Share

Part 7

Humaira tertidur di dalam pelukan Jaka. Diletakkannya Humaira di atas kasur dalam kamar bu Ratna. Di tatapnya gadis kecil itu. Gadis kecil yang tidak berdosa. Air mata Jaka jatuh.

 

"Jaka, apa yang terjadi?" Ibu Ratna mengagetkan Jaka. Buru-buru Jaka mengusap air matanya. "Bagaimana bisa Humaira kamu bawa ke sini?"

 

"Jaka ribut sama Lintang Bu."

 

"Tapi, apa harus kamu memisahkan Humaira dengan ibunya? Walau bagaimana Lintang itu ibunya, yang melahirkannya. Apa kamu tidak kasian pada Lintang dan Humaira?"

 

"Jaka tidak tau lagi harus bagaimana menghadapi Lintang Bu. Jaka lelah Bu." Jaka memeluk erat kaki ibunya. Tangisnya pecah.

 

"Humaira akan kebingungan saat dia terbangun nanti Jaka. Akan ada banyak pertanyaan dipikirannya. Anak sekecil ini tidak seharusnya merasakan kebingungan Jaka."

 

"Jaka minta maaf atas sikap Lintang selama ini ke Ibu dan Bapak. Jaka minta maaf karena tidak bisa mendidik istri Jaka dengan baik."

 

"Jaka, Ibu dan bapak hanya ingin kamu bahagia. Jika kamu bisa bahagia bersama Lintang, kami tidak keberatan harus diabaikan oleh Lintang. Bagi kami kebahagian kamu yang terpenting Jaka."

 

"Kenapa Ibu tidak pernah cerita kalau dapat perlakuan buruk dari Lintang? Ntah apa lagi yang dilakukan Lintang saat Jaka tidak di sana? Maaf kan Jaka Bu. Maafkan Jaka."

 

"Berdirilah!!!" Ibu memegang kedua bahu Jaka, menyuruhnya beranjak. "Tidak perlu kamu meminta maaf. Seorang ibu akan selalu memaafkan anaknya Jaka. Seberat apa pun kesalahan anaknya. Dalam setiap Do'a, ibu selalu meminta agar kamu bahagia hidup bersama Lintang istrimu. Ibu tidak ingin mengacaukan rumah tanggamu dengan keluhan-keluhan Ibu tentang istrimu Jaka." Air mata ibu akhirnya tumpah. Ibu memeluk Jaka erat-erat.

 

*****

 

Wati menyiapkan makan malam. Sementara bu Ratna sedang asik dengan mainan barunya, yaitu si kecil Habibi. Aditya sedang menonton televisi bersama Jaka. Humaira masih terlelap di kamar.

 

"Abang, apa Humaira masih tidur?" Tanya Wati.

 

"Iya sayang."

 

"Sebaiknya Abang temani dia di kamar! Takut kalau terbangun dia akan terkejut Bang." Pinta Wati. Jaka langsung beranjak menuju kamar.

 

Sesampainya Jaka di dalam kamar, Humaira membuka matanya. Jaka mengusap lembut kening gadis kecilnya.

 

"Ayah... Humaira dimana?" Tanyanya bingung, sembari menatap ke sekeliling kamar.

 

"Humaira sudah sampai di rumah kontrakan Ayah. Humaira bangun ya, cuci muka lalu makan bersama Ayah." Jaka menggendong gadisnya menuju ke luar kamar. Humaira terkejut melihat begitu banyak orang di rumah itu.

 

"Ayah, kenapa ada banyak orang?" Humaira kebingungan melihat Wati, Aditya, bu Ratna dan Habibi.

 

"Nanti Ayah ceritakan sayang. Humaira cuci muka dulu ya sayang!"

 

Humaira tiba di meja makan. Ibu Ratna langsung mendekati Humaira. Humaira memeluk erat neneknya.

 

"Nenek kok ngga pulang-pulang?"

 

"Nenek tinggal di sini sayang."

 

"Mereka siapa Nek?" Bisik Humaira sambil menatap Wati dan Aditya.

 

"Nanti biar ayahmu yang jelaskan. Sekarang Humaira makan saja ya sayang. Nenek suapin."

 

*****

 

"Ayah, Humaira rindu bunda." Rengek Humaira kepada Jaka.

 

"Sayang, lusa Humaira pulang sama nenek ya!"

 

"Ayah dan adik Habibi ngga ikut?"

 

"Ayah kan kerja sayang. Adik Habibi akan tetap di sini bersama Ayah dan ibu Wati dan Aditya."

 

"Ayah, kenapa bukan ibu Wati saja yang jadi bunda Humaira?"

 

"Humaira suka sama ibu Wati?"

 

"Iya Ayah. Ibu Wati baik, tidak seperti bunda yang malas ngajak bermain Humaira."

 

"Kalau begitu, Humaira bisa panggil ibu Wati dengan sebutan bunda juga."

 

"Memangnya boleh Yah?"

 

"Iya boleh sayang. Ibu Wati pasti akan senang dipanggil bunda."

 

Humaira berlari ke dapur mendekati Wati yang sedang memasak. "Ibu, apa boleh Humaira panggil ibu, Bunda?" Wati tersenyum ke arah Humaira. Diambilnya posisi sejajar dengan Humaira. Dipeluknya erat Humaira. Butir-butir bening jatuh dari sudut mata Wati dan tangis Wati pun akhirnya pecah. "Ibu kenapa menangis? Ibu tidak suka ya Humaira panggil Bunda?" Tanya Humaira.

 

"Bunda menangis karena bahagia sayang. Mulai sekarang Humaira boleh panggil Bunda."

 

"Besok Humaira pulang sama nenek. Humaira pasti rindu bunda, dedek Habibi dan Aditya."

 

"Bunda juga pasti rindu Humaira." Dikecupnya kening Humaira.

 

*****

 

"Abang, apa abang siap menerima resikonya kalau istri Abang tau?"

 

"Sayang ngga usah pikirkan itu. Sebelum Abang menikah denganmu Abang sudah siap sayang." Jaka mengecup kening Wati.

 

"Wati takut." Jaka memeluk erat tubuh mungil istrinya. "Bagaimana kalau istri Abang minta Abang memilih?"

 

"Abang akan pilih kamu Wati." Jawab Jaka tegas.

 

"Abang... Abang harus pikirkan perasaan Humaira!"

 

"Abang sudah tidak sanggup mendidik istri Abang yang satu itu Wati." Jaka melepaskan pelukannya.

 

"Tapi dia tetap ibu dari anak Abang."

 

"Kamu pun ibu dari anak Abang Wati."

 

"Kalau Lintang Abang cerai, apa dia bisa mandiri? Sedangkan selama ini dia dan keluarganya sangat mengandalkan Abang."

 

"Ntah lah Wati. Abang tidak memikirkan itu.  Tapi jangan suruh Abang meninggalkan kamu Wati! Abang tidak akan mau."

 

"Mungkin memang tak seharusnya Wati menerima pinangan Abang." Wati menangis.

 

"Apa kamu menyesal?" Mata Jaka basah. "Kalau ada yang harus disalahkan, Abang lah orangnya Wati, bukan Kamu. Percayakanlah semuanya pada Abang. Abang akan urus permasalahan Abang dengan Lintang tanpa harus melibatkan Kamu apa lagi anak-anak. Anak-anak perlu ibu yang bahagia. Abang tidak mau Kamu bersedih. Abang mencintai Kamu Wati." Jaka kembali memeluk Wati. Wati menangis terisak.

 

"Ya, Allah... Hamba percaya Engkau selalu berikan yang terbaik buat hamba." Batin Wati.

 

*****

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status