“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Hayati Malik binti Raditia Malik dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
“Sah,” ucap kedua saksi pernikahan Hayati dan Rama.
Entah mimpi apa semalam, hingga hari ini Hayati harus menikah dengan orang asing yang baru beberapa hari ini dia kenal.
Rama Prasetia, pria yang baru saja melafazkan ikrar pernikahan. Dengan di dampingi kedua orangtuanya yang menatap datar dan kecewa pada Rania Hayati Malik yang kini sudah menjadi menantunya.
Jika bukan karena insiden kecelakaan yang dilakukan Rama, tidak mungkin pernikahan tersebut dilangsungkan. Keduanya tidak saling mengenal dan berasal dari dua arah tempat yang berbeda.
Hayati kembali teringat momen di mana dia dan Bapaknya harus terlibat dengan Rama.
“Pak, ini mau kemana lagi? Persediaan uang kita sudah menipis,” ucap Hayati pada Bapaknya. Keduanya memutuskan datang ke Jakarta untuk mencari keberadaan Ibunda Hayati. Baru dua minggu tinggal di Jakarta tapi sudah menghabiskan hampir semua bekal uang yang dibawa. Padahal uang tersebut didapat dari menjual semua hewan ternak milik Radit di kampungnya.
“Semoga saja hari ini, kita bisa mendapatkan titik terang keberadaan Ibu kamu. Kalau kamu belum bertemu dengan Ibumu atau menikah, Bapak belum tenang,” sahut Radit. Bukan tanpa maksud, Radit memaksa membawa Hayati ke Jakarta untuk mencari keberadaan Ibunya. Memiliki penyakit bawaan yang sudah cukup kronis, Radit tau jika hidupnya tidak akan lama lagi. tidak ada sanak keluarga tempatnya menitipkan atau mempercayakan Hayati selain ke tangan Ibu kandungnya.
Kembali menuju alamat yang ada dalam buku catatan milik Cut Sarah, Ibu dari Hayati. Tidak memahami lalu lintas Jakarta, membuat Hayati dan Bapaknya kesulitan jika harus menyebrang atau berganti arah.
“Sepertinya kita salah, harusnya di gang sana. Ayo,” ajak Radit pada Hayati.
Tanpa menoleh lagi karena berhasil menemukan gang menuju alamat terakhir yang ada dalam catatan membuat kedua orang itu menyebrang asal.
Tiiinnn.
Brak.
“Bapak,” teriak Hayati,
Orang-orang yang berada di sekitar lokasi berkerumun menghampiri korban tabrakan yang tidak lain adalah Radit. Hayati menangis di sebelah tubuh Radit yang sudah penuh darah.
“Woy, turun lo,” teriak seseorang sambil menggedor jendela mobil yang baru saja menabrak Radit. Hayati menoleh, seorang pria yang terlihat gagah dan tampan hampir menjadi bulan-bulanan masyarakat yang emosi.
“Tenang, saya akan tanggung jawab. Silahkan bawa Bapak itu ke dalam mobil, saya yang akan membawa ke Rumah Sakit,” ujar pria itu.
“Hayati,” panggil Ibu mertuanya membuyarkan lamunan akan awal kejadian bertemu dengan Rama. Hayati mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya. Setelah menikahkan Hayati dengan Rama, Radit tiba-tiba tak sadarkan diri. Bahkan saat ini sedang dalam pemeriksaan dokter.
“Ayah dan Ibu mau pulang, Rama akan temani kamu di sini. Kita akan bicarakan hal-hal lainnya setelah kamu tenang,” ujar Ibu Mertuanya dan dijawab oleh Hayati dengan anggukan kepala.
Benar-benar hari yang tidak pernah terbayangkan dalam hidup Hayati. Menikah dan menerima kenyataan jika Bapaknya dalam keadaan koma setelah cukup lama dilakukan pemeriksaan oleh Dokter.
Hayati hanya bisa terisak di kursi khusus keluarga pasien. Bahkan pria yang sudah resmi menjadi suaminya secara agama hanya bisa diam tanpa ada kata penyemangat atau penyesalan dengan apa yang Hayati rasakan saat ini. Hanya mengenakan kaftan putih dengan pashmina yang saat ini sudah mengalung di lehernya, yang menjadi busana pengantin Hayati.
Bukan kebaya apalagi gaun mewah dengan sapuan make up juga tatanan rambut yang membuat penampilannya semakin cantik di hari pernikahan. Bahkan suaminya hanya mengenakan celana chinos cream dengan kemeja putih tangan panjang yang dilipat sampai siku. Tidak ada foto-foto mengabadikan moment sakral juga ramah tamah dengan para tama undangan.
Yang lebih menyedihkan, akad nikah itu dilaksanakan di Rumah Sakit dalam kamar perawatan Radit. Keluarga Rama memohon agar Radit tidak melaporkan kejadian tabrakan karena terbukti saat itu Rama dalam pengaruh alkohol. Radit berjanji tidak akan memproses lewat jalur hukum asalkan Radit menikahi Hayati.
***
Menjelang malam, akhirnya Rama menghampiri Hayati. “Kita pulang, besok kamu boleh kembali lagi ke sini.”
“Tapi, Mas. Bapak ....”
“Hayati, aku lelah menunggu disini. Bapak kamu koma, kalaupun dia bangun, pihak Rumah sakit akan menghubungiku,” ujar Rama.
Hayati pun menurut, walau bagaimana pun Rama saat ini adalah suaminya. Berada dalam mobil yang membawa keduanya pulang ke kediaman keluarga Rama. Dalam benak Hayati dia membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Apa Rama akan meminta haknya sebagai seorang suami atau mereka akan berperan layaknya suami istri yang menjalankan rumah tangga tanpa cinta layaknya kisah dalam novel pernikahan terpaksa atau karena perjodohan.
“Kamu mau tetap di mobil atau turun?” pertanyaan Rama kembali menyadarkan Hayati.
Disinilah Hayati berada, kediaman mertuanya. Rumah yang terlihat mewah dan luas seperti yang pernah Hayati lihat dalam sinetron azab atau drama ikan terbang di televisi.
Namun, hal yang pertama dikatakan oleh mertuanya justru, "Pernikahan kalian siri. Kami tidak berniat melegalkannya di mata hukum!"
Disinilah Hayati berada, kediaman mertuanya. Rumah yang terlihat mewah dan luas seperti yang pernah Hayati lihat dalam sinetron azab atau drama ikan terbang di televisi. Namun, hal yang pertama dikatakan oleh mertuanya justru, "Pernikahan kalian siri. Kami tidak berniat melegalkannya di mata hukum!"“Sesuai dengan janji kami, kamu sudah menikah dengan Rama. Tidak ada lagi urusan dengan kepolisian. Bahkan biaya rumah sakit semua sudah kita tanggung. Ada beberapa hal yang perlu kamu tahu dan kami tidak mungkin menunda untuk menyampaikannya,” terang Ibu Mertua, Hayati hanya bisa menatap sambil mendengarkan apa yang disampaikan.Kenapa mereka tidak ingin melegalkan pernikahan aku dengan Mas Rama. Bapak, bagaimana ini? batin Hayati.“Juga tidak akan ada resepsi pernikahan,” tambah Rama. “Dan kita akan tidur di kamar terpisah." Hayati hanya bisa menelan ludah mendengar apa yang disampaikan Rama. Sejak kecil membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahannya. Memakai gaun cantik, didanda
Terlihat perawat yang cekatan melakukan prosedur pemeriksaan. Hayati tidak sabar menunggu penjelasan Dokter mengenai kondisi Bapaknya, Cukup lama menunggu, akhinya Dokter menyampaikan jika kondisi Bapaknya sudah kembali stabil setelah mengalami serangan jantung dan saat ini belum sadarkan diri. “Sadarlah Pak, aku ingin kembali ke rumah kita di kampung. Menikahkan aku dengan Mas Rama bukan solusi, aku tidak bahagia,” ucap Hayati lirih. Pipinya sudah basah dengan air mata. Yang membuatnya lega adalah dia tidak perlu memikirkan biaya Rumah Sakit karena ditanggung oleh keluarga Rama. Hayati menunduk sambil meremas botol air mineral yang dipegangnya. Bersandar pada kursi ruang tunggu keluarga pasien, hanya itu yang bisa dia lakukan selama seminggu ini.Hayati kembali ke kediaman mertuanya, bahkan saat ini sudah berada di kamarnya. Merebah di ranjang yang terasa sangat nyaman untuk ditiduri hingga perlahan dia pun mulai terlelap.“Hayati, jalani hidupmu dengan baik. Sabarlah, karena tidak
Hayati masih berada di sisi makam Radit, para pengantar jenazah yang memang hanya beberapa orang sudah meninggalkan pemakaman begitu juga kedua orangtua Rama. Rama berdiri tidak jauh dari tempat Hayati bersimpuh.Sempat memohon pada Rama agar memakamkan Radit di kampung halamannya dan Rama boleh menalak dan meninggalkan Hayati disana. Tapi Yaksa menolak permintaan tersebut.“Kita tidak tau ke depannya akan bagaimana, saat ini Hayati sedang berkabung. Ketika sudah membaik bisa jadi ada rencana busuk untuk membalas dendam atau menjatuhkan kehidupan kamu,” ujar Yaksa.“Ayah benar, apalagi saat ini posisi kamu di Perusahaan sedang bagus-bagusnya. Jangan sampai keluarga Adam tau dan murka, mereka bisa lakukan hal-hal yang tidak terduga. Kecuali kamu sudah siap jatuh miskin. Kalau Ibu sih nggak mau ya,” sahut Zahida.Rama menghela nafasnya mengingat ucapan kedua orangtua yang mungkin saja ada benarnya. “Hayati, mau sampai kapan kamu di sini. Langit sudah hampir gelap,” ucap Rama.Mengusap w
“Rama,” panggil Isna saat melihat suaminya di pintu keluar Bandara. Rama merentangkan kedua tangannya agar Isna datang ke dalam pelukannya.“Miss you so bad,” ujar Rama.“Gombal,” jawab Isna. Mengurai pelukannya lalu Rama meraih trolly berisi koper dan tas milik Isna. Berjalan beriringan sambil sesekali tertawa, menuju mobil yang akan membawa mereka pulang. Rama memindahkan koper dan tas-tas milik Isna sedangkan pemiliknya sudah duduk manis di samping kemudi.“Langsung pulang?” tanya Rama.“Iya, aku sudah lelah mau berendam air hangat.”“Nggak kangen aku, sayang,” goda Rama sambil mulai melajukan mobilnya meninggalkan area bandara.“Bangetlah.”“Oke, siap-siap aja nanti malam kita lembur,” ucap Rama.“Siapa takut.”Saat menjejakkan kakinya di rumah, Rama merangkul bahu Isna. Dilema memutuskan akan menyampaikan sekarang atau menundanya. Setelah Isna enyapa mertua dan berbasa-basi, mereka melanjutkan percakapan sambil menikmati makan malam.“Isna, ada yang ingin aku bicarakan setelah i
"Istriku hanya kamu Isna. Hayati dan aku menikah hanya karena tanggung jawab bukan karena cinta. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya," ungkap Rama. Isna menoleh pada Hayati dan menatap untuk memperhatikan detail wajah dan tubuh Hayati. Meskipun sedang menunduk, wajah Hayati terlihat jelas cantik alami khas orang melayu. Dengan hidung yang mancung, bibir yang berwarna pink, terlihat jelas belum tersentuh perawatan dengan bahan tidak alami apalagi operasi plastik. Yang paling penting adalah Isna bisa melihat dari tubuh Hayati jika perempuan itu masih gadis. "Yakin kamu tidak akan tergoda?" "Tidak akan," jawab Rama dengan yakin. "Kalau begitu, tidak ada ada masalah Nak. Hubungan kalian tidak akan goyah dengan kehadiran Hayati karena Rama memang tidak tertarik dengannya, pernikahan mereka murni karena tanggung jawab akan kesalahan yang sudah Rama lakukan." Hayati ingin segera percakapan itu berakhir. Hatinya terasa semakin sakit mendengar pernyataan ibu mertuanya. Bagaimana mungkin
Hayati berjalan mengikuti Isna yang melangkahkan kaki di kediaman yang lebih besar dari kediaman keluarga Rama. Setelah Rama berangkat ke kantor, Isna mengajak Hayati menuju tempat tinggal keluarga besarnya. "Non Isna apa kabar?" tanya asisten rumah tangga yang terlihat sangat rapih. "Baik Bu. Ah iya, Bu Lena kenalkan ini Hayati asisten aku yang baru. Tolong siapkan kamar untuk dia," titah Isna. Bu Lena mengangguk patuh lalu mohon diri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Isna. "Aunty Isna," panggil Aska bocah 5 tahun putra dari Rangga yang berlari ke arah Isna. "Hai Aska, kok masih pakai piyama sih?" tanya Isna. "Aku sakit, aunty," jawab Aska dengan wajah memelas. Hayati tersenyum pada bocah yang memandangnya sambil mengerjapkan matanya. "Dia siapa Aunty?" "Oh, dia asisten Aunty." Bocah yang bernama Aska itu hanya mengangguk lucu membuat Hayati kembali tersenyum gemas menatap wajah bocah itu. "Aska, ayo kembali ke kamar." Seorang pria dengan perawakan tinggi tegap de
Hayati berusaha bersikap biasa, lalu mengetuk pintu kamar Isna yang memang tidak tertutup rapat. “Masuk,” titah Isna. “Ini es jeruknya,” ujar Hayati sambil meletakan gelas pada nakas samping ranjang di mana Isna berada. *** Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kantor Rama. Hari ini benar-benar sangat melegakan hati Rama. Bisa meyakinkan Isna jika dia tidak akan tergoda dan menyentuh Hayati sampai tiba hari dimana Rama akan mengucapkan talak. Apalagi hari ini Rama merasa sangat percaya diri dengan penampilannya yang membuat dia terlihat berbeda. Para karyawan wanita saat ini semakin menatap puja kepada Rama karena penampilannya, Rama berpikir jika Isna yang memilihkan outfit yang dia kenakan. Sore hari, Hayati yang sedang menemani Isna di ruang kerjanya tepat menghadap taman. Hayati memandang ke luar, taman yang terlihat cukup indah itu sepertinya dikelola dengan baik. “Hayati, kamu bisa pergunakan ini?” tanya Isna menunjuk laptopnya. “Tergantung apa yang harus dikerjakan," j
“Kamu sakit?” tanya Hayati sambil memegang dahi Aska. Aska menganggukan kepalanya. “Sudah minum obat?” tanya Hayati lagi.Aska menggelengkan kepalanya, “Aku tidak suka minum obat.”Hayati tersenyum sambil mengusap puncak kepala Aska. “Hmm, Aska lebih pilih sehat atau sakit?”“Sehat,” jawab Aska.“Untuk sehat kita minum dulu obatnya, karena kalau sakit banyak hal yang tidak bisa Aska lakukan.”“Hmm, aku tidak boleh berenang dan makan ice cream," sahut Aska. “Ahhh, jadi lebih baik minum obat atau tidak?” tanya Hayati lagi.“Minum obat,” jawab Aska. Pengasuh Aska segera menyuapkan obat yang sejak tadi sudah dipegangnya. Hayati mengajak Aska ber high five lalu tertawa bersama. Tanpa mereka ketahui, sejak tadi Rangga berdiri menyaksikan interaksi Aska dan Hayati.“Aska,” panggil Rangga.Aska menoleh, senyum Hayati langsung pudar bergegas berdiri dari posisinya. “Papah, aku sudah minum obat. Kalau besok aku sembuh, aku mau beli ice cream dengan Uni Hayati,” ujar Aska dengan wajah ceria.Ra