Disinilah Hayati berada, kediaman mertuanya. Rumah yang terlihat mewah dan luas seperti yang pernah Hayati lihat dalam sinetron azab atau drama ikan terbang di televisi.
Namun, hal yang pertama dikatakan oleh mertuanya justru, "Pernikahan kalian siri. Kami tidak berniat melegalkannya di mata hukum!"
“Sesuai dengan janji kami, kamu sudah menikah dengan Rama. Tidak ada lagi urusan dengan kepolisian. Bahkan biaya rumah sakit semua sudah kita tanggung. Ada beberapa hal yang perlu kamu tahu dan kami tidak mungkin menunda untuk menyampaikannya,” terang Ibu Mertua, Hayati hanya bisa menatap sambil mendengarkan apa yang disampaikan.
Kenapa mereka tidak ingin melegalkan pernikahan aku dengan Mas Rama. Bapak, bagaimana ini? batin Hayati.
“Juga tidak akan ada resepsi pernikahan,” tambah Rama. “Dan kita akan tidur di kamar terpisah."
Hayati hanya bisa menelan ludah mendengar apa yang disampaikan Rama. Sejak kecil membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahannya. Memakai gaun cantik, didandani secantik mungkin bagai putri dari negri dongeng dan yang terpenting bersanding dengan pria tampan dan saling mencintai. Harapan yang hanya tinggal harapan, karena semua itu tidak akan terwujud. Tidur di kamar terpisah? Bukankah jika kedua orang yang sudah menikah mereka akan tinggal bersama lalu ... Ah sudahlah, Hayati pun tidak ada ide apa yang harus mereka lakukan jika harus berada dalam kamar yang sama.
“Kamu tau kenapa hal-hal tadi tidak akan dilaksanakan?” tanya Yaksa.
Hayati hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Karena Rama sudah menikah.”
“Apa!.” Hayati terkejut sampai menutup mulut dengan telapak tangannya. Tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Jika Rama sudah menikah berarti dia adalah madu dari istri pertama Rama atau istri kedua bahkan bisa juga disebut istri simpanan Rama.
“Karena itulah kami, tidak bisa memberikan tempat yang seharusnya untuk kamu sebagai istri Rama. Kita akan rencanakan untuk menyampaikan hal ini pada Isna, istri pertama Rama.”
Hayati hanya bisa menundukkan kembali wajahnya. Sungguh malang nasibnya, menikah dengan pria beristri dan jelas-jelas bahwa itu hanya status karena dia tidak akan mendapatkan tempat sebagaimana mestinya sebagai istri dan menantu di rumah ini. Belum lagi kondisi Bapaknya yang sedang koma.
“Istirahatlah, besok kamu harus kembali ke Rumah sakit bukan?” Hayati mengangguk, mulutnya sulit untuk menjawab apapun.
Kini Hayati sudah berada di lantai dua rumah tersebut. Saat kedatangan dan menginjakkan kaki di rumah itu, Hayati memandang takjub dengan kondisi rumah mewah milik keluarga Rama tapi saat ini dia seakan berada di rumah petak yang kumuh dan tidak layak untuk ditinggali.
“Ini kamar kamu, kamarku yang ini,” tunjuk Rama. “Tidak perlu masuk ke dalam kamarku atau melakukan hal-hal sebagaimana kewajiban seorang istri. Aku bisa mengurus diriku sendiri, begitu juga dengan kamu. Kita tidak menginginkan pernikahan ini, semua terjadi karena terpaksa,” ucap Rama.
Hayati hanya diam dengan kedua mata yang mulai mengembun. Rama sebenarnya tidak tega mengatakan kalimat yang akhirnya hanya menyakiti hati dan perasaan Hayati. Bagaimanapun gadis ini hanya korban keadaan. Tapi situasi membuat Rama harus tegas agar tetap setia pada Isna Adam, istrinya.
Sebagai pria normal, Rama dapat menilai penampilan Hayati sangat tidak ada cela. Kecuali gaya pakaiannya yang terlihat old fashion. Mungkin karena Hayati tinggal di Desa dan dengan keadaan ekonomi yang menuntut kebutuhan pangan lebih utama dibandingkan pakaian. Wajah Hayati cantik alami, dengan hidung mancung bulu mata lentik dan bentuk bibir yang membuat tampilan wajahnya sempurna. Rama yakin jika Hayati adalah seorang gadis yang belum pernah tersentuh. Sangat menggoda bukan, bisa saja Rama menyentuh Hayati karena itu sudah haknya sebagai seorang suami, tapi Rama tetap berprinsip jika hanya Isna satu-satunya wanita yang dicintainya.
***
Sudah hampir seminggu pernikahannya dengan Rama, Hayati selalu bolak-balik Rumah Sakit diantar oleh supir keluarga Yaksa. Dirinya sudah tidak bertemu Rama, sehari setelah hari pernikahannya. Yang dia dengar dari supir yang selalu mengantar jemput Hayati, Rama sedang berada di luar kota karena urusan bisnis dan perusahaannya.
“Bapak, sadarlah,” ucap Hayati yang bisa melihat kondisi orangtuanya lewat kaca. Karena Radit sedang dalam pantauan dokter dalam keadaan koma di mana kondisi tubuhnya semakin melemah.
Hayati tiba-tiba panik saat mendengar alat bantu pengobatan yang terpasang pada tubuh Bapaknya berbunyi.
Terlihat perawat yang cekatan melakukan prosedur pemeriksaan. Hayati tidak sabar menunggu penjelasan Dokter mengenai kondisi Bapaknya, Cukup lama menunggu, akhinya Dokter menyampaikan jika kondisi Bapaknya sudah kembali stabil setelah mengalami serangan jantung dan saat ini belum sadarkan diri. “Sadarlah Pak, aku ingin kembali ke rumah kita di kampung. Menikahkan aku dengan Mas Rama bukan solusi, aku tidak bahagia,” ucap Hayati lirih. Pipinya sudah basah dengan air mata. Yang membuatnya lega adalah dia tidak perlu memikirkan biaya Rumah Sakit karena ditanggung oleh keluarga Rama. Hayati menunduk sambil meremas botol air mineral yang dipegangnya. Bersandar pada kursi ruang tunggu keluarga pasien, hanya itu yang bisa dia lakukan selama seminggu ini.Hayati kembali ke kediaman mertuanya, bahkan saat ini sudah berada di kamarnya. Merebah di ranjang yang terasa sangat nyaman untuk ditiduri hingga perlahan dia pun mulai terlelap.“Hayati, jalani hidupmu dengan baik. Sabarlah, karena tidak
Hayati masih berada di sisi makam Radit, para pengantar jenazah yang memang hanya beberapa orang sudah meninggalkan pemakaman begitu juga kedua orangtua Rama. Rama berdiri tidak jauh dari tempat Hayati bersimpuh.Sempat memohon pada Rama agar memakamkan Radit di kampung halamannya dan Rama boleh menalak dan meninggalkan Hayati disana. Tapi Yaksa menolak permintaan tersebut.“Kita tidak tau ke depannya akan bagaimana, saat ini Hayati sedang berkabung. Ketika sudah membaik bisa jadi ada rencana busuk untuk membalas dendam atau menjatuhkan kehidupan kamu,” ujar Yaksa.“Ayah benar, apalagi saat ini posisi kamu di Perusahaan sedang bagus-bagusnya. Jangan sampai keluarga Adam tau dan murka, mereka bisa lakukan hal-hal yang tidak terduga. Kecuali kamu sudah siap jatuh miskin. Kalau Ibu sih nggak mau ya,” sahut Zahida.Rama menghela nafasnya mengingat ucapan kedua orangtua yang mungkin saja ada benarnya. “Hayati, mau sampai kapan kamu di sini. Langit sudah hampir gelap,” ucap Rama.Mengusap w
“Rama,” panggil Isna saat melihat suaminya di pintu keluar Bandara. Rama merentangkan kedua tangannya agar Isna datang ke dalam pelukannya.“Miss you so bad,” ujar Rama.“Gombal,” jawab Isna. Mengurai pelukannya lalu Rama meraih trolly berisi koper dan tas milik Isna. Berjalan beriringan sambil sesekali tertawa, menuju mobil yang akan membawa mereka pulang. Rama memindahkan koper dan tas-tas milik Isna sedangkan pemiliknya sudah duduk manis di samping kemudi.“Langsung pulang?” tanya Rama.“Iya, aku sudah lelah mau berendam air hangat.”“Nggak kangen aku, sayang,” goda Rama sambil mulai melajukan mobilnya meninggalkan area bandara.“Bangetlah.”“Oke, siap-siap aja nanti malam kita lembur,” ucap Rama.“Siapa takut.”Saat menjejakkan kakinya di rumah, Rama merangkul bahu Isna. Dilema memutuskan akan menyampaikan sekarang atau menundanya. Setelah Isna enyapa mertua dan berbasa-basi, mereka melanjutkan percakapan sambil menikmati makan malam.“Isna, ada yang ingin aku bicarakan setelah i
"Istriku hanya kamu Isna. Hayati dan aku menikah hanya karena tanggung jawab bukan karena cinta. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya," ungkap Rama. Isna menoleh pada Hayati dan menatap untuk memperhatikan detail wajah dan tubuh Hayati. Meskipun sedang menunduk, wajah Hayati terlihat jelas cantik alami khas orang melayu. Dengan hidung yang mancung, bibir yang berwarna pink, terlihat jelas belum tersentuh perawatan dengan bahan tidak alami apalagi operasi plastik. Yang paling penting adalah Isna bisa melihat dari tubuh Hayati jika perempuan itu masih gadis. "Yakin kamu tidak akan tergoda?" "Tidak akan," jawab Rama dengan yakin. "Kalau begitu, tidak ada ada masalah Nak. Hubungan kalian tidak akan goyah dengan kehadiran Hayati karena Rama memang tidak tertarik dengannya, pernikahan mereka murni karena tanggung jawab akan kesalahan yang sudah Rama lakukan." Hayati ingin segera percakapan itu berakhir. Hatinya terasa semakin sakit mendengar pernyataan ibu mertuanya. Bagaimana mungkin
Hayati berjalan mengikuti Isna yang melangkahkan kaki di kediaman yang lebih besar dari kediaman keluarga Rama. Setelah Rama berangkat ke kantor, Isna mengajak Hayati menuju tempat tinggal keluarga besarnya. "Non Isna apa kabar?" tanya asisten rumah tangga yang terlihat sangat rapih. "Baik Bu. Ah iya, Bu Lena kenalkan ini Hayati asisten aku yang baru. Tolong siapkan kamar untuk dia," titah Isna. Bu Lena mengangguk patuh lalu mohon diri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Isna. "Aunty Isna," panggil Aska bocah 5 tahun putra dari Rangga yang berlari ke arah Isna. "Hai Aska, kok masih pakai piyama sih?" tanya Isna. "Aku sakit, aunty," jawab Aska dengan wajah memelas. Hayati tersenyum pada bocah yang memandangnya sambil mengerjapkan matanya. "Dia siapa Aunty?" "Oh, dia asisten Aunty." Bocah yang bernama Aska itu hanya mengangguk lucu membuat Hayati kembali tersenyum gemas menatap wajah bocah itu. "Aska, ayo kembali ke kamar." Seorang pria dengan perawakan tinggi tegap de
Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna. “Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada. *** Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak. Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan. Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya. “Tergantung apa yang harus dikerjakan," j
“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”“Sehat,” jawab Aska.“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska. “Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.“Aska,” panggil Rangga.Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.Ra
Rama menghela nafas karena geram. Hari ini sudah lumayan berantakan, karena berkas yang dibutuhkan untuk rapat malah tertinggal. Menerima panggilan telepon pada ponsel Isna yang mana ada suara laki-laki mengucapkan sayang lalu mengakhiri panggilan ketika Rama bertanya siapa. Rama belum membahas hal ini dengan istrinya, karena kejadian itu pada saat Isna berada di kamar mandi.Ditambah dengan wajah Hayati yang terlihat muram dan sembab, jelas sekali jika kesedihan menyambangi gadis itu. "Tidak akan," jawab Rama dengan tegas tanpa ragu-ragu. Hayati baru akan membuka mulutnya akan menjawab tapi kembali disela Rama. "Cukup. Pagiku sudah berantakan, jangan tambahkan lagi dengan masalahmu." Hayati meninggalkan Rama dengan kembali ke kamarnya. "Dasar egois, tidak punya perasaan, aku sumpahin kamu ... aku hanya minta kata talak dari mulut kamu, Mas," ujar Hayati seakan ada Rama di sana dan mendengar apa yang diucapkan. ***Hari sudah sore saat Rangga yang baru saja tiba di rumah, kembali m