Tidak ada suara pisau dan garpu yang berdenting, hanya ada sunyi ketika tiga manusia itu bersama mengelilingi sebuah meja besar dengan berbagai hidangan. Sesekali lain yang panjang tergantung di sisi jendela itu bergerak tertiup angin. Gadis muda itu terus saja memotong makanannya dalam diam tanpa kata.
"Jareth mengundang kita makan malam di rumahnya, sekaligus membicarakan tentang pernikahan," kata Irvin yang tiba-tiba memecah kesunyian.
"Pernikahan siapa?" Ariana dengan acuh menjawab.
"Di sini yang belum menikah hanyalah kamu Ariana, berhenti menanyakan hal yang tidak perlu," kata Elina yang segera meletakkan pisau kecilnya.
"Aku masih ingin sekolah lagi, mungkin melakukan kolaborasi dengan beberapa pelukis di kota, masih banyak hal yang masih ingin aku lakukan, aku masih punya cita-cita," sergah Ariana berusaha menolak lagi.
"Cita-citamu tidak akan lari hanya karena kamu menikah Ariana. Kamu tetap bisa kolaborasi dengan siapapun bahkan setelah menikah. Jareth bukan orang yang kolot." Irvin kembali berusaha meyakinkan putri bungsunya. "Aku juga tahu kalau dia adalah pecinta seni, dia pasti akan mendukungmu, tidak perlu kuatir."
Elina mengamati gadis dengan gaun berenda yang duduk tidak jauh dari kursinya itu. "Entah kenapa aku jadi curiga. Apakah kamu sudah punya pacar?" tanyanya.
Ariana menggeleng dengan keras. "Tidak," ucapnya.
"Lalu kenapa kamu begitu keras kepala? Apakah kamu lebih suka berkencan dengan seorang pengangguran atau pemabuk jalanan?" tanya Elina dengan sinis.
"Pikiran buruk apa itu? Ini hanya, ini hanya belum waktunya Ayah, Ibu. Aku baru 22 tahun dan kalian menjodohkan aku dengan seorang pria, yang ... berusia 45 tahun." Ariana memekik marah. "Apakah kalian sedang berusaha menghancurkan aku?" tanyanya dengan raut wajah berapi-api.
Irvin mengelap bibirnya, bicara apa anaknya ini. Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu. Ayah dan ibunya hanya ingin menyingkirkan dia dengan menitipkannya kepada temannya yang mana adalah sosok yang dianggap paling pantas dan bisa dipercaya, bukan sedang mengirimkan ke camp kerja paksa atau ke neraka.
Tidak ada yang ingin menghancurkannya, hanya saja Irvin sudah lelah bersama keluarganya. Setelah menikahkan Ariana dianggapnya kewajibannya itu berakhir dan pernikahannya dengan Elina itu juga akan diakhirinya. Hingga saat itu, mereka berdua harus pura-pura semua baik-baik saja dan itu rasanya lama sekali baginya.
"Kamu akan berterimakasih kepada kamu nantinya Ariana, saranku ... sebaiknya terima saja," kata Elina dengan senyum keibuan yang entah palsu atau tulus, tidak bisa dibedakan.
Ariana sudah kehilangan selera, dengan kasar piring itu didorongnya bagai wanita yang tidak bertata krama. "Kalian merusak selera sarapanku," ujarnya.
Elina dan Irvin saling pandang, harus bagaimana lagi konspirasi ini harus dijalankan. Ariana harus segera keluar dari rumah ini lalu mereka berdua akan segera mengakhiri hubungan itu. Pernikahan mereka sudah seperti panggung boneka, kalau bukan karena Eleanor dan Gabriel tua itu, pasti mereka sudah tenang menjalani hidup masing-masing, tidak harus setiap hari harus berjalan di atas api.
"Setelah pukul 6, kamu harus sudah siap. Ayah sudah bilang kepada Wendy dan mengirim gaun yang pantas untuk kamu kenakan. Jangan membuat ayah malu, uncle Jareth itu adalah teman baik ayah," kata Irvin dengan tegas mengambil keputusan.
Ariana berdiri dengan kasar, tanpa menunggu pelayan menarikkan kursinya. Dia melangkah pergi dengan luka yang tidak tampak dari luar. Ada hati yang berdarah tapi hanya dirinya sendiri yang merasa. Kenapa orang tuanya begitu tega kepadanya. Uncle Jareth itu baik, tapi dia ... tua.
Dan jarak usia 23 tahun itu, astaga.
***
Rumah dengan nuansa putih yang baru saja dia masuki pelatarannya ini sama sekali tidak asing, berapa kali Ariana datang kemari sudah tidak terhitung lagi. Beberapa kali pesta kebun, wine party dan yang paling diingatnya adalah pesta pernikahan megah yang dihadirinya ketika usianya belum genap 10 tahun. Ketika seorang Jareth Lee menikah dengan Charlotte Davis.
Ariana bergumul dalam pelik, sosok yang biasanya dipeluknya dengan kasih sayang bagaikan seorang keponakan dengan seorang paman itu kini harus berubah. Terbayang nanti mereka duduk bersama di pelaminan, lalu pergi berlibur menikmati bulan madu. Di tengah itu semua apalagi yang akan mereka lakukan, melucuti pakaian satu persatu di depan uncle Jareth, astaga tidak bisa dibayangkan.
"Jareth, semoga kami tidak terlambat," kata Irvin menyalami kawannya.
"Kalau pun terlambat, aku tetap bisa memaklumi. Membuat para wanita itu jadi demikian cantik itu memang perlu waktu," kata Jareth memandang Ariana dan Elina yang berdandan dengan cukup baik.
Ariana menunduk, semua sudah tidak sama lagi seperti dulu yang mana dia dengan bebas menempel pada pria itu bagaikan keluarga sendiri. Sosok tegap dengan rambut yang mulai terlihat memutih itu akan menjadi suaminya. Hidup yang dirangkainya dengan indah ini akan hancur begitu saja mungkin, menjadi nyonya besar dari seorang duda tua sama sekali bukan cita-citanya.
"Beri salam kepada calon suami kamu Ariana, tunjukkan kalau 3 tahun waktu yang kamu habiskan dengan sekolah tata krama itu ada gunanya." Elina bicara dengan putrinya dengan sorot mata yang begitu tajam.
Ariana susah payah mendongak, menatap wajah yang melihatnya dengan tatapan yang terlihat tulus. Apakah pernikahan ini akan baik-baik saja nanti? Jarak demikian jauh itu mengingatkan dia akan yang namanya pedofilia, ah ini berlebihan. Pemikirannya sungguh berlebihan.
"Selamat malam Uncle," sapa Ariana dengan gugup.
"Selamat malam Ariana, apa kamu sakit? Kamu terlihat pucat," tanya Jareth mengecup lembut tangan itu.
"Aku baik-baik saja, mungkin hanya kedinginan. Baju ini terlalu terbuka," kata Ariana sekenanya.
"Oh cepatlah masuk, aku bisa mengambilkan kamu mantel," kata Jareth terlihat kuatir.
"Ide bagus," balas Ariana tersenyum dan melirik ke arah kedua orang tuanya. Akhirnya dia bisa memisahkan diri dengan mereka.
Jareth berjalan di depan dan Ariana mengikutinya. "Mari, kamu sudah berapa kali kemari, anggap rumah sendiri."
"Tentu saja Uncle," kata Ariana yang dengan riang melangkahkan kaki di belakang pria itu.
Pria itu tampak memanggil seorang pelayan dan mengatakan apa yang diinginkannya. Dia menyebutkan sebuah mantel yang berada di kamar mendiang Charlotte Davis. Ariana harus mengakui kalau Jareth itu begitu lembut dan penyayang, tapi ketika 22 menikah dengan 45 apakah itu tidak bisa disebut dengan kejahatan? Ya Tuhan Ariana semakin pusing.
"Uncle, apakah Uncle akan meninggalkan aku di sini sendirian dengan orang lain?" tanya Ariana dengan memelas ketika pria itu pamit akan ke bawah menemui Irvin dan Elina.
"Pelayan akan memberimu mantel dan akan mengantarkan kamu turun Ariana. Tidak ada yang perlu ditakutkan," kata Jareth menatapnya dengan heran. Sejak kapan dia jadi semanja itu?
"Tapi Uncle, aku juga ingin bicara," kata Ariana berjalan mendekat.
"Oh, baiklah Ariana. Apa yang akan kamu bicarakan? Aku di sini mendengarkan kamu," kata Jareth membalikkan tubuhnya.
Ariana bingung harus mulai dari mana, melihat mata Jareth yang tulus itu rasanya tidak tega. Tapi tentu saja dirinya tetap memiliki pilihan bukan? Dan menikah muda bukanlah pilihannya, apalagi dengan duda.
"Uncle, aku tahu pasti ayahku telah bicarakan ini dan makan malam ini untuk apa. Tapi bagaimana kalau aku punya keputusan sendiri? Bagaimana kalau ... aku belum ingin menikah?" tanyanya dengan memandang lekat pria itu.
Jareth tampak terkejut, semua sepertinya baik saja hingga saat ini dan gadis ini malah berkata kalau tidak ingin menikah. Kejutan ini tentu sangat tidak diharapkannya.
"Oh," gumam Jareth , kalimat yang sama sekali tidak disangkanya. Penolakan ini mengejutkan mengingat kalimat dari Irvin begitu meyakinkan.
Ariana tahu, pria itu pasti terkejut. Segaris kecewa itu terlihat jelas di sela bibirnya yang memaksa untuk tersenyum seakan semua masih baik-baik saja. Uncle Jareth itu orang baik, dia pasti mengerti.
***
"Aku pikir kamu tidak akan datang," kata Lilah begitu melihat Ariana melenggang menghampirinya.Ariana berdiri tegak di depan ibu hamil itu dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji untuk datang? Lagipula aku tidak ada masalah dengan ini, katamu kita akan bersenang-senang menghabiskan uang suami. Jadi, tunggu apalagi?"Lilah melengos mendengar kalimat itu. "Kamu sudah beradaptasi dengan baik rupanya, bagus sekali."Wanita muda itu segera memutar tubuhnya dan mengerutkan kening. "Beradaptasi apa maksudnya?""Ah tidak." Lilah mengibaskan tangannya. "Maksudku, kamu sudah begitu cepat menyesuaikan diri menjadi istri Jareth, meski tetap belum begitu sempurna." Dengan enteng wanita hamil itu berlalu tapi memberi isyarat agar Ariana mengikutinya.Meski kesal Ariana mengikuti juga langkah dari sepupu suaminya itu. Lilah ini kalau bicara memang kerap menjengkelkan. Entah ada masalah apa dalam hidupnya, kalimat-kalimat yang terlontar beberapa kali membuat dirinya bingung kenapa. Seperti yang te
"Hati-hati di jalan Sayang, aku menunggumu." Ariana meletakkan smartphone itu dan kembali menikmati minumnya. Dirinya dan suaminya telah bertolak ke Italia sejak beberapa hari, bukan karena ini adalah salah satu negara yang romantis tapi karena Jareth ada urusan di Milan. Kalau ditanya, jelas sekali itu adalah urusan bisnis yang Ariana tidak banyak tahu. Bukannya dia sama sekali tidak paham bisnis, tapi menjadi istri dari Jareth Lee saja baru berapa lama, segala aset dan usaha milik suaminya dia belum tahu semua. Kopi itu dinikmatinya perlahan, jangan banyak makan dulu atau nanti ketika suaminya kembali perutnya sudah penuh terisi makanan. Dia mengedarkan pandangannya, suasana tenang layaknya sebuah restoran megah ini dinikmatinya dengan penuh ketenangan dalam kesendirian. Tidak mengapa, nanti dia akan memuaskan dirinya setelah suaminya kembali.Matanya terantuk pada sosok yang berada di sana, seorang wanita yang perutnya membuncit entah hamil beberapa bulan. Ariana mengumpulkan seg
"Waktunya makan malam, Tuan ... Nyonya," ucap seorang pria tua yang biasa dipanggil dengan Sebastian itu.Ariana dan Jareth telah menghabiskan beberapa hari di rumah besar itu, mendengar suara Sebastian, mereka yang sedang bercengkerama bersama memandangi kebun itu segera menoleh dan melirik ke arah pergelangan tangan. Berbeda dengan suaminya yang segera tersenyum mengiyakan, wanita itu hanya menunduk sesaat sebelum bangkit.Di sini, tidak ada bedanya dengan berada di rumahnya, kalau diingat lagi sepertinya keadaan lebih parah yang di sini. Ketika di rumah kapan harus begini dan begitu seperti sudah diatur dan waktu makan pun demikian. Kapan sarapan, makan siang dan makan malam itu selalu saja tepat waktu setiap harinya dan mereka akan menuju ruang makan hanya setelah Sebastian itu datang memberi tahu.Siapa bilang hidup seperti tuan puteri seperti yang dijalaninya ini begitu indah, sebagian memang indah ketika berada di bagian bisa kemana pun tanpa harus memikirkan finansial. Tapi ke
"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
Rumah mereka kini boleh dikatakan lengang setelah pernikahan Ariana Putri bungsunya. Hanya ada mereka berdua saja kini dan juga para pelayan juga asisten rumah tangga yang entah jumlahnya berapa. Rasanya beban yang ada di pundak mereka itu runtuh setelah Jareth memperistri putrinya.“Kamu pasti menganggapku sebagai istri dan ibu yang jahat, seandainya mereka juga tahu apa yang telah kamu lakukan. Ariana sepertinya sudah tahu tapi dia memilih diam, sampai kapan kamu akan melakukan perilaku bejat seperti itu Irv?” tanya Elina ketika pengacara yang mengunjungi kediaman mereka baru saja pergi.“Kamu juga sama tidak sucinya dengan aku El, jadi kenapa tidak kita sudahi saja basa-basi ini? Aku tidak akan datang sekalipun ke pengadilan, aku sudah begitu menginginkan perceraian ini. Dan kamu kalau butuh alimoni sebutkan saja jumlahnya dari awal dan aku tidak ingin hal itu menjadi hambatan ketika kita bercerai.” Irvin dengan lugasnya berkata di depan istrinya.“Kamu tidak perlu kuatir, aku akan
"Butuh bantuan?" tanya Jareth ketika Ariana yang berada di depan cermin itu berusaha melepas kalung itu. Ariana menoleh, entah kapan datangnya pria ini, dia tiba-tiba saja berada di kamar ini. Senyum yang tipis segera disinggungkan berikut kepalanya yang mengangguk pelan. Yang berada di dalam dada terasa berdegup dengan kencang, mereka kini hanya berdua saja di ruangan yang megah dan luas ini. Terasa jari hangat itu menyentuh tengkuk berikut kalung yang dilepaskan dengan perlahan, benda itu kini telah berada pada torso yang terletak di atas meja. Mereka bersentuhan fisik memang bukan yang pertama kali, dahulu sering sekali tapi hanya terbatas pada pelukan juga kecup kecil di dahi ketika ada hari istimewa. Sekarang orang itu telah resmi menjadi suaminya. "Terima kasih," ucap Ariana dengan pelan, rasa canggung itu begitu menguasainya. "Butuh bantuan lain?" tanya Jareth ketika melihat jari lentik itu kesulitan mencapai resleting yang berada di punggung itu. "Padahal kamu tinggal bila