Share

Bab 4 Menaruh Curiga

Di depan gedung megah Cwell Group, Claudya nyaris tersungkur ke jalan akibat terlalu tergesa-gesa. Ia tak menyangka siang hari ini menerima kabar mengejutkan dari rumah sakit. Kondisi Laras dikabarkan menurun drastis, padahal kemarin tampak segar bugar. Tetesan kristal bening membanjiri pelupuk mata, disusul peluh mulai menghiasi kening dan mengalir pada punggungnya.

“Ibu …”lirih Clau, napasnya pun tersendat-sendat.

Cukup lama menunggu, panik tidak mendapatkan taksi online, dirinya gelisah melirik kiri dan kanan sembari meremas gawai depan dada.

“Apa aku perlu jalan ke halte? Tapi jauh.”

Clau memijat pelipis kian berdenyut nyeri, ditambah sinar matahari musim panas sangat menyorot. Dirinya terus saja menekan aplikasi khusus mencari taksi, hingga akhirnya tangis pun meledak karena ditolak beberapa kali.

Menunduk lesu di pinggir jalan, mencoba sekali lagi menggulir layar pada benda pipih. Seketika, Clau terperanjat mendapati satu unit mobil sport keluaran terbaru berhenti tepat di depannya, ia tahu kendaraan itu milik Presdir Cwell Group.

“Masuk!” perintah bernada tegas, dingin dan menyeramkan.

Claudya hanya diam memandangi mobil berwarna merah itu. Sesungguhnya takut Arjuna hilang kendali karena sempat memaksa keluar ruangan. Tetapi netra coklatnya melebar tatkala Arjuna memaksanya masuk mobil. Pria itu menyempatkan diri memasang sabuk pengaman, membuat jantungnya bertalu-talu.

Menghindari kontak mata dengan sang suami, Clau meneguhkan hati bahwa tidak boleh terjebak dengan perasaannya sendiri.

“Terima kasih Tuan.”

“Hapus keringatmu! Aku tidak mau mobil ini terkontaminasi bakteri.” Seru Arjuna langsung melaju ke rumah sakit tanpa bertanya kepada Claudya.

“Siap Tuan.”

Sesampainya di rumah sakit, Clau berlari menuju ruang perawatan, ibunya terbaring lemah. Menurut dokter detak jantung pasien sempat tidak normal, tetapi berkat kecanggihan alat kesehatan membuat Laras kembali stabil.

Clau mengembuskan napas lega, segera duduk di sofa panjang depan ruangan sembari menyatukan kedua telapak tangan, melambungkan doa agar Laras diberikan kesembuhan. Berharap perjuangannya tidak sia-sia, kelak berakhir manis di kemudian hari.

Tak diduga Arjuna turut mendaratkan tubuh di sisi Claudya,bmemandangi wajah yang tampak pucat dengan kedua kaki gemetaran. Kelopak matanya masih tertutup, sehingga tidak menyadari bahwa seseorang itu adalah suaminya.

“Tuan?” Caludya hendak menjauhkan raga karena terkejut. Tetapi Arjuna mencekalnya, membuat jarak diantara mereka begitu dekat.

“Bagaimana?” tanya Arjuna membuang pandangan menjadi lurus ke depan.

Kening Claudya mengerut, tidak mengerti maksud pertanyaan Bos sekaligus suaminya ini. Memberanikan diri mengulang satu kata yang keluar tidak jelas.

“Bagaimana apanya, Tuan?”

“Keadaan Ibumu! Kau itu gangguan pendengaran sekaligus bodoh.”Sengit Arjuna, ekor matanya melirik tajam sang istri.

“Kondisinya sempat lemah, sekarang kembali stabil. Terima kasih atas perhatiannya.”

Seandainya Arjuna mencintai Claudya sepenuh hati, pasti pertanyaan ini dijawab dengan nada lemah lembut. Selain itu ingin sekali menyandarkan kepala pada bahu kekar suaminya.

Sedangkan dalam ruang rawat wanita paruh baya telah siuman, mendapat kabar dari perawat bahwa Claudya berada di depan ruangan. Sontak Laras kebingungan, karena seharusnya anak bungsunya berada di luar kota sedang bekerja.

“Suster, kalau benar Claudya ada di sini, boleh tolong panggil dia?”

‘Bisa, Nona Claudya datang bersama seorang pria.’

Tidak membuang waktu, perawat segera memanggil Claudya masuk, menyampaikan keinginan Laras. Clau sempat menoleh kepada suaminya, meminta persetujuan.

“Masuklah, temui ibumu!”

“Terima kasih Bos.”

Clau mengangguk kecil lantas melangkahkan kaki mengikuti petugas medis. Tersenyum menatap wanita di atas ranjang pasien, berlari dan memeluk tubuh ringkih itu. Menangis tersedu-sedu, melepaskan rasa gundah yang beberapa waktu menyelimuti.

“Syukurlah Ibu baik-baik saja. Terima kasih Bu.” Menyeka air mata menggunakan punggung tangan, lalu duduk tepat di sisi ranjang.

Menekan tombol pada remote, membantu Laras mendapatkan posisi ternyaman. Laras mengulurkan tangan keriput, meminta Clau mendekat untuk membahas hal yang membuat penasaran. Senang hati Clau menggeser kursi, meraih jemari ibunda terncinta, mengecup berkali-kali.

“Suster bilang, kamu datang bersama teman laki-laki? Siapa dia? Apa pacarmu? Dia mengantar ke sini?” serbuan pertanyaan ini mampu merubah sikap Clau tidak tenang sekaligus khawatir.

“Oh … itu, hanya teman satu kantor Bu. Kebetulan beliau menuju ke sini, aku bisa bareng.” Clau mengatakan penuh kehati-hatian.

“Lalu kenapa kamu masih ada di Zurich?”

Claudya susah payah menelan air liur, tersenyum kaku sebab tidak mempersiapkan jika pertanyaan ini meluncur dari bibir ibunya. Manik coklatnya pun berputar ke atas, otaknya berpikir keras menemukan jawaban tepat agar Laras tidak menaruh curiga.

“Umm … itu Bu, Asisten Manager bilang ada pekerjaan di kantor pusat.” Lagi-lagi kalimat dusta Clau layangkan demi menutupi rahasia besar.

“Aku bantu Ibu mak—“

Kalimat Clau tertahan karena Laras mencengkeram kuat pergelangannya. Wanita itu tanpa sengaja menangkap sekelebat bayang pria yang dikenali. Mata hitam legam ibunya mengarah pada kaca kecil di pintu, membuat atensi Clau terarah mengikuti.

“Ada apa Bu?”

“Ada hubungan apa kamu dengan Arjuna Caldwell? Katakan Nak!” tiba-tiba saja Laras menitikan air mata, meremas kuat kedua tangan Claudya.

“Ma-maksud ibu ap-apa?”

Belajar dari situasi beberapa menit lalu, kali ini Clau tidak menunjukkan raut wajah ketakutan. Melainkan lebih tenang dalam menanggapi, berhasil menguasai kegelisahan berkecamuk dalam dada. Ia yakin ibunya memiliki trauma tersendiri berkaitan dengan Tuan Muda Caldwell.

Hatinya begitu perih teramat dalam, suatu saat nanti ketika semua terbongkar Laras pasti kecewa karena Clau tega membohongi. Menjual tubuh, harga diri serta kebebasan hanya untuk mendapatakan uang. Sungguh tidak siap hari itu datang, terlebih kondisi ibunya belum membaik.

“Ibu … Ibu dengarkan aku! Jangan cemas ya, Pak Arjuna belum tahu kalau aku dan Clara saudara kandung. Lagipula tugasku sekarang di Jenewa. Jauh dari jangkauan Bos.” Intonasi melegakan diberikan Claudya sebagai pengobat kekhawatiran.

Setelah Laras makan dan minum obat kemudian tidur lelap, Claudya segera undur diri. Tidak tahan mendapat teror dari suaminya melalui pesan singkat. Ia berjalan tepat di balik punggung Arjuna, menyembunyikan wajah dari pengamatan orang-orang. Namun keduanya tidak menyadari sepasang manik coklat mengamati dari sudut lorong lain.

Arjuna membawanya pulang menuju griya tawang, sepanjang perjalanan Clau hanya melamun. Satu tangannya merogoh saku sebelah kiri, menggenggam sebuah benda di dalamnya. Sesekali Claudya menoleh kepada Arjuna yang serius memutar setir mobil.

“Apa lagi?” suara dingin menyambar gendang telinga Claudya.

“Tidak Tuan. Terima kasih sudah mengantar, maaf merepotkan dan membuang waktu Anda.” Tutur Clau, bagaimanapun dirinya tiba dengan cepat di rumah sakit atas bantuan Arjuna.

“Bagus! Kau sadar diri. Lembar 1 poin 1!” tanggapan Arjuna selalu berpegang teguh pada kontrak pernikahan.

Clau mengalihkan pandangan lurus ke depan, mengangguk pelan dan mengingat isi setiap lembarnya. Lantas memejamkan mata terngiang kata-kata Laras ketika memberikan benda berharga.

“Keluar dari Cwell group!”

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status