"Nur, buka pintunya!"
Ketukan pintu depan terdengar di saat wanita yang bergelar istri itu sedang beribadah. Setelah salam, gegas dia turun ke lantai bawah. Hatinya bertanya-tanya siapa yang datang pada siang hari terik seperti ini. "Mas?" Tatapan kaget Nuraini menyambut suaminya di depan pintu terpampang jelas. Namun, bukan saja waktunya yang tidak biasa lelaki itu pulang kerja. Melainkan dengan sosok wanita di belakang suaminya itu. Tanpa peduli dengan keheranan istrinya, Fahri langsung masuk begitu saja dengan menggenggam tangan wanita yang dibawanya. Lalu mereka duduk di sofa ruang tamu. Nuraini yang masih belum mengerti siapa wanita yang datang bersama Fahri pun tetap bersabar. Diambilnya dua gelas air minum seperti yang biasa ia lakukan kala suaminya pulang kerja. "Minum airnya, Mas, Mbak!" pinta Nuraini. Netranya menatap wanita di samping Fahri dengan penuh tanda tanya. Pandangannya lalu beralih pada tangan keduanya yang saling menggenggam erat. Jauh di lubuk hati Nuraini ada sebuah luka tersayat, sakit tapi tak berdarah. Wanita berhijab itu pun menatap suaminya yang juga tengah memperhatikan tingkah istrinya. Lelaki itu berpikir istrinya akan mengamuk setelah melihatnya bersama wanita lain. Namun, Nuraini tetap bersikap tenang dan sabar seperti biasa. "Dia adalah istri kedua, Mas," ucap Fahri seraya melirik ke samping. "Namanya Melisa," sambungnya lagi. Melisa tersenyum mengulurkan tangannya pada kakak madunya. Nuraini yang masih terbengong tidak menyambutnya, hati wanita itu bagai tersambar petir. Di siang bolong tanpa pemberitahuan sebelumnya, tanpa curiga akan kesetiaan Fahri. Suaminya malah mengatakan hal di luar dugaan. "Kenapa, Mas? Apa aku ada salah? Katakan apa salahku biar aku perbaiki," ucap Nuraini serak menuntut jawaban. Bagaimanapun hatinya terluka walau sesabar apa dirinya. "Kamu nggak salah, tapi Mas mencintai Melisa. Oleh karena itu Mas menikahinya tanpa sepengetahuanmu," jawab Fahri membawa tangan Melisa di atas pahanya. "Sejak kapan, Mas?" tanya Nuraini lagi. Napasnya terdengar memburu. Sulit mendamaikan hati disaat seperti ini. Bagai dihantam batu besar dadanya begitu sesak. "Sejak dua bulan yang lalu dan kini Melisa sedang hamil." Runtuh sudah pertahanan Nuraini, air matanya tumpah ruah. Kabar pernikahan suaminya saja sudah membuat dia shock ditambah kini wanita kedua suaminya itu sudah mengandung benih cinta mereka. "Maaf, Mas nggak memberitahumu sebelumnya karena Mas tau kamu akan menolak. Dan Mas juga nggak perlu ijin kamu karena laki-laki boleh memiliki istri lebih. Mas lakukan ini juga karena ingin mempunyai keturunan. Pewaris yang akan membanggakan kita kelak," ucap Fahri senang. Kita? Kamu paling Mas yang bangga, mana mungkin aku bangga kalo itu bukan anakku, batin Nuraini sesak. "Mbak, kamu tenang aja. Walaupun Mas Fahri menikahiku tapi aku nggak menyuruhnya menceraikan Mbak. Kita bisa hidup akur, nanti anakku juga anak Mbak," timpal Melisa yang disetujui Fahri. Mudah sekali wanita ini bicara. Apa dia tidak merasakan betapa sakitnya dikhianati suami sendiri yang tiba-tiba membawa pulang wanita lain yang sudah berisi pula, batin Nuraini lagi menatap tajam Melisa. Nuraini menggeleng tidak habis pikir, kenapa suaminya begitu kejam mengkhianati pernikahan mereka dengan dalih ingin punya ahli waris. Bukankah rumah tangga mereka baru berjalan tiga tahun. Ya selama itu pula Nuraini belum hamil tapi dia sudah berusaha berobat dan konsultasi pada dokter yang berbeda. Lain dengan Fahri, dengan alasan sibuk dia selalu menolak ajakan istrinya untuk berobat. Lama kelamaan Nuraini pun mengira Fahri tidak terlalu mementingkan anak. Apalagi tidak pernah keluar dari mulutnya keluhan tentang anak. Tapi kini, kenapa suaminya berubah pikiran. Tidak tanggung-tanggung menikahi wanita lain demi ingin punya keturunan. Cinta? Lalu apakah dengan dirinya Fahri tidak cinta. "Bagaimana, kamu mau 'kan menerima Melisa sebagai adik madu? Mas janji akan berlaku adil diantara kalian," janji Fahri manis. "Beri aku waktu untuk berpikir, Mas! Tunggu tiga puluh menit saja," ucap Nuraini beranjak dari duduknya lalu menuju kamar. Tiba di kamar, wanita itu membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Menangis sepuasnya untuk meluapkan rasa kecewa, sedih dan sakit hatinya. Suara isakannya begitu menyayat bagi yang bisa mendengarnya. Nuraini tidak yakin dengan janji suaminya. Untuk menikah lagi saja Fahri tidak memberitahunya apalagi soal berlaku adil. Tapi, sedikit banyak dia sudah pernah mendengar berbagai ceramah ustad bahwa wanita yang ikhlas dipoligami maka surga akan didapatnya. Bagi wanita berhijab coklat itu sulit menerima poligami karena dia belum siap atau belum ada ilmu untuk mengamalkannya. Sebuah perang berkecamuk dalam pikirannya. Dilema, haruskah dia memilih berpisah atau dimadu. Akhirnya dengan pertimbangan matang, Nuraini merasa mantap. Dihapus air matanya yang masih tersisa kemudian mencuci wajahnya agar sembab yang terbentuk di matanya hilang. Sekali lagi dia menatap cermin, setelah yakin wajahnya normal sambil menghembus napas dia pun membuka pintu. Fahri dan Melisa mendongak ke atas kala terdengar pintu terbuka. Keduanya melihat Nuraini menuruni tangga dengan santai. Tidak terlihat raut sedih di wajahnya. Fahri pun mengira istrinya akan setuju dengan pernikahan keduanya. Turun dari tangga, Nuraini langsung ke dapur mengambil minum dan membawanya ke depan. Kemudian duduk di hadapan dua insan yang tengah menunggu keputusannya. Diteguknya air di gelas sampai habis, sungguh tenggorokannya terasa kering setelah menangis tadi. Fahri dan Melisa sudah tak sabar, selagi Nuraini di kamar tadi keduanya saling berciuman. Mencuri kesempatan untuk menyalurkan hasrat mereka. Sungguh seorang suami yang tidak berakhlak, disaat istri pertama berjuang menetapkan keputusan hatinya, dia malah bersenang-senang dengan istri keduanya. "Mas, sebenarnya hatiku kecewa. Dulu, setiap diajak berobat Mas selalu menolak dan juga Mas nggak menuntut dariku seorang anak. Kini, walaupun aku nggak tau apakah Mas jujur atau berbohong hanya demi anak rela menduakan aku," keluh Nuraini menumpahkan isi hatinya. "Dulu, Mas pikir hanya kita berdua saja cukup bahagia jadi Mas nggak ingin menyusahkan kamu dengan anak. Makanya Mas nggak terlalu pusing. Akan tetapi, setelah bertemu Melisa entah kenapa Mas begitu mendambakan anak. Apalagi setelah tau Melisa hamil, Mas begitu bahagia." Perkataan Fahri bagai duri menusuk hati Nuraini, kenapa suaminya mendambakan anak dari wanita lain bukan darinya. Apakah selama ini tidak ada arti dirinya sedikitpun dalam hati Fahri. Nuraini menggigit bibirnya menahan agar air matanya tidak jatuh. Dia tidak ingin menampakan kesedihan lagi di depan suaminya. Nuraini ingin kembali menjadi pribadi yang sabar dan lembut. "Baiklah, Mas! Aku menerima Melisa sebagai adik madu, tapi dengan satu syarat," ucap Nuraini yang akhirnya ditunggu-tunggu keduanya. Mata Melisa berbinar mendengar persetujuan dari mulut madunya. Rasanya dia tidak sabar untuk menjadi nyonya Fahri. Dipikirnya akan susah untuk mendapat gelar itu karena rintangan terbesar adalah istri pertama suaminya. "Apa syaratnya?" tanya Fahri tak sabar. Dirinya juga sangat bahagia Nuraini bisa menerima Melisa dan calon anaknya."Apa syaratnya?" tanya Fahri tak sabar. Dirinya juga sangat bahagia Nuraini bisa menerima Melisa dan calon anaknya. Nuraini menatap netra suaminya yang bersinar. Dia tau tidak bisa menolak, keputusan yang diambilnya juga bukan untuk menyenangkan mereka berdua. Tapi semata-mata dilakukan untuk dirinya sendiri. Walaupun dia mencintai suaminya, bisa saja menginginkan sebuah perpisahan. Akan tetapi, wanita cantik itu tau diharamkan surga bagi istri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar. Semua Nuraini lakukan untuk menggapai ridho Tuhannya. Dia sudah mengerti bahwa hanya ada dua jalan bagi istri untuk mencapai surga yaitu ridho suami dan ridho Allah. Ya, Nuraini rela dimadu demi menggapai kedua ridho itu. "Syaratnya, aku ingin tinggal terpisah. Sebaiknya Mas carikan rumah buat Melisa," jawab Nuraini tersenyum. "Memang kenapa Mbak kalo kita tinggal serumah?" tanya Melisa tak mengerti. Melisa terkejut, bagaimana mungkin madunya memiliki pemikiran seperti itu. Dia ber
"Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya." Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu. Awalnya dia tidak sengaja karena ingin melihat keadaan adik madunya tapi tak disangka mendapat pengakuan mengejutkan. Nuraini menutup mulutnya yang kaget dengan perkataan suaminya. Benarkah yang dikatakan Fahri, kenapa harus membohonginya. Tak cukupkah luka yang digores karena pengkhianatan. Kini harus ditambah harta miliknya yang ingin direbut. Nuraini masih terpekur di depan pintu, sampai kemudian terdengar tawa cekikan Melisa diiringi lenguhan keduanya di dalam kamar membuatnya tersadar dan jijik. Menatap pintu dengan nyalang dan penuh amarah. Wanita cantik berhijab coklat itupun berlalu dengan perasaan hancur. Dalam satu hari ini sudah berapa kali dia mendapat kejutan dari suaminya. H
Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?" Lelaki itu berbalik badan dan tersenyum, "Mas mencintaimu, Nur!" Kamu bohong kan, Mas! Tidak mungkin kamu masih mencintaiku setelah apa yang kamu perbuat padaku hari ini, batin Nuraini mendengus. Dirinya menatap punggung Fahri yang berjalan keluar setelah mengucapkan cinta. Bila dulu kata cinta itu begitu melambungkan Nuraini. Walaupun hidup berdua tanpa anak, bagi wanita berumur dua puluh lima itu tidak masalah. Asal kasih sayang Fahri tidak berkurang maka persoalan lain tidak dia pusingkan. Teringat janji yang dipinta Fahri tadi, Nuraini menghubungi seorang teman. Tidak berapa lama dering panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, Nuraini!" "Wa'alaikumussalam, maaf mengganggu kesibukan kamu Mas Tommy," ucap Nuraini segan. "Nggak apa-apa, hum! Ada apa tumben meneleponku?" Nuraini mentralkan jantungnya yang berdebar, sebenarnya dia tidak ingin lagi berhubu
Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama. Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat ac
Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya,
Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng