" Lupakan ucapanku dulu. Sekarang duduk disini. Kita sarapan bersama." Elgard berbicara dengan nada lebih lembut.
" Kita? Sayangnya aku cuma pengen sarapan sendiri. Maaf, sekarang aku yang gak sudi berdekatan dengan kamu, Tuan Elgard Mario Nugroho." Olivia menunjukkan senyum mencibir, kembali melanjutkan langkahnya. Ia akan menyelesaikan sarapan pagi ini di kamar tamu yang ditempatinya semalam. Elgard tak habis akal, ia berjalan cepat menghadang langkah Olivia dan mengambil nampan berisi sarapan yang dibawa wanita itu. Olivia terkejut." Kamu apa-apaan?!" Sentaknya kesal. " Ini sarapanku!" Jawab Elgard membawa makanan tersebut ke atas meja, bersiap untuk menyantapnya. " Kamu...!" Olivia speechless, Elgard merampas makanan miliknya. " Kamu itu udah tau punya suami, kenapa cuma membuat sarapan untuk satu orang? Ya udah, ini berarti untukku sebagai kepala keluarga yang harus dilayani di rumah ini. Kamu bikin lagi yang baru untuk kamu sana!" Elgard dengan tanpa rasa bersalah, langsung menggigit sandwich yang terlihat mengunggah seleranya itu. Ia mengunyah sambil manggut-manggut karena rasanya sangat enak. Olivia semakin speechless, semakin sadar jika Elgard bukanlah tipe suami yang pantas di perjuangkan. Pria itu mementingkan diri sendiri. Yang penting semua untuk dirinya, harus dilayani, tak peduli perasaan istri. " Aku biasanya memang memasak cuma untuk diri sendiri. Selama ini kamu gak pernah mau tinggal di rumah ini, kamu juga jijik makan masakan yang aku buat bukan? Setiap kamu pulang, aku selalu masakin yang enak-enak, tapi apa yang kamu bilang? Kamu gak sudi menyentuh apapun yang aku siapkan, kamu gak akan mau memakan makanan yang aku masak. Kamu lupa?" Olivia mencoba mengingatkan Elgard kembali. Elgard terdiam. Ia menjilat ludah sendiri artinya. " Olivia, kamu itu masih saja suka mengingat-ingat sesuatu yang gak penting. Sekarang aku mau pulang ke rumah ini. Aku mau makan masakan kamu. Dan aku juga akan memperlakukan kamu seperti istriku. Kamu senang? Itu kan yang kamu mau?" Elgard merasa bangga. Mustahil Olivia menolak, pikirnya. Wanita itu pasti begitu bersyukur karena dirinya bersikap seolah telah menyadari kesalahannya. Olivia semakin geram. Perasaan muaknya sudah di level tertinggi." Kamu pikir aku bodoh? Kamu begini karena diancam papa kamu! Kalau kamu sampai membuat aku menuntut cerai dari kamu, maka kamu akan kehilangan hak waris dari Nugroho. Kamu gak mau jadi gelandangan kan Elgard..." Olivia bersidekap dada, tersenyum tipis mencemooh. Elgard seketika menghentikan makannya. Olivia sudah tahu jika dirinya sedang bersandiwara dengan berpura-pura menjadi seorang suami yang mau menerima wanita itu mulai sekarang. " Aku tetap pada pendirianku semalam. Aku ingin BERCERAI!" Lanjut Olivia penuh penekanan. Tak ada keraguan dari sorot matanya saat menegaskan hal tersebut. Elgard mengepalkan tangannya erat, emosi memuncak di dalam dirinya. Wanita yang berdiri di hadapannya itu berhasil membangkitkan amarahnya pagi-pagi begini. Ia bangkit dari duduk, berjalan mendekati Olivia yang menantang matanya." Kamu mau bercerai?" Tanyanya dengan tatapan tajam." Jangan mimpi." Sambungnya dingin. Tak ingin semakin terbakar amarah, Elgard pergi meninggalkan Olivia. Tak lama sesudahnya, suara mobil pergi meninggalkan pagar rumah terdengar dari arah luar. Elgard pergi, namun Olivia tak peduli. Justru itu yang ia harapkan. " Hm, dia akan ke Kantor. Atau ke... Tempat kekasihnya." Olivia tersenyum miris. Pernikahan ini memang sudah tak bisa lagi di pertahankan. Elgard memiliki niat yang tak baik bertahan dengannya, bukan karena serius ingin menyelamatkan dan memperbaiki rumah tangga mereka. Dan niat buruk itu tidak boleh ada dalam sebuah pernikahan. Sandwich yang hanya sempat di makan beberapa gigit saja oleh Elgard, segera Olivia kemaskan. Begitu pun teh hangat yang sudah dingin. Setelah membereskan meja makan, Olivia naik ke kamar utama yang ia tinggalkan semalam karena adanya kehadiran Elgard. Ia merogoh ponsel di saku, kemudian mencari sebuah nomor telepon seseorang. Setelah mendapatkan nomor yang ingin di hubungi, Olivia segera melakukan panggilan telepon. " Assalamualaikum, Bu Liana." Sapanya setelah seseorang yang di hubungi di seberang telepon sana menjawab panggilan masuk darinya. " Saya butuh bantuan, Bu Liana. Saya ingin menggugat cerai suami saya." Lanjut Olivia yakin. " Tolong bantu uruskan semua prosedurnya. Saya serahkan masalah ini pada Anda. Saya ingin secepatnya berpisah dari Elgard Mario Nugroho. Dan saya juga sudah menyiapkan semua bukti agar perceraian ini bisa secepatnya di kabulkan pengadilan." " Baiklah. Setelah saya menemui ayah saya, saya akan ke kantor anda. Terima kasih. Assalamualaikum." Olivia menutup panggilan telepon setelah pengacara pribadinya menjawab salam darinya. ' Yah, ini saatnya menyudahi semua. Aku nggak mau lagi menyia-nyiakan waktu dan umurku yang masih muda ini dengan hidup bersama suami seperti Elgard.' Olivia sudah memutuskan. Ia mengambil sebuah koper besar, kemudian memasukkan semua barang-barangnya yang ada di kamar itu ke dalam koper tersebut. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, Olivia turun ke lantai bawah, keluar dari rumah tersebut untuk mengambil mobil miliknya. Di dalam garasi rumah yang luas itu, Olivia memandang beberapa mobil mewah yang tersusun rapi, semuanya adalah milik Elgard yang tidak pernah Olivia sentuh sama sekali. Hatinya sebak mengingat bahwa pernikahan yang seharusnya menjadi pertama dan terakhir dalam hidupnya, akan benar-benar ia akhiri sesegera mungkin. Ia mendekati honda jazz berwarna putih miliknya yang ia beli dengan uang tabungannya, hasil jerih payah sendiri saat masih bekerja sebelum menikah dengan Elgard dulu. Olivia merasakan rasa amarah dan kecewa yang berkumpul dalam hatinya. Ia membuka pintu mobil dan mencoba menahan isakan. Disitu, saat duduk di jok mobil Honda Jazz-nya, rasa bangga yang menerpa hati Olivia menjadi benteng dari sakit dan air mata yang sedang meluap. Semua harta yang diperoleh dari Elgard, ia tak akan ambil. Ia kemudian menatapi rumah besar yang sudah ditempatinya selama enam bulan ini. Tak ada kenangan indah sama sekali. Yang ada hanya kesepian dan kekecewaan. Dirinya berstatus sebagai seorang istri, tapi tak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang suami. Hampa. Ia tak akan menangis lagi. Air matanya terlalu berharga untuk menangisi seorang suami yang tidak pernah menganggapnya ada, bahkan terang-terangan berkhianat darinya. Olivia menarik napas panjang setelah memasukkan koper ke dalam mobil. Matanya bergerak memandangi sekali lagi rumah mewah milik Elgard yang sebentar lagi akan ia gugat cerai. Ia menaiki mobil dan segera melajukan kendaraannya keluar dari halaman rumah. ' Selamat tinggal... Aku tidak akan kembali lagi ke rumah ini!" Gumam Olivia dengan suara lirih, tangannya memegang erat setir mobil yang ia kemudikan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan pendiriannya untuk bercerai dari Elgard. Keyakinannya telah bulat, ia tak ingin bertahan bersama laki-laki yang memang tak ada keinginan untuk hidup bersamanya. *****“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y