Share

Nafkah Batin Jangan Ditolak

"Apa yang kalian lakukan sialan!"

Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil.

"Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.

Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan.

"Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."

Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!"

"Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."

Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang.

Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Erland bukanlah pilihan terbaik.

"Apa yang membuatnya terlihat begitu membenciku?" gumam Yuda dengan mata bertemu Erland yang menyeringai menang.

***

Erland telah kembali ke rumah. Ketika membuka pintu kamar, pemandangan pertama yang disuguhkan adalah Aruna tengah kesusahan menarik resleting dress. Lantas perlahan melangkah mendekat.

"Kenapa memilih pakaian menyusahkan macam ini?"

Kepala Aruna menoleh, membiarkan jemari Erland membantunya. "Ini baju yang paling aku sukai di antara yang lainnya."

"Ya, aku juga suka."

Mata Aruna terbelalak. Bukannya tertutup, dress-nya justru turun hingga dada hampir terekspos. Terburu Aruna menyanggah dress supaya tak jatuh dengan tangan.

Sementara mata melirik ke belakang. Erland telah berulah, menurunkan resleting hingga mencapai batasnya. Saat bibir lembab Erland menyapa kulit, terburu Aruna menghindar.

"Sayang," sebut Erland dalam bentuk protes.

"Apa yang kau lakukan?" Aruna menatap tajam.

Bibir Erland mengulas senyum. "Bisakah aku mendapatkannya?"

Kaki yang mendekat itu, ditatap gugup oleh Aruna. "Mendapatkan apa? Bicara yang jelas."

Tubuhnya tersudut pada rak, dan Erland memanfaatkan momen ini untuk mengurungnya dengan kedua tangan di sisi tubuhnya.

"Irene, aku menginginkannya," ujar Erland dengan mata menatap dadanya, "tubuhmu lebih tepatnya."

Tangan Aruna yang satu lagi, berusaha mencapai resleting di belakang dan membenarkannya. Namun, jemari Erland mengusap pinggangnya dengan mata menatap antusias.

"Aku ingin berbelanja, jadi jangan ganggu penampilanku hari ini," tegurnya dengan kepala menghindar saat Erland ingin mencium.

"Tidak masalah, akan aku belikan apa pun yang kau mau, Irene."

Bibir Erland mengecup lembut pipinya, membuat Aruna benar-benar tak nyaman. "Setidaknya biarkan aku memakai bajunya dengan benar."

Erland tak pernah percaya dengan tipu muslihat dari Irene yang asli. Hingga melakukan hal yang sama pada Aruna. Yakni mencoba mencium bibirnya secara paksa.

"Aku tidak nyaman seperti ini!" serunya kesal.

Hingga tatapan Erland jatuh pada dress miliknya yang terbilang seksi. "Kau akan berbelanja dengan pakaian macam ini?"

"Memangnya kenapa? Apa kau membatasi caraku berpakaian ah!"

Aruna jelas berteriak karena Erland menggotong tubuhnya seperti karung. Lantas, direbahkan cukup lembut di atas ranjang. Erland mendekat dengan tangan melepas dasi kasar, lantas mengendurkan kancing kemeja.

"Benar, aku membatasi. Kau hanya boleh berpakaian terbuka hanya saat di depanku," ujar Erland terdengar tegas.

Belum sempat Aruna memprotes. Bibirnya sudah lebih dulu dilumat lembut oleh Erland. Aruna menggeliat tak nyaman saat tangan Erland meraba ke dalam dress-nya. Sementara lehernya digigit kuat.

"Jangan bergerak!"

Aruna kesal dan memukul. "Apa kau menyentuh binatang!"

"Anggap saja begitu."

Tenaga yang Aruna keluarkan sebagai bentuk penolakan. Tak berhasil mengatasi Erland yang sedang berhasrat. Dress sepenuhnya terangkat dan mengumpul di atas perutnya.

Erland tersenyum. "Di sini tidak sesuai dengan penolakanmu, Irene."

Tubuh Aruna sedikit bergetar karena gerakan tangan Erland di bawah sana. Aruna berusaha menahan sekaligus berharap bisa mengeluarkan tangan Erland. Namun, suaminya menindih dan mencium bibirnya rakus.

"Nafkah batin dari suami jangan ditolak," bisik Erland.

***

Ranjang telah berhenti bergerak, namun tak membuat napas Aruna telah membaik. Sementara Erland yang belum menyingkir dari tubuhnya terkekeh lembut memasuki telinganya.

"Bagaimana Sayang? Bukankah itu sangat menyenangkan?" bisik Erland membuat Aruna menghindar.

"Lepaskan tanganku dan menyingkir dariku," protesnya.

Erland mengecup pipinya. "Katakan dulu, apakah menyenangkan atau tidak?"

Aruna benar-benar tidak nyaman dengan sesuatu yang basah setelah bertempur, menempel di kakinya. Dan itu jelas milik Erland yang terpuaskan.

"Ya, jadi lepaskan aku," sahutnya tak punya pilihan, dari pada kembali digempur disaksikan lembayung sore.

Netra Erland membingkai tubuh polos Aruna yang mulai dibungkus selimut. Tubuh yang lebih berisi dan kenyal itu, benar-benar menyenangkan.

"Diamkan dulu sebentar, itu akan jauh lebih baik saat kau membersihkannya," ujar Erland ikut menarik selimut yang dipakainya.

"Apa?"

Erland tersenyum. "Lengket jika langsung dicuci sekarang, jadi biarkan sebentar."

Mendengar percakapan yang frontal ini, membuat wajahnya sedikit bersemu. Sedang Erland benar-benar merasa senang, mendapatkan Irene baru yang lebih ekspresif.

"Omong kosong," celetuknya kesal dan sepenuhnya mengambil alih selimut dari tangan Erland.

"Irene, perlukah kita mandi bersama?" tawar Erland sudah beranjak dari ranjang.

"Jangan mimpi!"

Erland terkekeh melihat Aruna yang sudah berlari memasuki kamar mandi, hanya demi menghindar dari ajakan Erland. Dia mengusap bibir yang sedikit bengkak karena selain bertugas menyesap. Sempat digigit juga oleh Aruna.

"Irene-ku yang menarik," puji Erland sembari menyeringai.

Setelah rembulan memunculkan diri di balik awan yang gelap. Aruna duduk di atas sofa dengan televisi menyala, namun matanya tertuju pada jendela kamar. Begitu helaan napas terdengar darinya, atensi Erland langsung teralihkan dari pekerjaan.

"Ada apa Sayang? Apa saat ini kau merasa bosan setelah digoyang?" singgung Erland dengan tersenyum senang.

Aruna menoleh kesal. "Berhenti membicarakan hal itu."

Erland masih tersenyum. "Baiklah."

Lantas Aruna menunjuk jendela dengan dagu. "Apa rumahmu sempat terjadi pencurian?"

"Pencurian?"

"Dari mulai jendela, hingga pintu balkon. Semuanya dipermati."

Mata Erland menatap ke arah yang Aruna sebutkan. Bagaimana jika bukan maling yang mencoba masuk? Tapi seseorang yang begitu berharga mencoba keluar melalui akses di kamar tersebut.

Pandangan Erland menjadi dingin. "Kenapa tiba-tiba menyinggung soal jendela?"

Dahi Aruna mengerut, menatap reaksi suaminya yang langsung berbeda. Aruna yang kesal mulai mengutarakan pendapatnya.

"Ini kamar loh, bukan tempat penyekapan," sindirnya, "harus ada udara yang masuk."

"Apa kau berniat kabur?" tanya Erland dengan nada dingin.

"Aku membahas udara, apa hubungannya dengan kabur? Lagi pula siapa juga yang mau tulangnya patah karena kabur dari kamar di lantai dua ini," ocehnya membuat Erland menurunkan pandangan, merasa Aruna sedikit masuk akal.

Hingga Aruna menatap curiga. "Apakah pernah ada yang mencoba kabur dari kamar ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status