“Pastikan istri saya jangan tahu dulu tentang pesta ini,” suruh Stefan dengan suara yang berwibawa.
Apa yang Stefan tidak miliki di Dunia ini? Istri cantik, anak tampan dan cerdas. Perusahaan besar dalam waktu singkat, semua sempurna. Hari ini Stefan sedang mempersiapkan hari jadi pernikahan yang ke-7. Pesta kejutan ini Stefan siapkan bersama asisen istrina bernama Andini.
“Baik, Pak,” sahut Andini—yang sudah bekerja selama lima tahun sebagai asisten istri Stefan, Anya. “Orang tua Bu Anya sudah datang, jadi kita tinggal tunggu Bu Anya.”
“Kamu sudah pastikan, ada sopir yang jemput istri saya?” tanya Stefan. “Kamu tahu sendiri kalau Anya menyetir. Semua bisa kacau.”
“Ya. Dan saat ini Bu Anya sudah di jalan,” papar Andini, setelah melihat ponselnya. Satu pesan dari Anya kalau lokasinya saat ini sudah dekat dengan rumah.
“Oke, saya ganti baju dulu, kamu sudah siapkan setelan yang saya minta. kan? Jangan lupa baju untuk Prayan juga.”
“Sudah, Pak, saya gantung di belakang pintu kamar. Warna dan modelnya kesukaan Bu Anya. Untuk Prayan bajunya sudah saya siapkan.” Andini selalu salah tingkah kalau sedang berdekatan dengan Stefan. Tatapan matanya selalu tajam, tubuhnya yang tegap dan selalu harum. Otot tangan atasnya sengaja Stefan tonjolkan, membuat siapa saja terkesima.
“Oke, thanks!” ucap Stefan lalu dia pergi melewati Andini. Baru beberapa langkah, Stefan berhenti, lalu berbalik badan dan mendekati Andini.
“Ada yang kurang?” tanya Andini, matanya membesar menatap Stefan yang mendekat ke arahnya.
“Tidak. Saya hanya ingin berterima kasih. Apa jadinya kalau kamu tidak ada di sini. Dan …” Stefan mengeluarkan amplop dari saku celananya. “Ini. Buat kamu.”
“Apa ini, Pak? Saya tidak bisa menerima ini. Saya membantu bapak karena itu adalah bagian dari pekerjaan saya.” Andini menatap amplop putih itu, pasti uang. Stefan selalu langsung membayar Andini kalau selesai membantunya.
“Untuk kamu. Saya tahu kamu pasti butuh banyak uang, terimalah. Sedari kemarin malam kamu lembur untuk mengerjakan ini semua, kan?” Tatapan mata Stefan begitu serius dan dalam, Andini mengangguk saja dan menerima amplop putih itu. Tanpa banyak berkata, Stefan lantas pergi dengan cepat dari hadapan Andini.
Terus terang, Andini iri dengan bosnya. Punya suami penyayang, perhatian. Setiap tahun, Stefan selalu menyiapkan sesuatu untuk ulang tahun pernikahannya.
Bu Anya adalah wanita yang beruntung! Pikir Andini. Matanya tidak bisa lepas dari Stefan sampai lelaki itu hilang dari pandangannya.
Beberapa detik berlalu, Andini menggeleng. Dosa liatin suami bos sampe begini, tuturnya sendiri.
Dan … satu lagi yang membuat Andini ingin punya hidup seperti bosnya, anak lelaki yang tampan!
“Tante!” anak usia empat tahun itu memekik dan berlari ke arah Andini.
“Anak ganteng, ke mana susternya?” Andini selalu menyambut anak itu dengan berlutut dan membuka kedua tangan. Prayan namanya. Dan Andini suka sekali dengan baunya yang segar dan khas balita.
“Katana lagi pipis. Mama mana?” tanya Prayan polos.
Andini menggendongnya, lalu dia duduk sambil memangku Prayan.
“Sebentar lagi pasti Mama datang. Ayan sudah makan?” tanya Andini sambil menyisir rambut anak itu dengan jarinya.
Dekorasi taman belakang hampir selesai. Ada beberapa rangkaian bunga besar di sudut-sudut taman.
“Mbak Andini, dekorasinya hampir selesai. Bagaimana menurut mbak? Ada lagi yang kurang?” tanya pendekorasi.
Andini dengan hati-hati menurunkan Prayan dari pangkuannya. “Ikut tante, liat rangkaian bunga-bunga, yuk!” kata Andini kepada Prayan sambil menggandeng tangan bocah itu.
“Bu Anya beruntung banget punya suami seperti Pak Stefan,” ujar si pendekorasi yang mengikuti Andini di belakangnya.
Andini tersenyum, sambil memerhatikan rangkaian bunga besar di pintu masuk. Lalu dia melangkah menuju rangkaian bunga yang lain.
Si pedekorasi itu merasa kalau Andini juga ingin dipuji.
“Bu Anya juga beruntung punya asisten kayak Mbak Andini,” pujinya dengan tulus. Lalu si pendekorasi itu melirik ke arah Prayan. Andini dan Prayan seperti anak dan ibu sungguhan. “Mbak Andini tahu semua hal tentang Bu Anya.”
Sekali lagi, Andini tersenyum ke arah si pendekorasi itu. Kali ini bukan senyuman ramah, tetapi senyuman miring.
“Saya pikir, semua sudah cukup. Pembayarannya sudah lunas, bukan?” Andini mengkonfirmasi.
“Baik kalau begitu. Nanti hubungi kami lagi untuk dekorasi berikutnya,” ucap si pendekorasi.
“Oke,” jawab Andini dengan tegas, wajahnya tersenyum manis.
Anya memang bersyukur punya asisten seperti Andini. Acara ulang tahun pernikahan ini berjalan sesuai dengan rencana. Tanpa pengatur acara resmi, semua Andini yang mengatur.
Lima belas menit sebelum acara, Bu Anya belum juga tiba. Andini mulai gelisah, apalagi ponselnya tidak ada yang angkat. Dia melihat percakapan terakhirnya dengan Bu Anya-nya, sudah keluar dari kantor, dan lima belas menit kemudian, Anya bilang sudah ada perempatan dekat rumah.
Andini melihat ke arah tangga. Stefan dan Prayan, sudah rapi dengan baju pilihan Andini.
Ada senyuman yang terukir di bibir Andini, andai saja ini adalah keluargaku, batinnya.
“Bagaimana? Apa Anya sudah sampai?”
Andini lalu sadar karena suara Stefan, lalu menggeleng menjawab pertanyaan. “Saya akan coba telepon ibu lagi.”
“Oke,” sahut Stefan dengan sabar. Sambil mengobrol dengan tetamu undangan, di sudut ruang makan, Stefan melihat Andini gelisah. Jadi, dia sengaja menghubungi nomor Anya. Namun, senasib dengan Andini, nomornya tersambung ke kotak suara.
Sementara waktu berlalu begitu cepat. Matahari sebentar lagi terbenam, harusnya, Anya sudah tiba sejak tiga puluh menit lalu, pikir Stefan.
***
Suasana di taman belakang rumah sudah ramai. Ambians yang dibuat oleh pendekorasi, pas dengan waktu acara yaitu malam. Didominasi dengan lampu taman, yang menerangi rangkaian-rangkaian bunga. Tetamu—yang kebanyakan teman dekat Anya semua sudah datang.
Andini makin gelisah tatkala ponsel Anya tidak bisa dihubungi. Menunggu itu adalah hal yang menjemukan, pikir Andini. Namun, disela dia menunggu, ponselnya tetiba berdering. Nomor yang muncul sebagai penelepon, adalah nomor tidak tersimpan di ponselnya.
Badan Andini gemetar begitu menerima telepon itu. “Apa?” tanyanya tak percaya.
Tatapannya nanar ke arah Stefan yang sedang mengobrol akrab bersama tamu undangan. Prayan juga ada di sana.
Tapi, kabar ini mau tak mau Andini harus sampaikan. Jadi, wanita itu bergegas mendatangi Stefan.
“Pak Stefan, saya baru dapat kabar tentang Bu Anya,” kata Andini begitu mendatangi Stefan. Matanya menatap lelaki itu ketakutan.
“Apa?” tanya Stefan, melihat sekelilingnya yang semuanya sibuk. Jadi, dia menarik tangan Andini hingga ke ruangan makan. “Katakan, ada apa?”
“Baru saja pihak dari rumah sakit menelepon. Mereka bilang … Bu Anya kecelakaan,” suara Andini gemetar.
Stefan, tak kalah kagetnya, dia membeku menatap Andini. “Apa kamu sedang bercanda?”
Andini menggeleng membuat Stefan menghela napas, hatinya mencelus.
Season IIBab 122 (Ektra Part)Aska menyampaikan semua maksudnya dengan tenang, semata demi Anya. Agar dia percaya lagi kepadanya.“Demi anak kita, Prayan. Aku ingin menebus semua kesalahan-kesalahanku dulu.”Anya menghela napas perih dalam hatinya. Semua yang dia lakukan bersama Aska adalah kesalahan.Beberapa saat tidak ada yang bicara, hanya helaan napas Anya.“Aku tidak tahu, sejak kamu dipenjara, aku tidak pernah bicara apa pun soal ayah kepada Prayan. Hubungan aku dan papi juga tidak terlalu baik satt ini.”Aska mengangguk-angguk, “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksakan apa yang aku inginkan. Hanya satu hal aku ingin minta tolong. Sampaikan semua barang ini untuk Prayan.”Anya melirik semua barang yang ada di meja yang memisahkan kursi mereka. Ada senyuman tipis di bibir Anya.“Aku tidak tahu apa yang anak itu suka,” kata Aska ikutan tersenyum, kalau aku hitung, usianya sudah sebelas tahun, kan? Jadi, aku pikir, dia pasti menyukai semacam mesin permainan.”“Ya, dia suka. Aku ak
Season IIBab 121 (Ekstra Part)Beberapa tahun kemudianAska bebas setelah berkelakuan baik dalam sel tahanan.“Sekarang, keinginanku hanya satu,” ucapnya kepada Joshua yang duluan bebas satu tahun lalu.“Apa?” tanya Joshua, tidak ada teman, musuh yang dulu rasanya dekat, sekarang juga menjauh. Jadi, Joshua pikir tidak ada salahnya menjemput Aska dihari dimana dia dibebaskan.“Mantan napi tidak punya tempat di masyarakat,” sambung Joshua lagi, lalu mendesah putus asa.Aska memerhatikan raut wajah Joshua yang muram.“Bagaimana kalau kita memulai usaha?” cetus Aska. “Aku punya tabungan, tidak banyak. Mungkin hanya cukup untuk membeli bahan baku.”Tatapan mata Aska berbinar cemerlang, menatap keluar beranda apartemen Joshua.“Bagaimana?” tanyanya sambil menatap Joshua—yang diam.“Entah,” Joshua mengedikkan bahu, “Sekarang aku hanya ingin praktek lagi. Susah sekali rasanya dapat kepercayaan orang lain. Gagal.”Aska menghela napas, dia tahu persis bagaimana perasaan Joshua.“Aku hanya ingi
Season IIBab 120“Dan sekarang karena kesalahan kecil, Joshua ada di sini dianggap aib, kalian mau membuang saya begitu saja?” sentak Joshua, menghapus air matanya dengan cepat.Sebagai seorang ibu yang pernah melahirkannya, mama Joshua tentu terpukul. Nuraninya sebagai seorang ibu, tidak mampu membiarkan anaknya menderita dipenjara.Mama Joshua menoleh ke belakang.“Josh selalu ikuti apa yang mama dan papa mau. Jadi juara kelas, sampai masuk kuliah kedokteran dengan nilai sempurna.”Namun, papa Joshua berkata lain, “Biarkan saja. Biar dia kapok. Jangan sekali-kali kamu lemah terhadap anak itu.”Papa Joshua tidak mau lagi mendengar atau menyaksikan drama anaknya. Jadi, dengan cepat lelaki itu meninggalkan ruangan jenguk para narapidana.Mama mau tidak mau mengikuti papa. Selama ini papa yang mengatur semua kehidupannya. Dan selalu benar, jadi apa pun yang papa lakukan kali ini, mama yakin ini pasti benar.“Maafkan Mama, Joshua,” bisik mamanya sambil meninggalkan ruangan itu dengan ha
Season IIBab 119 “Hm,” Sofia menggumam sambil bersedekap menatap tajam ke arah penyidik. Ada hal yang mencurigakan.“Tapi, Bu Andini bisa jadi tersangka kalau pernyataannya ada yang melenceng dari bukti yang ada. Jadi, untuk sementara waktu, Bu Andini kami sarankan tetap ada di dalam kota agar kami bisa berkoordinasi dengan mudah.”“Baik, saya akan menjamin itu,” ucap Sofia. “Adalagi yang bisa kami bantu?” tanya Sofia dengan ramah.Sebagai seorang pengacara dia tahu kalau koordinasi seperti ini akan meringankan Andini.“Kalau begitu, terima kasih atas waktunya, Bu Andini,” ucap si penyidik sambil berjabat tangan.Andini dan Sofia meninggalkan ruangan penyelidikan tanpa banyak kata. Tidak ada senyuman, napas Andini masih memburu. Badannya masih terasa kaku.Dia tidak bisa merasakan kakinya menapak di tanah.Stefan menepati janjinya menunggui Andini sampai selesai. Lelaki itu berdiri begitu melihat Andini dan Sofia keluar dari ruangan investigasi. Dan memberikan Andini pelukan hangat.
Season II Bab 118Tatapan mata Stefan ke arah Andini terasa begitu intens setelah menutup telepon. Ada getaran yang tidak biasa, Andini bisa merasakannya, hingga ruangan itu terasa begitu tegang.“Ada sesuatu di Jakarta, kita harus segera pulang.”Andini tidak kuasa menahan semua pertanyaan yang ada dalam benaknya. “Ada apa?”Stefan tidak menjawab, dia memasukan semua barang ke dalam koper. Dan Andini tidak bisa menolak, atau adu argumentasi. Dia mengikuti Stefan mengemas semua barang dengan cepat, lalu dalam waktu singkat, memasukkan barang bawaan ke mobil.Berpamitan kepada ayah dan ibu Stefan.Dan sudah ada di mobil, perjalanan ke Jakarta.“Polisi, menangkap Joshua,” Stefan membuka obrolan sambil fokus menyetir.“Joshua?” Andini mengulang perkataan Stefan. Rasanya sudah lama sekali tidak mendengar kabar apa pun dari lelaki itu. “Tunggu. Ditangkap? Maksudnya ditangkap polisi?”Seingat Andini, Joshua dulu adalah dokter dan dari keluarga yang terhormat. Mana mungkin kalau tetiba lela
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k