggesekkan pantat kepada para hidung belang." Cassy dengan arogan berkata.

"Aku ingin tertawa, tapi sepertinya tidak terlalu lucu," gumam Ariana menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Leona kembali mengomentari orang yang hilir mudik, bagi wanita yang kurang kerjaan seperti mereka, anggap saja itu adalah hiburan saja. Terkadang mereka malah melakukan yang lebih, seperti menebak berapa nomor sepatu pria yang kebetulan lewat, dan terkadang menanyakannya. Seperti orang gila.

Tawa Leona terhenti seketika, hampir saja dia membuka suara atas seorang pria yang sudah menua datang ke hotel itu, dari tempatnya duduk matanya bisa melihat dengan jelas siapa itu. Dia melirik Ariana yang sepertinya masih belum paham dengan apa yang terjadi. Sayangnya sepertinya rencananya tidak mulus.

"Aria, yang itu ... memakai tuxedo itu, bukankah itu adalah tuan Irvin? Ayahmu?" tanyanya membuyarkan apa yang ditutupi oleh Leona.

"Mana?" sontak Ariana membalikkan badan.

"Itu, yang sedang memeluk wanita yang memakai gaun mini itu," pekik Cassy.

"Yang mana? Kamu mungkin ngelindur," sergah Ariana yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kawannya.

"Aria, aku tidak buta juga tidak rabun. Itu adalah ayahmu, tuan Irvin. Sedang memeluk wanita dengan mesra, ayolah aku bisa tahu itu bukan kakakmu. Aku tahu, kakakmu tidak akan berpakaian dengan selera rendahan begitu." Cassy kembali bersuara dengan yakin.

Ariana mencari sosok yang dimaksud, dan dia menemukan asisten ayahnya memang berada di sana. "Itu, asisten ayahku," kilahnya.

Leona membuang napasnya dengan kasar, kesal tentu. Kenapa malah memergoki orang yang sedang selingkuh ketika mau menikmati makan malam. Dan Ariana, sial sekali dia harus melihat dengan mata kepala sendiri kalau ayahnya menghianati keluarganya.

"Itu, di sebelah asisten itu, itu adalah ayahmu. Aku bisa membedakan siapa yag memakai jas mewah dan yang biasa saja." Leona membuka suara.

Ariana diam dan gemetar, dari tempatnya berada sangat jelas terlihat. Seorang Irvin yang sudah memiliki cucu itu memeluk dan mencium wanita lain. Kurang ajar. Apakah ini yang dimaksud oleh ibunya kalau ayahnya juga merupakan seorang bajingan?

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wiedy_wynk
sama aja mereka mah 🥱
goodnovel comment avatar
Ibdaii
entah siapa yang gila.. emaknya atau bapaknya si Ariana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status