Di pagi yang cerah, taman di dekat kampus itu dipenuhi dengan semilir angin yang lembut, membawa keharuman bunga-bunga musim semi yang baru mekar. Pepohonan yang rindang menambah nuansa teduh, sementara sinar matahari yang menembus celah-celah daun menciptakan pola cahaya yang bermain di jalur-jalur setapak.
Di kejauhan, beberapa mahasiswa terlihat duduk di bangku taman, ada yang sedang asyik membaca buku, sementara yang lain terlibat dalam pembicaraan serius atau sekadar menikmati suasana. Beberapa kelopak bunga yang gugur ditiup angin, berputar-putar di udara sebelum akhirnya mendarat di atas permukaan danau kecil yang ada di tengah taman. Air di danau itu tenang, memantulkan bayangan langit biru dan awan putih yang berarak lambat. Sesekali, suara gemericik air terdengar saat ikan-ikan kecil yang berenang dengan riang. Di sisi lain taman, jajaran bunga tulip dan mawar dalam berbagai warna menyuguhkan pemandangan yang memukau. Sementara itu, jalur setapak yang dibatasi dengan batu alam membimbing langkah para pengunjung untuk menikmati setiap sudut taman yang dirancang dengan teliti. Atmosfer taman yang indah dan damai ini menyediakan oasis kecil di tengah kesibukan kampus, memberikan ruang bagi setiap orang untuk beristirahat sejenak dari rutinitas mereka. Ckrek Zahra tersenyum ketika melihat hasil gambar yang baru saja dirinya ambil.. Hasilnya sangat cantik sekali, dengan view di belakangnya sebuah taman dengan banyak bunga. Zahra langsung mengunggahnya di media sosial miliknya. Hanya memberikan sebuah caption tanda hati berwarna merah. Tidak lama, postingannya sudah di banjiri oleh like, dan komentar. Berbagai macam komentar positif memenuhi postingan Zahra. Banyak dari mereka memuji kecantikan Zahra. Ya Zahra itu sangat cantik, wajahnya persis seperti almarhum ayahnya. Zahra tersenyum, lalu tanpa sadar terfokus pada satu komentar dari seseorang yang selama ini dekat dengannya. @Fatih_Maheswari. Kenapa cantik banget sih , calon ibu dari anak-anak saya @Fatih_Maheswari. Kapan-kapan kita foto bareng ya sayang, kalau sudah sah. @Tabita. Ciye, ciye, di notice sama calon imam tuh. @Salma. Jangan kasih kendur dong om Fatih, nanti Zahra-nya ke buru di ambil orang nanti. Soalnya banyak banget ni cowok di kampus deketin dia. @Fatih_Maheswari. @Salma. Kayak nya saya harus cepat ini. Kalau tidak saya bakalan jomblo seumur hidup. @Salma hahaha, @Fatih_Maheswari. Ya ampun om, masa segitunya sih hahaha. Zahra tersenyum tipis membaca komentar para sahabat dan om Fatih.. Entah lah merasa terhibur saja, dengan kegundahan di hatinya. Sudah 20 pria datang kepada Ayah dan Bundanya, untuk meminang Zahra namun dirinya menolak pinangan semua pria itu. Entahlah, rasanya Zahra sudah menutup hatinya untuk satu orang yang tidak akan pernah Zahra gapai sampai kapanpun. Zahra berharap kepada Allah, mempertemukan dirinya dengan pria yang mampu membuat nya move on dari seseorang.. • Beberapa menit yang sebelumnya... Saat itu ketiganya sedang ada di kantin kampus, seperti biasanya, setelah jam pelajaran pertama usai, Zahra ke kantin. "Eh dosen pembimbing lo ganteng banget ya Ra, gue baru lihat loh, di fakultas gue enggak ada tuh yang ngajar seganteng pak Abian, namanya pak Abian kan Ra?" ucap Salma, Salma sahabat Zahra, tapi tidak satu fakultas dengan dirinya.. Zahra fakultas manajemen bisnis, sedangkan Salma dan Tabita fakultas hukum. Zahra menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum-senyum tidak jelas. "Ciye dianya senyum-senyum Bita." Ledek Salma. Tabita menoleh, menatap ke arah Zahra. "Lo suka sama pak Abian?" Tanya Tabita. Blush Wajah Zahra langsung merah merona mendengar perkataan Tabita. "Emmm, anuh" "Gue tetanggaan loh sama Pak Abian" ucap Tabita lagi, membuat Zahra semakin penasaran di buatnya. Sama dengan Salma yang tengah asik meminum jus melon yang baru di pesan olehnya tadi. "Pak Abian anaknya pak Landra yang pengusaha sukses itu bukan?" Sebab Zahra pernah beberapa kali melihat di sosial media wajah pria itu bersanding dengan ayahnya. Tabita menganggukkan kepalanya. "Iya, tapi dia enggak tinggal di rumah orang tuanya deh, dia punya rumah sendiri" sahut Tabita. "Biasanya kan gitu, apalagi pak Abian dia mandiri banget, pasti nggak mau tinggal sama orang tuanya." "Padahal pak Landra duda ya kan? Kok pak Abian tega banget sih" sambung Salma lagi sambil menyeruput esnya. "Terus?" Zahra semakin penasaran tentang sosok dosen yang di kaguminya selama ini. Dirinya hanya tau jika dosennya itu anak pak Landra, sang pengusaha sukses dan terkenal, soal yang lain Zahra tidak tau, karena memang kehidupan Abian itu sangat privasi. Tidak banyak orang yang tau. "Aciye ciye, ada yang kepo nih" celetuk Salma menggoda Zahra. "Apaan sih Salma" Zahra mencebikkan ujung bibir nya menatap Salma kesal, membuat Salma mengangkat tangannya, membentuk huruf v. "Sorry Ra" Zahra menatap kembali ke arah Tabita. "Lo beneran suka sama pak Abian?" Tanya Tabita lagi. Zahra menggigit bibir bawahnya kuat, lalu mengangguk singkat, membuat Salma terpekik lalu mengejek-ngejek Zahra. "Diem Salma, nanti orang-orang pada tau" Zahra sampai membekap mulut Salma, tidak taukah jika pengunjung kantin saat ini tengah menatap ke arah meja mereka. Sedangkan Tabita menghembuskan nafasnya berat. "Ra kayak nya lo harus lupain perasaan loh ke pak Abian deh." Ucap Tabita lagi, membuat Zahra dan Salma langsung menoleh dan menatap ke arahnya. "Lo suka juga sama pak Abian?" Tanya Salma memicingkan matanya. Tabita langsung membulatkan kedua bola matanya lalu menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak lah! Ya kali gue suka sama dosen killer kayak dia" "Terus, kenapa lo nyuruh Zahra buat lupain pak Abian?" Tanya Salma menuntut. Tabita menatap Zahra iba. "Ra, pak Abian itu, emm anu emmmm udah punya istri" ucap Tabita pelan dan langsung sukses membuat Zahra tertegun mendengarnya.... Sedangkan Salma langsung membekap mulutnya syok, satu Fakta yang membuat dirinya tak percaya. Jika dosen yang terkenal galak itu sudah menikah. "Tapi gue lihat pak Abian enggak pernah posting foto istrinya" ucap Salma. Tabita mengedikkan bahunya. "Gue juga enggak tau, tapi kalau lo pada penasaran, lo mampir ke rumah gue deh, kan biasanya gue selalu yang ke rumah lo pada. Kalian berdua mah enggak pernah" sindir Tabita mengerling tajam. Rumah Abian dan Tabita tetanggaan. "Gimana Ra?" Tanya Salma. Zahra langsung menggelengkan kepalanya "Enggak usah aja, lain kali aja ya Bit, gue hari ada acara...." Zahra lalu bangkit dari duduknya, "oiya aku duluan ya, ada perlu" ucap Zahra beranjak pergi meninggalkan teman-temannya.. "Yah patah hati tuh anak" cetus Salma. Tabita menganggukkan kepalanya lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Kalau gue enggak bilang langsung, nanti perasaan Zahra malah makin dalem lagi. Gue takut Zahra lebih sakit dari pada sekarang" ucap Tabita menatap punggung Zahra yang menghilang di balik pintu kantin. Salma menganggukkan kepalanya. Setuju dengan Tabita.Langkah Delia dan Azzam semakin terseok. Nafasnya berat, dada serasa terbakar karena berlari tanpa henti. Namun setiap kali ia ingin berhenti, teriakan pria di belakang tadi terngiang—“Kami akan menemukanmu… kau akan menyesal dilahirkan!”“Dokter…” Delia membantu menopang tubuh Azzam yang makin lemah. “Kita… mau ke mana? Kita nggak mungkin bertahan kalau terus begini.”Azzam menghela napas panjang, menahan nyeri di perutnya yang terus mengucurkan darah. “Ada… pondok… tua di ujung bukit ini. Kalau kita bisa sampai sana, kita… mungkin bisa bertahan.”Delia menatapnya sekilas, melihat wajah pria itu pucat pasi. Dia sudah kehilangan terlalu banyak darah.“Dokter, kita harus berhenti. Kita cari tempat aman dulu!”Namun Azzam menggeleng lemah. “Kalau kita berhenti di sini… mereka akan menemukan kita.”Delia menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak tahu lagi mana yang benar. Ia tidak tahu apakah mereka akan selamat.Langkah demi langkah mereka lanjutkan hingga akhirnya seb
Lantai kayu rumah tua itu berderit pelan di bawah tubuh Delia yang terduduk gemetar. Ia masih bisa merasakan bau besi dari darah Azzam yang menempel di tangannya. Meski ia telah menggosoknya di kain lusuh yang ia temukan di dekat pintu, rasa itu seakan menempel di kulitnya.“Dokter… tolong bertahan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Napasnya masih terengah, jantungnya seolah memukul tulang rusuk dengan keras. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya meski udara di rumah tua itu menusuk dingin. Semua terasa salah. Terlalu sunyi. Bahkan jangkrik pun seakan menolak bersuara.Delia mencoba memfokuskan pandangannya. Rumah ini besar, mungkin bekas villa zaman kolonial. Jendela-jendelanya tinggi, sebagian pecah, sebagian ditutupi kain lusuh yang sudah berdebu. Di sudut ruangan, ada perapian tua yang sudah lama tak digunakan, hanya menyisakan abu hitam mengeras. Bau apek menyeruak, bercampur aroma kayu lapuk.Ia merangkak ke jendela, mencoba mengintip ke
Delia berlari menembus hutan Bukit Melati. Angin menusuk tulangnya, ranting-ranting mencakar kulit, dan tanah licin membuatnya hampir terjatuh beberapa kali. Napasnya terengah, jantungnya berdegup begitu cepat seolah hendak meledak.Di belakang, suara langkah kaki masih terdengar. Mereka mengejarnya."Tolong… Tuhan, tolong aku…" Delia hanya bisa berdoa di antara deru napas dan tangisnya.Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke samping dengan kasar.“SSSTT!”Delia hendak berteriak, tetapi suara itu menutup mulutnya dengan cepat. Saat ia menoleh, matanya membulat.“Dokter… Azzam?!”Ya. Di hadapannya, sosok pria dengan jas hitam panjang, wajahnya basah oleh keringat dan bercampur lumpur. Namun kali ini ia tidak tampak seperti dokter yang ia kenal—mata Azzam tajam, penuh kewaspadaan, dan tangannya menggenggam pistol kecil berperedam.“Diam,” bisiknya singkat. “Kalau mau hidup, ikut aku.”Delia masih syok. Apa yang dilakukan Azzam di sini? Bagaimana dia bisa tahu?Namun sebelum sempat berta
Angin malam di Bukit Melati mengamuk, menghantam pepohonan dan membuat ranting-ranting saling beradu menimbulkan bunyi yang menakutkan. Delia berdiri terpaku di ambang pintu, napasnya berat, menatap pria berambut putih keperakan itu. Cahaya lampu redup dari dalam rumah menyorot wajahnya, mempertegas guratan luka panjang di bawah mata kanan—ciri yang disebutkan Bu Rosmi.Dia… pria itu.Pria yang menggendongnya ketika bayi. Pria yang meninggalkannya di panti.Pria yang kini, tanpa ragu, mengaku sebagai ayahnya.Delia menelan ludah, mencoba mengeluarkan kata, namun tenggorokannya terasa terkunci.“Kenapa…” suaranya akhirnya keluar, lirih. “Kenapa kau membuangku?”Pria itu—yang belum menyebutkan namanya—hanya diam sesaat, lalu melangkah masuk ke dalam rumah, seolah mengundang Delia ikut masuk.“Jika kau ingin tahu kebenarannya,” katanya datar, “maka duduklah. Dan jangan lari.”Delia menatap ke arah bukit gelap di belakangnya. Sejenak ia mempertimbangkan untuk pergi—tapi ia tahu, jika ia m
Malam di rumah besar itu kembali sepi, nyaris sunyi, seolah menelan segala getaran emosi yang baru saja meledak beberapa jam sebelumnya. Angin berhembus dari sela-sela dedaunan di halaman, menggesekkan ranting pada kaca jendela kamar Nadira yang kini ditempati Delia. Di luar pagar, sosok misterius itu masih berdiri. Hanya bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu keberadaannya. Ia tidak bergerak, hanya menatap... menunggu. Sementara itu di dalam kamar, Delia masih terjaga. Tubuhnya menyandar di kepala ranjang, selimut menutupi kaki hingga ke perut. Mata menatap kosong ke langit-langit kamar yang menyimpan begitu banyak kenangan. Ia membayangkan, mungkin Nadira pernah duduk di tempat yang sama, mungkin pernah menangis, atau tertawa. Tapi kenapa wajahnya begitu identik? Apa ini hanya kemiripan genetik, atau lebih dari itu? Ia mengingat percakapan siang tadi bersama Bu Zahra dan dokter Azzam. Ada banyak hal yang belum terjawab. Dan yang paling membuat pikirannya tak tenang adalah kali
Delia masih terduduk mematung di ujung ranjang kecilnya. Surat yang ditulis tangan itu tergeletak di pangkuannya, kalung emas dengan liontin huruf “N” masih menggantung setengah dari jari-jarinya yang gemetar. Seolah dunia berhenti berdetak, kecuali degup jantungnya sendiri yang terdengar begitu kencang di telinganya.Foto itu... bukan hanya mirip.Itu dirinya.Atau... seseorang yang persis seperti dirinya.Namun lebih dari itu—yang membuat kepalanya seolah mau pecah adalah fakta bahwa tanggal lahir yang tertulis di balik foto itu identik dengan tanggal lahirnya sendiri. 16 Februari 2000.“Ini gak mungkin... Ini pasti cuma... kebetulan?” gumamnya pelan.Tapi suara hatinya membantah keras. Sebab dalam hidupnya yang penuh ketidakpastian, Delia tahu—beberapa hal terlalu tepat untuk sekadar disebut kebetulan.Langkah kaki tergesa terdengar mendekat. Buk Retno menyibakkan tirai kamar dan memandang Delia dengan khawatir. “Kamu belum tidur, Le?”Delia buru-buru menyembunyikan kalung dan sura