*
Angin senja yang sejuk dan lembut menghembus melalui pelataran jendela rumah sakit, membawa dengan dirinya aroma musim gugur yang segar. Daun-daun kering berderak di bawahnya, sambil terbang lepas, tertiup angin yang berhembus secara ritmis. Suara daun bergesekan dan angin yang berbisik melalui celah-celah jendela menciptakan melodi alam yang tenang. Cahaya senja menyinari pelataran, memantulkan bayangan yang memanjang dan menari di dinding-dinding rumah sakit. Di luar, langit berubah menjadi palet warna oranye dan ungu, sementara matahari perlahan tenggelam, memberikan nuansa kedamaian yang kontras dengan situasi di dalam rumah sakit. "Menikahlah dengan suamiku, aku mohon, aku sudah tidak bisa memberikan keturunan untuk suamiku" ucap Dona tulus, istri Abian Kaliandra sambil menatap lekat wajah teduh milik Zahra. Abian Kaliandra adalah seorang dosen di mana tempat Zahra mengenyam pendidikan di universitasnya. Zahra terbelalak. "Maaf mbak, saya menolaknya, mana mungkin saya menikah dengan suami, mbak. Saya–" Dona menggenggam erat tangan Zahra. "Saya mohon. Kamu lah harapan saya. Tidak ada yang lain Zahra... Kamu tidak ingat, karena kecelakaan ini saya jadi seperti ini?" Ucap Dona sambil memohon dengan tatapan sendunya. Zahra tetap menggelengkan kepalanya, walaupun dirinya menyukai dosennya itu, tapi tetap, Zahra tidak mau di jadikan madu oleh istri pertama Abian. "Saya tidak mau mbak." Zahra melepaskan kedua tangan Dona, lalu bangkit dari duduknya. "Jika memang mbak meminta hal lain, mungkin saya akan senantiasa menuruti itu, tapi kalau yang ini, saya tidak bisa." Ucap Zahra tegas. Dona, menundukkan kepalanya. "Kamu tidak ingat apa yang saya katakan tadi? Bahkan dokter mendiagnosis saya tidak memiliki keturunan lagi, itu semua karena kamu Zahra. Jadi, kamu harus bertanggung jawab." Deg Tubuh Zahra membeku, dengan hembusan nafas yang memburu. Tangannya mengepal erat. "Saya tidak mau!" Suara tegas itu membuat Zahra dan Dona menoleh menatap seseorang yang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah datar dan dinginnya. Sampai membuat Zahra menelan salivanya susah payah. Ini dosennya, dosen pembimbingnya yang terkenal galak, namun juga tampan, anak dari seorang pengusaha terkenal di kota itu Landra. "Mas!" "Stop Dona! Saya tidak mau kamu berbicara ngawur seperti itu lagi. Walaupun kamu tidak bisa mempunyai keturunan lagi, tapi saya tetap mencintai kamu" Deg Jantung Zahra rasanya seperti di tusuk ribuan pisau mendengar perkataan sang dosennya itu. Entahlah, walaupun galaknya tidak ketulungan, tetapi Zahra sudah lama mengaguminya dalam diam. Bahkan dulu Zahra selalu berdoa, berharap dirinya bisa di takdir kan dengan Abian. Tapi ketika Zahra tau jika Abian sudah mempunyai istri, Zahra perlahan mencoba melupakan sosok Abian, dirinya tidak mau di sebut pelakor. "Mas, aku mohon. Lihatlah kondisi aku. Aku cacat mas! Aku cacat karena kecelakaan itu" ucap Dona sambil terisak. Zahra mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kencang saat mendengar perkataan wanita itu. Ya ini memang salahnya. Dirinya yang tidak berhati-hati mengendarai mobil sehingga menabrak mobil Dona. Tapi, apakah wanita itu harus berbuat seperti ini? Membuat Zahra tersudut dan semakin merasa bersalah. Abian menghembuskan nafasnya berat, melirik ke arah Zahra, ingin melihat reaksi gadis itu, entahlah dirinya juga bingung harus bagaimana. Dirinya tak mau menikahi mahasiswinya itu, dirinya juga tak ada niatan mencari istri kedua. "Mas, aku mohon, setidaknya kamu bisa memberikan cucu untuk Papi. Kamu tau kan bagaimana papi sangat menginginkan kehadiran seorang cucu?" Ucap Dona lagi, dan hal tersebut membuat Abian tampak berpikir, lalu sedetik kemudian Abian menghembuskan nafasnya kasar. 'Tidak ada pilihan lain, bahkan Papinya Landra menyuruhnya, sama persis apa yang di ucapkan Dona.' "Zahra, apa kamu bersedia menikah dengan saya?" Tanya Abian, tapi matanya menatap sang istri yang tengah terbaring di atas ranjang sana sambil mengulas senyumnya. Bahkan Dona tersenyum, tidak menampilkan raut wajah kecewa sama sekali, saat suaminya melamar gadis lain di depan matanya. Itu memang yang di harapkan oleh Dona. Zahra gelagapan, melirik Abian sebentar, lalu menoleh ke arah Dona, dirinya sungguh bingung harus menjawab apa. "Saya–" "Zahra, kamu harus mau" Zahra tersenyum kecut, dirinya tak menyangka jika takdirnya akan sekejam ini, dirinya akan di jadikan istri kedua oleh Dosennya itu. Tangan Dona terulur meraih tangan Zahra yang ada di dekatnya itu, lalu di genggamnya dengan erat. "Kamu kan sudah berjanji dengan saya tadi. Kalau kamu akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan kamu" Deg Tubuh Zahra membeku. Walaupun setelahnya dirinya menyetujui permintaan Dona. • "Tidak! Bunda tidak mengijinkannya Zahra!" Pekik Ana– bundanya Zahra. "Bunda, tapi, tapi ini salah Zahra" lirih Zahra sambil meneteskan air matanya. Ana menghela nafasnya panjang. Bani mengelus bahu istrinya itu yang sudah bergetar dengan pelan. "Sayang tenang lah" ucap Bani. Ana menggelengkan kepalanya. "Gimana aku bisa tenang mas? Kalau Zahra pulang bilang kayak gitu. Kalau yang mau nikahin dia masih sendiri enggak masalah, ini udah punya istri. Enggak, enggak aku enggak terima mas" tolak Ana keras. Siapa yang mau melihat anaknya menikah dengan pria yang sudah beristri, apalagi Zahra akan di jadikan istri kedua oleh pria itu. Bani menghembuskan nafasnya panjang. "Ra, ayah kan sudah sepakat dengan keluarganya. Lagian pak Landra udah setuju juga, nggak mempermasalahkan apa pun, kamu kan dengar sendiri. Ayah akan membiayai semua pengobatannya sampai dia sembuh" ucap Bani mengingat pembicaraan dirinya dengan pak Landra kemarin. Zahra menghembuskan nafasnya kasar. "Ayah sama bunda nggak tau apa yang terjadi selanjutnya" lirih Zahra. Ana dan Bani menaikkan sebelah alisnya bingung menatap Zahra. "Ada apa nak?" Tanya Bani. Zahra menghela nafasnya panjang, "mbak Dona di diagnosa enggak bisa mempunyai anak lagi, ayah, karena kecelakaan itu," ucap Zahra. Deg Ana dan Bani tersentak mendengar perkataan Zahra. "Pak Landra tau?" Tanya Bani. Zahra menganggukkan kepalanya. "Baru tau ayah. Dan pak Landra juga meminta Zahra menjadi istri kedua Pak Abian, agar pak Abian memiliki pewaris" lirih Zahra sambil menundukkan kepalanya. Rasa sesak di dalam dadanya tiba-tiba menyeruak. "Ya Allah, astaghfirullah" Ana membekap mulutnya, sambil menangis. "Dan mbak Dona bilang, ini semua karena Zahra, jika bukan karena Zahra, mereka mungkin akan mempunyai keturunan" sambung Zahra dan semakin membuat Ana terisak .. Bani menengadahkan kepalanya ke atas. Rasanya begitu sesak di dalam dadanya sana. • Akhirnya, pernikahan itu terjadi. Zahra dan Abian benar-benar menikah sesuai apa yang di inginkan oleh Dona dan juga Landra. Namun, bukan semesta membuat Abian menerima Zahra, tidak... Bahkan Abian bersikap kasar pada Zahra. "Jangan berharap saya akan menyentuhmu! Karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah menyentuh seseorang yang tidak saya cintai" pekik Abian, lalu melengos pergi dari dalam kamar pengantin miliknya dan Zahra. Setelah melewati perdebatan panjang, keduanya akhirnya menikah, namun siapa sangka jika Abian tidak pernah mau menerima pernikahannya. Walaupun dirinya seorang dosen, tapi Abian tetap tidak peduli, bagi Abian, pernikahan hanya sekali seumur hidup, dan dirinya hanya dengan Dona. Dan tidak dengan siapa pun. Abian tidak pernah mau menganggap Zahra sebagai istrinya. Dirinya hanya terpaksa menerima permintaan ayah dan istrinya saja. Karena kecelakaan yang tidak sengaja itu, membuat Zahra harus menjadi istri kedua sang dosen... Zahra tertegun mendengarnya. Tanpa di duga air matanya mengalir di pipinya, Zahra menangis... • Brak "Sudah saya kata kan bukan? Jika di kampus bersikaplah seperti kita tidak saling mengenal! Saya benci jika kamu seperti tadi. Saya tidak peduli bagaimana perasaan kamu." Ucap Abian menatap tajam ke arah Zahra. "Pak, tapi--" "Saya tidak perduli apa pun alasan yang akan kamu katakan. Saya sudah bilang, istri saya hanya satu, yaitu Dona! Dan kamu hanya orang asing yang datang di dalam kehidupan saya." Zahra tertegun mendengarnya, Zahra menundukkan kepalanya, sambil menganggukkan kepalanya singkat. Zahra tau posisinya. Zahra tau jika Abian sangat membenci dirinya... Pernikahan ini tidak di harapkan sama sekali oleh Abian. "Dan satu lagi, saya akan bilang sama Dekan, saya mengundurkan diri menjadi dosen pembimbing kamu," Deg Dan setelahnya Abian pergi meninggalkan Zahra yang terpaku melihat punggung Abian menghilang. "Segitu bencinya anda dengan saya pak Abian" gumam Zahra.Langkah Delia dan Azzam semakin terseok. Nafasnya berat, dada serasa terbakar karena berlari tanpa henti. Namun setiap kali ia ingin berhenti, teriakan pria di belakang tadi terngiang—“Kami akan menemukanmu… kau akan menyesal dilahirkan!”“Dokter…” Delia membantu menopang tubuh Azzam yang makin lemah. “Kita… mau ke mana? Kita nggak mungkin bertahan kalau terus begini.”Azzam menghela napas panjang, menahan nyeri di perutnya yang terus mengucurkan darah. “Ada… pondok… tua di ujung bukit ini. Kalau kita bisa sampai sana, kita… mungkin bisa bertahan.”Delia menatapnya sekilas, melihat wajah pria itu pucat pasi. Dia sudah kehilangan terlalu banyak darah.“Dokter, kita harus berhenti. Kita cari tempat aman dulu!”Namun Azzam menggeleng lemah. “Kalau kita berhenti di sini… mereka akan menemukan kita.”Delia menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak tahu lagi mana yang benar. Ia tidak tahu apakah mereka akan selamat.Langkah demi langkah mereka lanjutkan hingga akhirnya seb
Lantai kayu rumah tua itu berderit pelan di bawah tubuh Delia yang terduduk gemetar. Ia masih bisa merasakan bau besi dari darah Azzam yang menempel di tangannya. Meski ia telah menggosoknya di kain lusuh yang ia temukan di dekat pintu, rasa itu seakan menempel di kulitnya.“Dokter… tolong bertahan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Napasnya masih terengah, jantungnya seolah memukul tulang rusuk dengan keras. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya meski udara di rumah tua itu menusuk dingin. Semua terasa salah. Terlalu sunyi. Bahkan jangkrik pun seakan menolak bersuara.Delia mencoba memfokuskan pandangannya. Rumah ini besar, mungkin bekas villa zaman kolonial. Jendela-jendelanya tinggi, sebagian pecah, sebagian ditutupi kain lusuh yang sudah berdebu. Di sudut ruangan, ada perapian tua yang sudah lama tak digunakan, hanya menyisakan abu hitam mengeras. Bau apek menyeruak, bercampur aroma kayu lapuk.Ia merangkak ke jendela, mencoba mengintip ke
Delia berlari menembus hutan Bukit Melati. Angin menusuk tulangnya, ranting-ranting mencakar kulit, dan tanah licin membuatnya hampir terjatuh beberapa kali. Napasnya terengah, jantungnya berdegup begitu cepat seolah hendak meledak.Di belakang, suara langkah kaki masih terdengar. Mereka mengejarnya."Tolong… Tuhan, tolong aku…" Delia hanya bisa berdoa di antara deru napas dan tangisnya.Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke samping dengan kasar.“SSSTT!”Delia hendak berteriak, tetapi suara itu menutup mulutnya dengan cepat. Saat ia menoleh, matanya membulat.“Dokter… Azzam?!”Ya. Di hadapannya, sosok pria dengan jas hitam panjang, wajahnya basah oleh keringat dan bercampur lumpur. Namun kali ini ia tidak tampak seperti dokter yang ia kenal—mata Azzam tajam, penuh kewaspadaan, dan tangannya menggenggam pistol kecil berperedam.“Diam,” bisiknya singkat. “Kalau mau hidup, ikut aku.”Delia masih syok. Apa yang dilakukan Azzam di sini? Bagaimana dia bisa tahu?Namun sebelum sempat berta
Angin malam di Bukit Melati mengamuk, menghantam pepohonan dan membuat ranting-ranting saling beradu menimbulkan bunyi yang menakutkan. Delia berdiri terpaku di ambang pintu, napasnya berat, menatap pria berambut putih keperakan itu. Cahaya lampu redup dari dalam rumah menyorot wajahnya, mempertegas guratan luka panjang di bawah mata kanan—ciri yang disebutkan Bu Rosmi.Dia… pria itu.Pria yang menggendongnya ketika bayi. Pria yang meninggalkannya di panti.Pria yang kini, tanpa ragu, mengaku sebagai ayahnya.Delia menelan ludah, mencoba mengeluarkan kata, namun tenggorokannya terasa terkunci.“Kenapa…” suaranya akhirnya keluar, lirih. “Kenapa kau membuangku?”Pria itu—yang belum menyebutkan namanya—hanya diam sesaat, lalu melangkah masuk ke dalam rumah, seolah mengundang Delia ikut masuk.“Jika kau ingin tahu kebenarannya,” katanya datar, “maka duduklah. Dan jangan lari.”Delia menatap ke arah bukit gelap di belakangnya. Sejenak ia mempertimbangkan untuk pergi—tapi ia tahu, jika ia m
Malam di rumah besar itu kembali sepi, nyaris sunyi, seolah menelan segala getaran emosi yang baru saja meledak beberapa jam sebelumnya. Angin berhembus dari sela-sela dedaunan di halaman, menggesekkan ranting pada kaca jendela kamar Nadira yang kini ditempati Delia. Di luar pagar, sosok misterius itu masih berdiri. Hanya bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu keberadaannya. Ia tidak bergerak, hanya menatap... menunggu. Sementara itu di dalam kamar, Delia masih terjaga. Tubuhnya menyandar di kepala ranjang, selimut menutupi kaki hingga ke perut. Mata menatap kosong ke langit-langit kamar yang menyimpan begitu banyak kenangan. Ia membayangkan, mungkin Nadira pernah duduk di tempat yang sama, mungkin pernah menangis, atau tertawa. Tapi kenapa wajahnya begitu identik? Apa ini hanya kemiripan genetik, atau lebih dari itu? Ia mengingat percakapan siang tadi bersama Bu Zahra dan dokter Azzam. Ada banyak hal yang belum terjawab. Dan yang paling membuat pikirannya tak tenang adalah kali
Delia masih terduduk mematung di ujung ranjang kecilnya. Surat yang ditulis tangan itu tergeletak di pangkuannya, kalung emas dengan liontin huruf “N” masih menggantung setengah dari jari-jarinya yang gemetar. Seolah dunia berhenti berdetak, kecuali degup jantungnya sendiri yang terdengar begitu kencang di telinganya.Foto itu... bukan hanya mirip.Itu dirinya.Atau... seseorang yang persis seperti dirinya.Namun lebih dari itu—yang membuat kepalanya seolah mau pecah adalah fakta bahwa tanggal lahir yang tertulis di balik foto itu identik dengan tanggal lahirnya sendiri. 16 Februari 2000.“Ini gak mungkin... Ini pasti cuma... kebetulan?” gumamnya pelan.Tapi suara hatinya membantah keras. Sebab dalam hidupnya yang penuh ketidakpastian, Delia tahu—beberapa hal terlalu tepat untuk sekadar disebut kebetulan.Langkah kaki tergesa terdengar mendekat. Buk Retno menyibakkan tirai kamar dan memandang Delia dengan khawatir. “Kamu belum tidur, Le?”Delia buru-buru menyembunyikan kalung dan sura