Terlihat perawat yang cekatan melakukan prosedur pemeriksaan. Hayati tidak sabar menunggu penjelasan Dokter mengenai kondisi Bapaknya,
Cukup lama menunggu, akhinya Dokter menyampaikan jika kondisi Bapaknya sudah kembali stabil setelah mengalami serangan jantung dan saat ini belum sadarkan diri.
“Sadarlah Pak, aku ingin kembali ke rumah kita di kampung. Menikahkan aku dengan Mas Rama bukan solusi, aku tidak bahagia,” ucap Hayati lirih. Pipinya sudah basah dengan air mata. Yang membuatnya lega adalah dia tidak perlu memikirkan biaya Rumah Sakit karena ditanggung oleh keluarga Rama. Hayati menunduk sambil meremas botol air mineral yang dipegangnya. Bersandar pada kursi ruang tunggu keluarga pasien, hanya itu yang bisa dia lakukan selama seminggu ini.
Hayati kembali ke kediaman mertuanya, bahkan saat ini sudah berada di kamarnya. Merebah di ranjang yang terasa sangat nyaman untuk ditiduri hingga perlahan dia pun mulai terlelap.
“Hayati, jalani hidupmu dengan baik. Sabarlah, karena tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Temukan Ibumu, buatlah dia menyadari kesalahannya. Bapak percaya, kamu akan bahagia,” tutur Radit.
Hayati tidak dapat menjawab apapun yang disampaikan Radit, tangannya menjulur untuk menyentuh tubuh Radit tapi tubuh itu tidak tersentuh seakan transparan. “Bapak!” teriak Hayati sambil beranjak duduk.
“Hah, ternyata hanya mimpi. Ini pasti karena aku semalam langsung tidur,” Hayati beranjak dari ranjangnya, lalu menuju kamar mandi melakukan ritual pagi hari sesuai kepercayaannya.
Membuka lemari pakaian, dimana sudah tersedia berbagai macam pakaian yang menurut Hayati sangat bagus dan pasti harganya mahal. Sudah pasti Rama yang mengintruksikan asistennya untuk menyiapkan pakaian, alas kaki dan kelengkapan lainnya yang merupakan kebutuhan wanita. Memilih tunik berwarna hitam yang panjangnya sampai lutut dipadukan dengan celana legging yang juga berwarna hitam. Entah kenapa hari ini Hayati memilih pakaian itu.
Terdengar ketukan pintu. Hayati bergegas membukanya, “Non Hayati sudah ditunggu Tuan dan Nyonya di bawah.”
Hayati segera meninggalkan kamarnya, menuju ruangan dimana kedua mertuanya menunggu. Tanpa diduga sudah ada Rama juga di sana, ketiganya menatap Hayati yang sedang berjalan menghampiri.
“Hayati, kita harus segera ke Rumah sakit,” ujar Zahida.
“Iya, Bu. Aku memang ingin ke rumah sakit. Kangen Bapak, semalam bermimpi agak aneh,” jawab Hayati.
“Rumah sakit belum lama menelpon, Bapak kamu sudah tidak ada,” ujar Rama.
Hayati belum bisa mencerna apa yang Rama sampaikan. “Maksudnya Bapak sudah sadar? Terus kabur gituh? Aku nggak ngerti,” ucapnya.
“Bapak kamu sudah meninggal, Nak.”
Hayati terpaku di tempatnya setelah mendengar ucapan Ibu mertunya, bahkan Rama harus menepuk pundak Hayati untuk menyadarkannya, “Nggak mungkin, Rumah Sakit pasti keliru. Aku ke sana untuk pastikan,” ucap Hayati lalu bergegas pergi. Rama mengejar Hayati dan menarik siku tangan Hayati menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil.
Tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya selama perjalanan menuju rumah sakit. Bayang-bayang kebersamaan Hayati dan Radit terus terlintas di benak Hayati. Belum bisa menerima berita kematian Bapaknya dan akan memastikan sendiri dengan melihat langsung kondisi Radit.
Saat Rama berhasil memarkirkan mobilnya, Hayati langsung keluar dan berlari menyusuri koridor Rumah Sakit. Rama bergegas mengikuti Hayati dengan berjalan cepat karena berlari hanya akan mengganggu aktifitas Rumah Sakit. Entah mengapa hatinya ikut teriris melihat pemandangan keadaan Hayati. Berjongkok dengan wajah dibenamkan diantara kedua kakinya dan tubuh yang bergetar karena isak tangis.
“Rama,” panggil Zahida dan Yaksa yang juga sudah berada di Rumah Sakit.
“Biar Ayah yang atur untuk pemakaman, mereka tidak punya keluarga di Jakarta jadi tidak ada lagi yang ditunggu.” Rama mengangguk.
“Tenangkan Hayati, jangan sampai dia bertindak bodoh lalu merugikan kita di kemudian hari, Ibu akan ikut Ayah.”
Rama menghampiri Hayati. “Hayati,” panggil Rama.
Hayati tetap dalam posisinya. “Bangunlah! Apa kamu tidak ingin melihat Bapakmu untuk yang terakhir kali.”
Hayati mengangkat wajahnya yang terlihat sembab. Mas Rama benar, aku harus melihat Bapak, batin Hayati.
Disinilah Hayati berada, kamar jenazah Rumah sakit. Menahan tangis dengan menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat jenazah yang terbujur kaku di hadapannya. Meskipun masih tertutupi kain, keyakinan Hayati bahwa Radit masih hidup runtuh sudah.
“Bapak,” jerit Hayati ketika petugas kamar jenazah menyingkap kain penutup jenazah pada bagian wajah. Hayati merangsek memeluk tubuh kaku Radit, dan menyentuh wajah tua pria yang sudah mendidik dan mengasuhnya selama ini.
“Bapak jangan pergi. Aku mau pulang, di sini bukan tempat kita. Jangan tinggalkan Hayati sendiri Pak,” raung Hayati memecah kesunyian ruangan itu. “Aku mau pulang, Pak. Kita nggak usah lagi cari Ibu. Aku yakin kita akan hidup bahagia di kampung,” tangis Hayati.
Hayati masih berada di sisi makam Radit, para pengantar jenazah yang memang hanya beberapa orang sudah meninggalkan pemakaman begitu juga kedua orangtua Rama. Rama berdiri tidak jauh dari tempat Hayati bersimpuh.Sempat memohon pada Rama agar memakamkan Radit di kampung halamannya dan Rama boleh menalak dan meninggalkan Hayati disana. Tapi Yaksa menolak permintaan tersebut.“Kita tidak tau ke depannya akan bagaimana, saat ini Hayati sedang berkabung. Ketika sudah membaik bisa jadi ada rencana busuk untuk membalas dendam atau menjatuhkan kehidupan kamu,” ujar Yaksa.“Ayah benar, apalagi saat ini posisi kamu di Perusahaan sedang bagus-bagusnya. Jangan sampai keluarga Adam tau dan murka, mereka bisa lakukan hal-hal yang tidak terduga. Kecuali kamu sudah siap jatuh miskin. Kalau Ibu sih nggak mau ya,” sahut Zahida.Rama menghela nafasnya mengingat ucapan kedua orangtua yang mungkin saja ada benarnya. “Hayati, mau sampai kapan kamu di sini. Langit sudah hampir gelap,” ucap Rama.Mengusap w
“Rama,” panggil Isna saat melihat suaminya di pintu keluar Bandara. Rama merentangkan kedua tangannya agar Isna datang ke dalam pelukannya.“Miss you so bad,” ujar Rama.“Gombal,” jawab Isna. Mengurai pelukannya lalu Rama meraih trolly berisi koper dan tas milik Isna. Berjalan beriringan sambil sesekali tertawa, menuju mobil yang akan membawa mereka pulang. Rama memindahkan koper dan tas-tas milik Isna sedangkan pemiliknya sudah duduk manis di samping kemudi.“Langsung pulang?” tanya Rama.“Iya, aku sudah lelah mau berendam air hangat.”“Nggak kangen aku, sayang,” goda Rama sambil mulai melajukan mobilnya meninggalkan area bandara.“Bangetlah.”“Oke, siap-siap aja nanti malam kita lembur,” ucap Rama.“Siapa takut.”Saat menjejakkan kakinya di rumah, Rama merangkul bahu Isna. Dilema memutuskan akan menyampaikan sekarang atau menundanya. Setelah Isna enyapa mertua dan berbasa-basi, mereka melanjutkan percakapan sambil menikmati makan malam.“Isna, ada yang ingin aku bicarakan setelah i
"Istriku hanya kamu Isna. Hayati dan aku menikah hanya karena tanggung jawab bukan karena cinta. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya," ungkap Rama. Isna menoleh pada Hayati dan menatap untuk memperhatikan detail wajah dan tubuh Hayati. Meskipun sedang menunduk, wajah Hayati terlihat jelas cantik alami khas orang melayu. Dengan hidung yang mancung, bibir yang berwarna pink, terlihat jelas belum tersentuh perawatan dengan bahan tidak alami apalagi operasi plastik. Yang paling penting adalah Isna bisa melihat dari tubuh Hayati jika perempuan itu masih gadis. "Yakin kamu tidak akan tergoda?" "Tidak akan," jawab Rama dengan yakin. "Kalau begitu, tidak ada ada masalah Nak. Hubungan kalian tidak akan goyah dengan kehadiran Hayati karena Rama memang tidak tertarik dengannya, pernikahan mereka murni karena tanggung jawab akan kesalahan yang sudah Rama lakukan." Hayati ingin segera percakapan itu berakhir. Hatinya terasa semakin sakit mendengar pernyataan ibu mertuanya. Bagaimana mungkin
Hayati berjalan mengikuti Isna yang melangkahkan kaki di kediaman yang lebih besar dari kediaman keluarga Rama. Setelah Rama berangkat ke kantor, Isna mengajak Hayati menuju tempat tinggal keluarga besarnya. "Non Isna apa kabar?" tanya asisten rumah tangga yang terlihat sangat rapih. "Baik Bu. Ah iya, Bu Lena kenalkan ini Hayati asisten aku yang baru. Tolong siapkan kamar untuk dia," titah Isna. Bu Lena mengangguk patuh lalu mohon diri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Isna. "Aunty Isna," panggil Aska bocah 5 tahun putra dari Rangga yang berlari ke arah Isna. "Hai Aska, kok masih pakai piyama sih?" tanya Isna. "Aku sakit, aunty," jawab Aska dengan wajah memelas. Hayati tersenyum pada bocah yang memandangnya sambil mengerjapkan matanya. "Dia siapa Aunty?" "Oh, dia asisten Aunty." Bocah yang bernama Aska itu hanya mengangguk lucu membuat Hayati kembali tersenyum gemas menatap wajah bocah itu. "Aska, ayo kembali ke kamar." Seorang pria dengan perawakan tinggi tegap de
Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna. “Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada. *** Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak. Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan. Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya. “Tergantung apa yang harus dikerjakan," j
“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”“Sehat,” jawab Aska.“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska. “Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.“Aska,” panggil Rangga.Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.Ra
Rama menghela nafas karena geram. Hari ini sudah lumayan berantakan, karena berkas yang dibutuhkan untuk rapat malah tertinggal. Menerima panggilan telepon pada ponsel Isna yang mana ada suara laki-laki mengucapkan sayang lalu mengakhiri panggilan ketika Rama bertanya siapa. Rama belum membahas hal ini dengan istrinya, karena kejadian itu pada saat Isna berada di kamar mandi.Ditambah dengan wajah Hayati yang terlihat muram dan sembab, jelas sekali jika kesedihan menyambangi gadis itu. "Tidak akan," jawab Rama dengan tegas tanpa ragu-ragu. Hayati baru akan membuka mulutnya akan menjawab tapi kembali disela Rama. "Cukup. Pagiku sudah berantakan, jangan tambahkan lagi dengan masalahmu." Hayati meninggalkan Rama dengan kembali ke kamarnya. "Dasar egois, tidak punya perasaan, aku sumpahin kamu ... aku hanya minta kata talak dari mulut kamu, Mas," ujar Hayati seakan ada Rama di sana dan mendengar apa yang diucapkan. ***Hari sudah sore saat Rangga yang baru saja tiba di rumah, kembali m
“Rania Hayati Malik,” ucap Rangga membaca kartu identitas milik Hayati, mengabadikannya menggunakan kamera ponsel lalu menatap lekat wajah gadis dihadapannya. Hayati merebut kartu identitas dan dompet miliknya.“Kamu masih muda, tapi menggunakan cara yang salah untuk hidup enak,” ejek Rangga sambil melipat kedua tangan di dada dengan pandangan tetap fokus pada Hayati.“Pak Rangga nggak tau apa-apa tentang saya, jadi jangan membuat kesimpulan yang salah.”Rangga terbahak, “Kamu pikir saya bodoh, banyak wanita seperti kamu. Menggunakan cara cepat agar bisa hidup enak.”“Maksud Pak Rangga?”“Menjadi simpanan, istri muda, selingkuhan bahkan sugar baby. Banyak juga yang menjadi pe-la-cur,” ucap Rangga. “Kamu bertemu dengan orang yang salah, aku sangat tidak mentolerir yang namanya orang ketiga,” tambahnya lagi.Jantung Hayati berdetak lebih kencang dari biasanya, mendengar kalimat Rangga. Statusnya saat ini adalah salah satu kriteria yang tidak disukai Rangga. Entah apa yang akan pria itu